Liputan6.com, Semarang - Saat berkunjung ke Kota Semarang, Jawa Tengah dan melalui Jalan Cenderawasih, cobalah menengok ke arah kiri. Di tepi jalan searah itu, ada sebuah bangunan kuno dengan dua patung semut merah raksasa. Siapa sangka jika tempat ini pernah menjadi pusat kendali spionase Jerman saat Perang Dunia I.
Bangunan kuno itu sekarang dikenal dengan nama Gedung Marabunta. Bangunannya paling unik dibanding gedung-gedung kuno di area kota lama Semarang. Pada bangunan Gedung Marabunta, Semarang ini terdapat dua patung semut merah raksasa -- orang Semarang menyebutnya Semut Geni -- di bagian atapnya masing-masing terletak di pojok atas.
Menurut sejarawan Kota Semarang, Djawahir Muhammad, sebelum dikenal sebagai Gedung Marabunta, bangunan ini bernama Schouwburg. "Itu merupakan gedung kesenian yang modern pada zamannya. Didirikan pada tahun 1854," ucap Djawahir kepada Liputan6.com, Senin (17/10/2016).
Baca Juga
Djawahir menjelaskan, penyebutan Marabunta merujuk pada patung semut yang terdapat di atap bangunan tersebut. Marabunta mengandung arti "Semut Merah Besar". Pada awalnya gedung ini sering digunakan sebagai tempat pertunjukan seni tingkat nasional yang diselenggarakan secara rutin sebulan sekali, bahkan pernah juga dipakai tempat pertunjukan seni kelas internasional.
"Saat jaya, Gedung Marabunta pernah dipakai untuk mementaskan seorang penari cantik yang bernama Margaretha Geertruida (Grietje) Zelle yang pada saat itu waktu di atas panggung menggunakan nama Mata Hari," Djawahir mengungkapkan.
Advertisement
Mata Hari adalah sosok terkenal di dunia setelah diketahui bahwa ia adalah agen spionase Jerman saat Perang Dunia I. Margaretha sendiri lahir di Belanda pada 7 Agustus 1876.
"Mata Hari ini menikah dengan Mayor Rudolph Mc Leod seorang perwira KNIL Hindia Belanda. Ini menunjukkan peran Belanda dalam Perang Dunia (PD) I," kata Djawahir.
Berdasarkan berbagai dokumen sejarah PD I, sepak terjang Margaretha di dunia mata-mata, sempat membuat Perancis tertarik merekrutnya. Gaji yang ditawarkan saat itu hanya bisa disamai dengan nilai transfer pemain bola terkenal saat ini, yakni 1 juta frank ditambah fasilitas lengkap.
"Mata Hari atau Margaretha ini akhirnya dijatuhi hukuman mati pada 15 Oktober 1917," kata Djawahir.
Sepak terjang Margaretha di gedung ini, akhirnya diabadikan dengan lukisan kaca patri. Digambarkan Mata Hari tengah menari di antara sulur-sulur tetumbuhan.
Arsitektur Pasca-Neo Klasik
Saat masuk ke dalam gedung pandangan kita benar-benar tertuju pada setiap sudut ornamen di dalamnya yang bernuansa klasik Eropa. Bangunan ini terlihat mulai meninggalkan gaya neo klasik yang mendominasi bangunan belanda di Semarang. Gaya arsitekturnya adaptasi dari gaya Belanda tropis.
Atap gedung menyerupai perahu terbalik yang tersusun dari kayu berwarna cokelat. Di bagian dinding gedung juga terdapat jaring-jaring kapal yang melintang. Untuk memperkuat kesan seolah berada di sebuah kapal, pada sisi kanan depan ruang terdapat mini bar berbentuk kapal.
Ornamen kaca patri pada jendela dan pintu jelas memperkuat kesan klasik bangunan ini. Pada tahun 1999, gedung ini pernah dijadikan kafe tempat kunjungan para importir asing yang datang ke Semarang. Gedung yang dulunya tempat pertunjukan seni disulap menjadi sebuah kafe yang ramai dan terkenal kala itu.
Saat ini, Marabunta menjelma menjadi gedung kuno di Semarang, dengan kesan menyeramkan karena seperti tak terawat lagi.