Liputan6.com, Kupang - Hery Anabokai (37), warga Desa Kuli, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao, NTT, tewas usai dijemput dua anggota Polres Rote Ndao di Empanang, Kecamatan Naga Ngantuk, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat pada 29 September 2016, untuk dibawa ke Rote Ndao. Dalam perjalanan, Hery dinyatakan meninggal dunia.
Heri bekerja sebagai buruh kebun sawit di Kalimantan Barat. Dia dijemput polisi karena menjadi salah satu saksi atas tewasnya Martinus Anabokay di Rote Ndao pada 2012 silam.
Adik kandung korban, Anis Bokai menuturkan, kakaknya dijemput dua anggota polisi Polres Rote Ndao yakni, Bripka Josua Atakay dan Briptu Josafat Baksuni sekitar pukul 4.00 WIB dinihari. Kedua polisi tersebut mengantongi surat perintah dari Kapolres Rote Ndao.
Advertisement
Saat dijemput, Heri sempat dipukul bahkan tangannya diborgol. "Heri sempat dipukul bahkan diborgol. Kalau dipanggil hanya menjadi saksi kenapa kakak saya diborgol sampai dipukul?" ujar Anis kepada Liputan6.com saat mendatangi kantor PIAR NTT, Jumat, 21 Oktober 2016.
Kabar kakaknya dijemput polisi lanjut Anis, diketahui dari dua adiknya yang tinggal bersama korban karena tempat kerjanya berbeda dengan korban. Dia baru mendapat kabar pada pagi hari ketika ditelepon adiknya.
Baca Juga
Mendapat telepon itu, ia langsung menuju Polres Empanang karena ia mengira kakaknya diantar ke sana. Namun, ia kaget ketika mendapat jawaban dari anggota Polres Empanang, kedua polisi dari Rote Ndao yang menjemput kakaknya tidak pernah melaporkan diri di Polres Empanang.
Mendengar jawaban itu, dia pun kembali menemui petugas keamanan tempat korban bekerja. Dari cerita petugas itu, kakaknya dijemput dua polisi yang mengaku dari Polress Rote Ndao menggunakan sebuah mobil travel.
"Dari cerita security, saat diperiksa di pos jaga, dua polisi itu sempat menunjukkan surat tugas dari Kapolres Rote Ndao untuk menjemput korban sebagai saksi kasus pembunuhan menggunakan mobil travel," ucap Anis.
Khawatir dengan keberadaan kakaknya, Anis lalu menghubungi keluarganya di Rote Ndao meminta nomor telepon Josua, polisi yang menjemput kakaknya. Saat menelepon Josua, baru diketahui kakaknya sudah tewas dan jenazahnya masih berada di RSB Pontianak.
"Saya kaget dapat jawaban dari Josua bahwa Heri meninggal dunia dan jenazahnya mau dikirim ke NTT. Awalnya saya sampai tidak percaya, masa kakak saya baru dijemput pagi, siangnya dikabarkan meninggal," tutur Anis.
Istri korban, Basmat Anabokai Sakarias mengatakan, Heri bekerja di Kalimantan sejak 2014 hingga 2015. Pada 2016 kembali ke Rote, dia tidak pernah mendapatkan surat panggilan dari Polres setempat sebagai saksi dalam kasus pembunuhan itu.
Dia kaget polisi sudah membawa Hery dalam kondisi sudah meninggal dunia. Dia meminta pemerintah dan kepolisian agar mengusut tuntas kasus kematian suaminya itu.
"Saya minta polisi mengusut kematian suami saya, dia adalah harapan kelima anak saya. Saya rasa kematian suami saya sangat tidak wajar," pinta Ana.
Ana menambahkan, saat jenazah suaminya dikuburkan, Kapolres Rote Ndao, AKBP Murry Miranda menyerahkan uang sebesar Rp. 45 juta sebagai rasa belasungkawa. "Uang itu katanya sebagai uang duka dari Kapolres," tambah Ana.
Penuh Luka Memar
Jenazah Heri tiba di Kupang pada 1 Oktober 2016 dan dilakukan autopsi di RSB Kupang. Saat diautopsi, diketahui di bagian dada korban dipenuhi luka memar.
"Saya yang saksikan sendiri kondisi korban saat autopsi di RSB. Ada bekas luka memar di bagian dada korban. Jika polisi beralasan korban melarikan diri dan terjatuh dalam jurang sangat tidak wajar karena luka lebam hanya di bagian dada," ujar Anis Anabokai, adik kandung korban.
Mendapat pengaduan dari korban, Direktur PIAR NTT, Sarah Leri Mboik meminta Kapolda NTT, Brigjen Pol. E. Widyo Sunaryo segera mengusut kematian Heri Anabokai yang menurutnya tidak wajar.
"Dua polisi itu menjemput korban berdasarkan surat perintah Kapolres Rote Ndao, sehingga saya minta Kapolda NTT segera memeriksa Kapolres. Kapolres harus bertanggung jawab dalam kasus ini," tegas mantan anggota DPD RI itu.
Ketua Kontras pusat, Haris Azhar mengatakan, uang duka yang diberikan Kapolres kepada keluarga korban merupakan bentuk penyuapan guna menutupi kesalahan.
"Itu uang suap, jaksa harus periksa Kapolresnya," ujar Haris kepada Liputan6.com, via telepon seluler, Jumat 21 Oktober 2016.
Haris meminta Polda NTT memeriksa dua oknum polisi yang menjemput korban dan segera menonaktifkan Kapolres Rote Ndao karena, berpeluang menghilangkan barang bukti.
Advertisement