Liputan6.com, Makassar - Roda kehidupan memang terus berputar. Itulah yang dialami seorang warga Makassar, Sulawesi Selatan, Sinta Karangan, yang merupakan anak kandung dari pensiunan perwira tinggi TNI AD, Brigjen TNI Purn Frans Karangan.
Frans merupakan pendiri pertama Kompi Toraja atau Kompi Frans atau Kompi T yang kemudian berubah menjadi Batalyon 700 RIT. Seiring berjalannya waktu, kompi yang awalnya dirintis Frans kemudian berganti nama. Saat ini orang mengenalnya dengan nama Batalyon Infanteri 700/Raider yang sebelumnya sempat dikenal dengan sebutan Yonif Linud 700/WSJ.
Di jajaran TNI, kompi rintisan Frans terkenal sangat disegani. Satu di antaranya lantaran keberhasilannya dalam operasi penumpasan pemberontakan Permesta di Kota Manado, Sulawesi Utara.
Advertisement
Baca Juga
Di era kejayaan orangtuanya sebagai seorang perwira tinggi TNI, Sinta tentunya dapat merasakan bergelimang fasilitas. Namun karena ajaran orangtuanya, Sinta kala itu hidup dengan gaya sederhana. Prinsip itu pun ia terapkan hingga sekarang meski kedua orangtuanya telah tiada.
Sinta yang berasal dari daerah terpencil di Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan, kini bersama keluarga sederhananya masih bertahan di rumah tua peninggalan Belanda. Tepatnya di Jalan Sungai Tangka No 1, Kecamatan Ujung Pandang, Kota Makassar..
Dalam rumah tersebut tak ada hal yang istimewa apalagi yang dinamakan barang mewah dan bermerek. Namun yang tampak hanya beberapa buah barang tua dan usang. Semua barang tersebut merupakan peninggalan orangtuanya dan masih terjaga keasliannya.
"Barang barang tua dan jadul (zaman dahulu) ini semuanya peninggalan bapak," ucap Sinta dengan logat asli Toraja-nya kepada Liputan6.com, Sabtu, 10 September 2016.
Sinta mengaku punya usaha kecil untuk menopang kebutuhan keluarga sederhananya. Usaha jualan bubur yang lokasinya tepat di depan pagar rumahnya itu dilakoninya sehari-hari.
"Bersikap ramah dan pegang teguh kejujuran seperti ajaran bapak dulu itulah modal kami mandiri meski hanya jualan bubur. Tapi bagi kami ini sebuah karunia yang patut disyukuri karena kami masih bisa bertahan di kota rantau ini," tutur Sinta.
Usaha yang dilakukan Sinta berbuah berkah, bubur hasil olahan tangannya selalu ludes tak bersisa. Pembeli yang datang merupakan langganan yang sejak awal sangat menikmati bubur buatannya itu.
"Harga rumahan hanya Rp 15 ribu per porsi dan pembeli ada yang makan di tempat juga ada yang minta bungkus," ujar dia.
Setiap hari usai menjual bubur, Sinta mengaku biasa meraup untung hingga Rp 300 ribu bersih. Dengan penghasilan itu, ia pun sangat bersyukur karena kebutuhan keluarganya telah terpenuhi.