Liputan6.com, Muntilan - Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia digelar setiap 10 Oktober. Segenap pihak memperingatinya untuk mengingatkan bahwa kesehatan jiwa sangat penting. Badan Kesehatan Dunia mencatat gangguan kejiwaan paling banyak memicu disabilitas.
Penanganan pada penderita gangguan jiwa di Indonesia belum sepenuhnya sempurna. Masih banyak cerita orang-orang penderita gangguan jiwa tidak mendapat penanganan semestinya bahkan dipasung karena dianggap berbahaya.
Padahal tak semua penderita gangguan jiwa berbahaya. Sebagian bahkan jadi lebih mulia. Contohnya fenomena Marjo di Muntilan, kota kecamatan di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Meskipun Marjo oleh sebagian kalangan dianggap orang gila, ia dicintai warga kota.
Advertisement
Marjo dianggap aneh, sebagian menilai dia mengalami gangguan jiwa. Pekerjaannya tidak jelas. Kemana-mana selalu mengenakan seragam tentara meskipun bukan tentara. Ia terobsesi dan sangat bangga dengan TNI.
Dari penelusuran Liputan6.com, sehari-hari Marjo berkeliling dari kampung ke kampung di Kota Muntilan, . Marjo tak pernah merugikan siapa pun. Semua warga kota memaklumi tingkahnya.Â
Baca Juga
Seorang ustaz muda setempat, Muhammad Zuhaery MA, pengasuh Pondok Pesantren Al Iman Muntilan, salah satu yang akrab dengannya.
Ustaz Ery, demikian dia biasa dipanggil, kerap mengajak Marjo pengajian. Kadang ustaz dengan mobilnya membuntuti Marjo yang naik sepeda ke tempat pengajian.
"Saya kenal Marjo sejak saya SD. Sampai anak saya besar, Marjo masih tetap seperti itu. Menebar senyum, menebar kegembiraan," kata Ustaz Ery kepada Liputan6.com beberapa waktu lalu.
Menurut dia, meskipun Marjo dianggap tidak waras, ia adalah guru kehidupan bagi warga Kota Muntilan. Bukan sekadar tentang keikhlasan dan kejujuran yang makin langka, tapi juga guru dalam hal kesetaraan.
Tak hanya ustaz Zuhaeri, warga kota Muntilan mencintainya. Sehari saja tidak kelihatan, warga akan saling bertanya siapa yang bertemu Marjo.
Bambang Sustianto, warga Sedayu, menjelaskan pemahaman kesetaraan manusia pada diri Marjo memang mumpuni. Ia merasa setara dengan semua orang, tidak mempedulikan pangkat dan kedudukan.
"Bahkan saking merasa setara, dia kemana-mana selalu ngaku sebagai teman sekolah satu angkatan. Dengan saya ngaku satu angkatan, eh dengan kakak saya juga demikian," kata Bambang Sustianto.
Yang disampaikan Bambang Sustianto disetujui warga lain, Hery Prasetya. Ketika ayah Hery masih berdinas, Marjo adalah orang yang selalu setia menemani para polisi berjaga.
"Dia merasa dia adalah orang yang dibutuhkan," kata Hery.
Cua Hoo Liem, seorang warga keturunan Tionghoa, juga mengaku tidak merasa terganggu dengan kehadiran Marjo. Bahkan ketika Marjo datang dengan membawa pisau komando, tak ada rasa takut sedikit pun.
"Marjo mengajari cara mencegah kekerasan, yakni dengan menghormati," kata Cua Hoo Liem yang mengelola sebuah toko roti.
Di mata warga Muntilan, keberadaan Marjo membawa senjata tajam bukanlah ancaman. Mereka sangat mengerti bahwa Marjo butuh legitimasi dianggap sebagai tentara.
Â
Eny, warga Desa Pucungrejo, bahkan mengaku berutang budi kepada Marjo. Ketika anaknya belajar baris-berbaris, hanya Marjo yang sempat menemani dan mengajari. Sebab, Eny dan suaminya sibuk bekerja.
Marjo bahkan menjadi sumber informasi Kota Muntilan. Dia banyak tahu apa yang terjadi di Muntilan, dan dengan rela hati akan membagikannya kepada warga yang ditemuinya. Mulai dari informasi seni budaya, rencana pembangunan jalan, hingga informasi kriminal yang terjadi.
Marjo yang Bijak
Mengapa Marjo yang aneh itu diterima warga?
Menurut Ustaz Ery yang juga penggerak kebudayaan ini, hal itu karena Marjo tak mengenal sekat pergaulan. Dengan siapa pun dia tidak pernah menyakiti. Bahkan, Marjo akan membantu semampunya.
"Misalnya ada orang meninggal, ia akan paling sibuk menyiapkan hal yang tak terpikirkan tuan rumah. Minum dan permen atau roti buat tamu yang takziah misalnya," kata Ustaz Ery.
Tak hanya itu, Marjo juga berteman baik dengan polisi dan tentara. Menurut pengakuannya, seragam-seragam tentara dan pisau komando yang dimilikinya merupakan pemberian seorang komandan yang terbantu tugasnya.
Dalam sebuah kesempatan, Liputan6.com pernah berbincang dengan Marjo. Dia bercerita hidupnya total didedikasikan kepada masyarakat. Ia ingin bermanfaat untuk orang banyak.
"Urip mung sawang sinawang. Sing ketoke waras jebul edan...edan bandha, edan wedokan. Sing ketoke edan jebule...tenan. Koyo aku (Hidup itu hanya saling memandang dan menilai dari luar. Yang terlihat waras ternyata gila. Gila harta, gila wanita. Yang terlihat gila ternyata....benar, seperti aku)," kata Marjo.