Liputan6.com, Medan - Setelah tiga hari penyelidikan, pembunuh Sandra Yolanda Duha, siswi SMP Bharlin School berhasil terkuak. Pelaku ditangkap di rumah orangtuanya di Jalan Nilam Raya, Simalangkar, Medan, Sumatera Utara.
Sebelum melakukan perbuatan sadisnya, pelaku berusia 16 tahun, berinisial FNRG ini mendatangi Yolanda dengan modus berpura-pura menanyakan arah. Karena Yolanda menolak, pelaku langsung mencekik korban dan menyeretnya ke belakang sebuah warung.
Berita yang tak kalah menyita perhatian pembaca Liputan6.com, terutama di kanal Regional pada Kamis (18/8/2016), adalah ditemukan sejumlah fakta menarik di balik rekaman pembacaan naskah proklamasi. Selain itu ada pula kisah tentang para eks tahanan politik PKI yang ditahan tanpa diadili hingga sampai dikucilkan keluarga.
Advertisement
Berikut berita populer selengkapnya yang terangkum dalam Top 3 News:
1. HUT RI, Pembunuh Sadis Sandra Yolanda Duha Ditangkap Polisi
Kapolresta Medan Kombes Mardiaz Kusin Dwihananto mengatakan, pembunuh Yolanda adalah remaja berusia 16 tahun, berinisial FNRG.
"Pelaku tidak kenal sama korban. Sebelum melakukan pembunuhan, pelaku sempat melakukan aksi pencabulan," kata Mardiaz dalam pemaparan di Mapolresta Medan, Rabu, 17 Agustus 2016.
Ia menerangkan, pembunuhan yang dilakukan FNRG terhadap Yolanda terjadi di Jalan Jamin Ginting, Desa Lauchi, Medan Tuntungan. Saat itu, Sabtu, 13 Agustus 2016, sekitar pukul 09.00 WIB.
"Saat ditolak mengantar, pelaku langsung mencekik korban dan menyeretnya ke belakang warung. Pelaku langsung menikam pinggang korban dengan pisau yang dibawanya, namun korban tetap melakukan perlawanan, kemudian
pelaku menusuk leher korban dua kali hingga tewas," ucap Kapolresta.
2. Fakta Penting di Balik Rekaman Pembacaan Proklamasi Sukarno
Rekaman pembacaan naskah proklamasi dengan suara Sukarno yang menggelegar nyatanya bukan direkam saat 17 Agustus 1945. Perekaman itu justru baru terlaksana pada 1951 di Studio RRI yang berlokasi di Jalan Medan Merdeka Barat 4-5, Jakarta Pusat.
Adalah seorang pendiri RRI, Jusuf Ronodipuro yang kemudian meminta Presiden Sukarno kembali merekam pembacaan teks proklamasi kemerdekaan. Namun, niat itu sempat ditentang Sukarno yang menganggap pembacaan teks proklamasi hanya berlaku satu kali.
Setelah dibujuk, Sukarno akhirnya bersedia untuk membacakan kembali teks proklamasi kemerdekaan. Hasil rekaman kemudian dikirimkan ke perusahaan piringan hitam Lokananta pada 1959.
"Jadi, dokumentasi rekaman pembacaan teks proklamasi mulai digandakan pada tahun 1959. Itu terlihat dari data kertas tape yang masih tersimpan di Lokananta," kata Bemby Ananta, staf remastering Lokananta, Selasa 16 Agustus 2016.
3. Air Mata Eks Tapol PKI Saat Rayakan HUT RI
Sugito Kasirin (78) merupakan salah satu dari 167 eks tapol PKI yang dilokalisasi ke pembuangan Rimba Amburawang, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur sejak 1979 silam.
Ironis, Sugito tidak tahu kesalahannya hingga dituding sebagai antek PKI.
"Ketiga anak kandung saya tidak terurus. Mereka tidak berpendidikan hingga harus jadi buruh kasar. Bahkan, anak perempuan saya tidak mau mengakui keberadaan orangtuanya ini hingga kini," kata dia.
Tuduhan bagian jaringan PKI memaksanya meninggalkan keluarga hingga dibuang ke Argosari.
"Tujuh tahun ditahan tanpa pengadilan hingga diasingkan di tempat ini yang dulu berupa hutan belantara," ujar Sugito.