Sukses

Tuah Gunung Batu Fatuleu, Beri Pertanda hingga Hukuman

Warga setempat meyakini masih ada penunggu Gunung Fatuleu yang hidup dalam wujud raksasa.

Liputan6.com, Kupang - Gunung Fatuleu merupakan perbukitan batu terkenal dan menjadi salah satu objek wisata di Kupang, NTT. Gunung itu terletak di Desa Nunsaen, Kecamatan Fatuleu Tengah, Kabupaten Kupang, yang bisa ditempuh dengan berkendara selama dua jam dari Oelamasi, ibu kota Kabupaten Kupang.

Selain menjadi objek wisata, gunung batu ini juga menyimpan aura magis yang terpancar dari gunung setinggi 1.111 meter di atas permukaan laut itu. Gunung ini bahkan sempat didatangi pelawak Tukul Arwana untuk syuting program televisi yang berbau klenik.

Setiap akhir pekan, banyak warga lokal yang ingin menaklukkan puncak bukit batu tersebut. Dibutuhkan setidaknya tiga sampai empat jam untuk tiba di puncak.

Gunung Batu Fatuleu dalam bahasa lokal berarti Gunung Batu Keramat. Fatu Leu juga menurut warga setempat sebagai tempat berdoa Suan (pemilik alam) terdiri dari tiga gunung batu, yakni Tuik Neno (suan punya), Askauana (anak dari alam) dan Nua leu asu oko (raja alam).

Adapun puncak Gunung Batu Fatuleu disebut Tuik Neno (batu Tuhan untuk doa). Tempat ini juga sebagian warga menjadikan tempat meminta kekuatan magis.

"Ada pengunjung yang datang untuk mendaki, ada juga yang mau bermeditasi minta kekuatan alam. Tempat meditasi di dalam gua gunung batu ada tempat duduk indah dan juga meja dari batu," kata Salmon Suan, penerus suku Suan yang bertugas sebagai pemandu para wisatawan, Sabtu, 1 Oktober 2016.

Di puncak gunung batu, ada bendera Belanda dan bendera Merah Putih berkibar indah diterpa angin. "Ada tiga warga Belanda datang dan berhasil sampai puncak dan pasang benderanya, katanya sebagai cendera mata. Sedangkan Merah Putih dipasang beberapa mahasiswa asal Surabaya saat HUT kemerdekaan RI ke-71," ucap Suan.

2 dari 2 halaman

Tuan Batu

Dahulu, raja Suku Sonbai biasa menggelar ritual memberi makan Gunung Batu Fatuleu berupa pemberian sesajian di bawah kaki gunung.

Sejak masuknya agama pada 1964, penduduk setempat bersama para rohaniwan melakukan ritual doa dan pembunuhan ternak sebagai doa pelepasan. Sejak saat itu, ritual pemberian makan Gunung Batu Fatuleu dihilangkan.

"Sejak doa pelepasan sudah tidak ada ritual memberi makan karena dilarang katanya itu berhala," ucap Salmon.

Hal unik lainnya juga terjadi pada 1965. Pada saat itu, Gunung Fatuleu sempat runtuh akibat gempa. Namun, penduduk yang bermukim di bawah kaki gunung tidak terkena runtuhan.

"Dulu untuk masuk ke Gunung Batu Fatuleu tidak boleh maki, apalagi mengambil kayu di gunung itu. Jika dilanggar bisa bisa hilang ditelan batu. Pernah ada warga dari Kabupaten Belu datang mau mencuri cendana, sampai di bawah orang itu langsung meninggal dunia. Tahun 1993, tiga warga di sini juga hilang tanpa bekas saat mencoba mengambil sarang burung walet," tutur Yohanes Suan, tetua adat Desa Nunsaen.

Warga setempat mempercayai jika Gunung Batu Fatuleu mempunyai penjaga (tuan batu) yang saat ini masih hidup. Bahkan, Yohanes mengaku pernah bertemu tuan batu sebanyak tiga kali.

"Kami warga di sini meyakini jika ada tuan batu sebagai penunggu. Dia biasa muncul sekitar pukul 6 sore atau pukul 4 subuh. Tubuhnya besar tinggi seperti gunung. Tetapi dia tidak jahat, dan dia tidak bisa bicara," kata Yohanes.

Selain memiliki penjaga, tutur Yohanes, Gunung Batu Fatuleu dipercayai warga setempat sebagai petanda alam. Jika ada orang besar di dunia atau warga setempat yang meninggal dunia, akan terjadi runtuhan batu.

"Jika arah barat atau Jelal, istilah warga setempat yang runtuh berarti sebagai petanda besok ada warga setempat meninggal. Kalau arah timur atau 'askauana' runtuh sebagai tanda orang besar di dunia seperti presiden meninggal dunia," tandas Yohanes.

Untuk memberi peringatan bagi para wisatawan, warga setempat mendirikan sebuah posko. Pengunjung wajib mendata diri sebelum melakukan pendakian pada buku yang disiapkan. Di posko tersebut juga dipampang tata tertib larangan bagi pengunjung.

Video Terkini