Sukses

Nenek Lumpuh Bertahun-tahun Tinggal di Genangan Banjir Semarang

Tak mau dipindahkan, nenek lumpuh minta pemerintah menangani banjir rutin di Semarang.

Liputan6.com, Semarang - Genuksari adalah nama salah satu kelurahan di Semarang. Sebuah kelurahan yang berada di Semarang, ibu kota provinsi, kota terbesar di Jawa Tengah. Sebuah hunian yang berada di sekitar pusat pengelolaan pemerintahan provinsi.

Di sela keriuhan dan kesibukan sebagai ibu kota provinsi itu, terselip seorang nenek berusia 70 tahun. Namanya Sutikah. Ia hidup bersama anak dan cucunya bertahun-tahun terisolsi banjir dan rob di rumahnya yang berada di wilayah RT 4/RW 3 Kelurahan Genuksari, Kecamatan Genuk, Kota Semarang.

Hidup Sutikah makin terkesan 'mukjizat' jika dilihat dari kacamata orang normal. Mengapa? Karena Sutikah tidak bisa berjalan secara normal. Harus dengan alat bantu tongkat.

Untuk sampai ke rumahnya, sangat tidak mudah. Kita harus berjalan hati-hati saat menyeberangi rob setinggi sekitar 1 meter mengelilingi rumahnya yang sudah reyot. Di dalam rumah pun sama, penghuni tidak bisa leluasa bergerak karena semua sudut ruangan penuh air.

Meski mempunyai beberapa anak kandung, tapi Sutikah hanya tinggal bersama cucu dan menantunya, Alifah, 45. Untuk bertahan hidup, Alifah menjadi buruh cuci. Alifah juga bukan ibu kandung Annisa tapi bibi atau buliknya.

Nenek dan cucu itu hany bisa berbaring selonjoran jika Alifah pergi bekerja. Kebutuhan pangan, meski seadanyaa tersedia di dekat pembaringan.

"Suami saya telah meninggal dunia beberapa tahun lalu. Saya hidup numpang kebaikan hati mantu sudah bertahun- tahun. Kadang-kadang kalau air agak surut, ada saja tetangga yang datang dan memberi sesuatu," kata Sutikah.

Hidup akrab dengan rob dan banjir, Sutikah mengaku sering menangis saat hujan deras.

"Ini rumah kan sudah mau roboh belum diperbaiki. Khawatir kalau terjadi apa-apa," kata Sutikah.

Hari Selasa 18 Oktober 2016, Sutikah akhirnya diungsikan ke gedung PKK Kelurahan Genuksari. Dengan santai dan kaki selonjoran, ia menerima kunjungan Wakil Wali Kota Semarang Hevearita G. Rahayu. Tahu didatangi pejabat, Sutikah cuek saja duduk lesehan.

"Wah mboten usah pindah Dik. Kula remen manggen teng mrika (wah nggak usah pindah dik. Saya senang tinggal di sana)," kata Sutikah menjawab tawaran mbak Ita, panggilan akrab wakil wali kota, untuk dipindahkan tempat tinggalnya.

Tawaran menghuni rumah yang lebih manusiawi di rusunawa Karangroto juga ditolaknya. Sutikah rupanya sangat menimati kehidupan sosialnya.

"Teng mrika mawon, cedhak tangga. Kadang sok arisan (di sana saja, dekat dengan tetangga. Kadang kan ikut arisan)," kata Sutikah.

Alasan Sutikah menolak relokasi sebenarnya merupakan sentilan agar rob dan banjir ditangani lebih menyeluruh. Termasuk renovasi rumah-rumah orang miskin yang terdampak rob atau banjir.

"Dik, nek dibangun cilik wae tapi bakuh wae. Sisan ngenteni banjir rob ditangani (Dik, kalau dibangun, kecil saja tapi kuat. Sekalian menunggu upaya penanganan banjir rob," kata Sutikah memberi usul.

Atas hal ini, mbak Ita manggut-manggut. Ia langsung memerintahkan bawahannya agar Pemkot membantu perbaikan rumah. Jika belum ada anggaran, diminta melalui Badan Amal Zakat (BAZ) dan Corporate Social Responsibility (CSR) perusahaan.

"Kami akan lakukan perbaikan rumah karena rumah Mbah Sutikah sudah tidak layak huni. Nanti juga akan dilakukan peningkatan jalan setapak menuju rumah Mbah Sutikah agar Mbah Sutikah dan keluarga tidak melintasi lumpur dan air," kata mbak Ita.