Liputan6.com, Tegal - Warung Tegal alias warteg di manapun berada seringkali menjadi andalan warga segala kalangan untuk mengisi perut yang keroncongan. Keberadaannya tidak hanya terpusat di kota-kota besar, tetapi juga berdiri di kota-kota kecil di seluruh Nusantara.
Tokoh warteg Asmawi menuturkan warteg muncul sekitar 1960-an. Kemunculannya seiring dengan pembangunan infrastruktur di Ibu Kota yang begitu pesat setelah 20 tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Â
Saat itu, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Sukarno berupaya mempercepat pembangunan infrastruktur ibu kota dengan cepat. Kesempatan itu dimanfaatkan warga Tegal untuk mengadu nasib di Jakarta. Mereka saat itu kebanyakan bekerja sebagai buruh bangunan dan tinggal di lokasi proyek dengan membuat bedeng. Â
"Di sela pekerjaannya, bagi sejumlah istri kuli bangunan mencoba untuk berbisnis kuliner dengan menjual nasi ponggol di lokasi proyek," ucap Asmawi kepada Liputan6.com di kediamannya di Tegal, Jateng, Selasa (20/9/2016). Â
Nasi ponggol merupakan hidangan makanan nasi putih dengan lauk makanan sambal tahu dan tempe yang dibungkus dengan daun pisang. Menu itu merupakan makanan khas Tegal yang sudah turun temurun dan diperkirakan ada sejak setengah abad yang lalu. Â
Dari segi harga, nasi ponggol cukup murah meriah, lezat dan mengenyangkan. Maka itu, nasi ponggol menjadi favorit para pekerja proyek bangunan yang pekerjaannya menguras keringat. Â
Baca Juga
"Karena nasi ponggol sudah dikenal warga Tegal, maka bisnis kuliner itu pun jalan dan terus berkembang. Dari berjualan di pojok-pojok lokasi proyek, hingga akhirnya memiliki warung sendiri," kata dia. Â
Seiring waktu, warteg dibuka tidak hanya di sekitar lokasi proyek-proyek pembangunan saja. Waktu mulai merambah ke pemukiman-pemukiman.
Memasuki awal 1990-an, bangunan warteg yang bangunnya berbentuk bedeng darurat berubah menjadi semi permanen. Namun, ciri khas bangunan warteg yang berukuran 3x3 meter dan bagian depan bercat biru masih kerap dipertahankan. Â
"Kalau sekarang ini warteg sudah sangat berkembang, bahkan sampai beberapa di antaranya sudah menjadi rumah makan. Tapi, masih ada juga yang bentuknya masih seperti biasa yang sederhana," kata dia. Â
Warteg menyajikan sejumlah lauk pauk dan sejumlah sayur mayur yang umum dikonsumsi masyarakat Indonesia. "Untuk menunya, biasanya sama antara warteg satu dengan warteg lainnya. Intinya ada sego bumbon, sambal tempe dan tahu, sayur bening, ikan laut dan daging," kata dia.  Â
Mbah Bergas Legenda Warteg
Asmawi menyebut pionir juragan warteg adalah Mbah Bergas. Ia menjadi menjadi ujung tombak dan membawa warga Tegal ke Jakarta untuk mengadu nasib. Â
"Mbah Bergas orang yang pertama kali mengajak warga Desa Sidakaton dan Desa Sidapurna merantau ke ibu kota. Saat itu, merantau untuk mencari pekerjaan yang layak dan menghasilkan rezeki untuk memenuhi kehidupan keluarganya di rumah," kata dia. Â
Barulah beberapa tahun kemudian, warga yang merantau di ibu kota yang sebagian besar menjadi tukang kayu dan tukang batu bekerja di proyek. Â
"Dalam perantauan itu, banyak warga yang menjadi pekerja buruh bangunan dan di sanalah kemunculan warteg atau penjual ponggol yang mulai berkembang," tutur dia. Â
Sebagai penghormatan kepada sesepuh yang turut andil dalam perkembangan warteg di ibu kota, warga menamai sebuah tempat pemakaman umum dengan nama Mbah Bergas. Lokasinya berada di Desa Sidapurna, Kecamatan Dukuhturi, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah. Â
Saat ini, kata dia, warteg tak hanya di kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Keberadaan warteg telah merambah ke mancanegara dan meraih sukses. Â
"Sekarang ini warteg sudah dikenal di pelosok nusantara. Selain itu juga di mancanegara seperti di Arab Saudi. Di sana ada pengusaha warteg yang meraih sukses," ujar Asmawi.
Advertisement