Liputan6.com, Jambi - Nasib penambang emas ilegal di Kabupaten Merangin, Jambi, menjadi sorotan. Sejak tertimbun longsor di lubang penambangan pada Senin, 24 Oktober 2016, kesebelas penambang belum juga bisa dievakuasi karena lokasinya masih terendam air.
Ketua Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), Gatot Sugiharto mengatakan, insiden yang menimpa 11 penambang di Kabupaten Merangin itu merupakan bentuk kesalahan pemerintah, khususnya Pemprov Jambi, dalam penyelesaian masalah dan pembinaan penambang tradisional di daerah itu.
Menurut Gatot, penambang di Jambi selama ini selalu dikambinghitamkan apabila terjadi insiden. "Selama ini, para penambang selalu di wilayah abu-abu. Padahal, dalam undang-undang dibolehkan penambang memperoleh izin, yakni melalui Wilayah Penambangan Rakyat (WPR)," ujar Gatot saat dihubungi Liputan6.com, Kamis, 27 Oktober 2016.
Gatot menyebut salah satu syarat bagi penambang legal adalah memiliki organisasi dan berada di area yang berizin. Namun saat ini, tak satu pun penambang di Jambi yang memiliki hal itu.
"Ini inti masalahnya, pemerintah salah dalam pembinaannya, selalu mengedepankan sikap represif," kata dia.
Gatot juga mengatakan akan membawa masalah pertambangan di Jambi itu dalam Rakernas APRI tanggal 1-4 November 2016.
Sementara itu, Manager Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf menilai pemerintah gamang dalam menyelesaikan masalah penambangan tradisional di Jambi. Penambang-penambang kecil yang selalu berhadapan dengan aparat apabila terjadi insiden ataupun kegiatan penertiban.
"Sementara aktor atau para pemodalnya tak tersentuh," kata Rudy.
Baca Juga
Untuk itu, ia meminta agar penegakan hukum pada setiap penambang ilegal benar-benar ditegakkan sampai ke akar-akarnya. Ia juga menyarankan agar pemerintah membuka Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) agar jelas mana aktivitas tambang yang legal atau tidak.
"Setahu saya, di Jambi baru ada Wilayah Penambangan Umum (WPU) itu skalanya besar untuk perusahaan seperti PT Aneka Tambang (Antam). Untuk WPR belum ada dan ini sebenarnya diatur dalam undang-undang," tutur Rudy.
Menurut Rudy, tidak adanya lokasi yang jelas menjadikan wilayah penambangan tradisional di Jambi menyebar tak terkendali. Kondisi tersebut dinilai amat berbahaya baik secara ekologi maupun kesehatan.
Sebelumnya, sebelas penambang emas tradisional ilegal dilaporkan tertimbun longsor di lokasi penambangan emas, Desa Simpang Parit, Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, Senin 24 Oktober 2016. Para penambang emas liar tersebut tertimbun dalam terowongan dengan kedalaman sekitar 50–70 meter.
Sebelas korban tersebut yakni Tami (45), Yung Tuk (30), Siam (28), Hamzah (55), Jurnal (21), Catur (24) dan Guntur (34)Â merupakan warga Sungai Nilau, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin. Selajutnya, Cito (25) dan Zulfikar (25) warga Perentak, Kecamatan Pangkan Jambu, serta Dian Arman (53) dan Erwin warga Air Batu, Kecamatan Renah Pembarap.
Dari data yang dihimpun Liputan6.com, jauh sebelum kejadian nahas pada Senin kemarin, korban meninggal dunia di ladang emas Merangin sudah kerap terjadi. Total sudah 19 warga tercatat meninggal dunia di sejumlah lokasi tambang emas Merangin.