Sukses

Pilih Gabung Indonesia, Eks Warga Timtim Jadi Korban Pungli

Untuk setiap keluarga yang menerima Rp 10 juta, oleh pengurus Kokpit diminta Rp 1,5 juta untuk urusan administrasi.

Liputan6.com, Manado - Cornelia Dapitan, wanita berumur sekitar 60 tahun, berjalan menuntun suaminya, Obetnejo Mamahit, memasuki halaman Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Manado, Kamis 20 Oktober 2016 kemarin. Keduanya berjalan perlahan karena Obetnejo menggunakan tongkat.

Siang itu, Cornelia dan Obetnejo bersama ratusan warga eks Timor Timur lainnya di Manado hendak mengambil dana kompensasi senilai Rp 10 juta yang diberikan pemerintah Indonesia.

"Kami dengar kabar dari teman-teman bahwa ada pencairan dana, makanya kami datang ke sini," ujar Cornelia.

Cornelia menceritakan sejak 1979-1999, ia dan suami menjadi warga Kota Dili, Timor Timur. Obetnejo adalah guru SD yang diangkat di Sulawesi Utara, lalu ditugaskan mengajar pada salah satu sekolah di Dili, yang waktu itu masih masuk wilayah Republik Indonesia.

Mereka sempat membeli perumahan, dan menetap di sana. Namun kondisi politik memaksa pasangan ini harus kembali ke Indonesia, meninggalkan semua harta benda mereka di Timor Timur. Referendum atau jajak pendapat pada 1999 yang memenangkan kelompok pro kemerdekaan, membuat Cornelia dan Obetnejo dipulangkan ke Indonesia, bersama ribuan warga lainnya.

"Kami yang kembali ke Manado ada lebih dari 400 jiwa. Sejak tahun 1999 memulai kembali hidup baru di Manado, sambil memperjuangkan hak-hak kami termasuk kompensasi dari pemerintah," tutur Cornelia. 

 

Perjuangan mendapatkan kompensasi dari pemerintah itu dilakukan melalui sebuah perkumpulan, yakni Komite Nasional Korban Politik Timor Timur (Kokpit). Sayangnya justru lembaga ini yang kemudian meminta uang kepada ratusan warga penerima kompensasi. Untuk setiap keluarga yang menerima Rp 10 juta, oleh pengurus Kokpit diminta Rp 1,5 juta untuk urusan administrasi.

"Kami juga telah diminta uang oleh pengurus Kokpit. Setiap keluarga Rp 1,5 juta. Meski keberatan, (kami) tak bisa menolak. Banyak kawan-kawan kami sudah menyerahkan uang itu kepada pengurus," ujar Cornelia yang mengaku tidak akan menyetor ke pengurus karena uang itu akan akan dipakai untuk biaya berobat suaminya.

Cornelia termasuk yang beruntung. Belum sempat ia menyerahkan uang tersebut, salah satu pengurus Kokpit yang bertugas meminta uang ke setiap keluarga itu sudah diciduk aparat Polda Sulut, Kamis 20 Oktober 2016 kemarin.

Ratusan warga lain yang keberatan dengan pungutan pengurus Kokpit ini kemudian melapor ke aparat Polda Sulut melalui line pemberantasan pungli. Mendapat informasi ini, aparat Reserse dan Kriminal (Reskrim) Polda Sulut yang tergabung dalam Tim Manguni bergerak cepat ke kantor BNI Manado. Tim menangkap laki-laki, ML (61), warga Manado pensiunan guru yang juga pengurus Kokpit di halaman parkir BNI Manado.

ML tidak menyangka gerak-geriknya meminta pungutan pada salah satu warga eks Timtim telah diamati aparat. Usai diringkus, ML yang tertangkap tangan langsung digelandang ke Markas Polda Sulut.

Kepala Bidang Humas Polda Sulut Kombes Pol Mardjuki membenarkan penangkapan ini. Mardjuki mengatakan, kini ML telah diamankan bersama barang bukti sebesar Rp 13 juta. Setelah melakukan pengembangan, uang yang terkumpul menjadi Rp 47 juta.

"Telah didapat beberapa oknum yang menjadi atasan dari pemungut ini, dan didapatkan barang bukti berupa uang dengan total Rp 47 juta. Jadi terduga ada tiga orang, yang satu orang memungut langsung uang di lapangan dan lainnya adalah atasannya," ujar Mardjuki.

Dari hasil penyelidikan, ia mengatakan, ML mengaku bisa mengurus pencairan dana bantuan eks warga Timtim dan meminta bagian Rp 1,5 juta per orang. ML menyetor pada pemimpinnya, AM alias Alpius, yang mengatasnamakan organisasi Kokpit.

"Aksi yang serupa dengan ML ini juga terjadi di sejumlah BNI yang tersebar di kota Manado, tempat di mana eks warga Timor-timur ini mencairkan dana kompensasi mereka," ujar Mardjuki.

2 dari 2 halaman

Pungli atau Sukarela?

Mardjuki menambahkan, kasus ini akan dikembangkan ke provinsi lain dan akan melapor ke Mabes Polri. "Karena kasus ini, diduga bukan hanya terjadi di Manado, Sulawesi Utara, tetapi terjadi juga di provinsi yang lain. Karena warga eks Timor-timur tersebar di semua provinsi di Indonesia," ujar Mardjuki.

Dana Kompensasi terhadap warga eks Timtim diberikan pemerintah pusat karena memilih tetap bergabung dengan NKRI. Sasarannya adalah warga yang berada di luar provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Kompensasi itu dihitung sebesar Rp 10 juta per kepala keluarga sebagai ganti atas aset pribadi yang mereka tinggalkan di Timtim.

Ketua Kokpit Sulut, Lambertus Togas, saat dikonfirmasi terkait hal ini mengatakan itu bukan pungutan liar tetapi secara sukarela diberikan oleh eks warga Timor Timur.

"Saya siap memberi penjelasan terkait hal ini," ujar Lambertus setelah mengetahui salah satu pengurusnya diciduk polisi.

Kecaman Mensos

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengimbau seluruh warga Indonesia, terutama warga eks Timor Timur non-NTT yang mendapatkan dana kompensasi untuk tetap menjaga komitmen presiden dan tidak melakukan penyelewengan dana tersebut.

"Dalam keadaan keuangan negara yang harus melakukan efisiensi pun, Presiden mengambil keputusan. Pokoknya untuk WNI Eks Timor Timur non-NTT tetap akan diberikan. Komitmennya presiden itu harus dijaga. Jadi jangan ada yang memanfaatkan untuk hal di luar dari yang berhak," tutur Mensos saat berbincang dengan liputan6.com di Batu, Jawa Timur, Jumat (21/10/2016).

Mensos mengatakan bahwa saat ini pemerintah sedang menggalakkan tatanan administrasi yang bersih, di antaranya memberantas pungli.

"Apakah preman, apakah pungli, itu sama saja. Tidak dibenarkan oleh negara. Karena itu kalau ada pihak yang memotong setelah mencairkan dana di bank, semuanya tidak dibenarkan dan laporkan kepada polisi terdekat," ujar Mensos.