Sukses

Suka Duka Ojek Difabel, Tawaran Umrah hingga Bikin Bule Ketagihan

Banyak pengemudi ojek difabel dipandang sebelah mata sebelum bisa berdaya dengan bergabung dengan Difa.

Liputan6.com, Yogyakarta - Difa City Tour and Transport dikenal sebagai kelompok ojek difabel pertama kali di dunia. Keberadaan para pengemudi difabel ini masih dianggap berbahaya oleh sebagian masyarakat. Namun, para pengemudi difabel itu membuktikan hal yang sebaliknya.

Pendiri Difa, Triyono, mengatakan masih ada anggapan negatif masyarakat terhadap para difabel, khususnya ojek difabel. Namun dengan pelayanan yang bagus dan ramah dari ojek Difa, pola pikir masyarakat lambat laun mulai berubah. Berbagai kisah dialami para sopir ojek difabel yang resmi diluncurkan pada Desember 2015 lalu.  

"Driver-driver ini ditawari umrah bareng. Penumpang sampai begitunya berbagi, ada yang pengin wisata karena itu kan akhirnya bicara bahasa hati. Ya mungkin cara dia mensyukuri dia punya penghasilan. Ada beberapa kali ditawari itu kan komunikasi yang terbentuk," ujar Triyono di Pakualaman, Sabtu, 3 September 2016.

Triyono mengatakan para sopir ojek online-nya juga sering mengantarkan wisatawan asing. Hal itu semakin membuat pengemudi Difa antusias sebab mereka merasa lebih dihargai para konsumen asing.

"Dia (bule) enggak ngira difabel di sini kreatif inovatif memanfaatkan metode teknologi. Difabel jadi driver, pegang motor, mereka belum menemukan itu di tempatnya. Enggak ada takut-takutnya malah pengin jalan-jalan lagi," ujar dia

Triyono mengatakan Difa lebih mengutamakan penumpang dengan berkebutuhan khusus dibanding masyarakat biasa. Sebab, keberadaan Difa salah satunya memberikan ruang dan layanan yang maksimal kepada para difabel. Menurut Triyono, karena kesamaan cara hidup membuat layanan ojek difabel miliknya menjadi pilihan masyarakat difabel.

"Adanya Difa, dia diantar dijemput, diantar di depan rumah, dituntun sampai masuk, ditungguin sampai selesai. Kita pelayanan sampai segitunya. Kalau di-booking untuk difabel, (penumpang) yang normal saya minta cari lain. Kita dahulukan untuk difabel," ujar dia.

2 dari 2 halaman

Peran Keluarga

Triyono mengatakan para pengemudi Difa ini awalnya tidak memiliki kemampuan untuk menaikkan taraf hidup mereka. Bahkan, banyak di antara mereka yang putus asa dan mencoba bunuh diri.

Pandangan masyarakat yang negatif ditambah ekonomi mereka yang kurang membuat mereka frustasi. Menurut Triyono, semua masalah itu muncul dari pola pikir keluarga mereka.

"Rata-rata keluarga punya anak difabel malu sama tetangga. Enggak sekolah karena difabel, enggak usah kasih apa-apa ndak jadi masalah. Kan, polanya terbalik," ujar dia.

Sementara, Triyono mengaku beruntung karena memiliki keluarga yang peduli dengan dirinya. Ia bercerita keluarganya menyiapkan kebutuhannya sejak kecil hingga lulus kuliah.

Ia bisa menikmati pendidikan S1 di UNS, sementara teman-temannya hanya lulusan SMA. Uang saku yang didapatkan berlebih dengan harapan kebutuhannya tercukupi dengan baik.

"Keluarga saya gitu, kakak-kakak saya belum punya motor, saya sudah dibeliin motor. Karepe bisa ke mana-kemana. Saya S1, lainnya SMA," tutur dia.

Namun, tidak mudah mengubah stigma negatif warga normal pada mereka yang berkebutuhan khusus. Kasus terakhir adalah cerita salah satu pegawainya yang hendak bekerja di Difa.

"Ada yang datang ke sini enggak punya tangan, saya tanya dia jawab enggak punya KTP, KK. Katanya, 'Saya sejak kecil tidak dimasukkan KK sama ibu saya. Sekarang saya ngemis di Jalan Paris.' Ngenes ra?" ujar Triyono.

Ia berharap pemerintah dapat menerima pesan para difabel yang menuntut hak hidup yang sama. Menurut Triyono, bantuan baik dari pemerintah ataupun lembaga peduli difabel masih dianggap kurang. Sejak dulu, kata dia,  pemerintah hanya menyediakan solusi praktis, tetapi tidak menyediakan solusi efektif.

"Program pemerintah banyak, tapi program belum mengentaskan. Pelatihan-pelatihan tapi enggak ada maintenance. Kayak kursus jahit yang latih aja enggak pesan sama dia. Dia pesennya sama tailor yang lebih bagus, kok," ujar Triyono.

Video Terkini