Liputan6.com, Semarang - Ketika masih berusia tiga puluhan tahun, Sumirah nekat hijrah ke Jakarta. Ia membayangkan hidup di Jakarta akan mudah mencari pekerjaan. Setidaknya dengan menjadi pembantu rumah tangga.
Namun ternyata pergulatan nasib tak membawa keberuntungan baginya. Hingga punya anak, ia tak juga menemukan apa yang ia idamkan. Akhirnya ia menjadi pemulung spesialis botol bekas. Pekerjaan itu ditekuninya hingga puluhan tahun.
Usia dan ketahanan fisik memang selalu berbanding lurus. Menapaki usia enam puluhan, Sumirah mulai sakit-sakitan. Sang anak, Sugeng Widodo, yang menemaninya, tidak rela melihat ibunya sakit-sakitan dan menjadi gelandangan di Ibu Kota. Maka dengan keberanian luar biasa, Sugeng Widodo menaikkan Sumirah ke dalam gerobak dan membawanya pulang ke Semarang.
Advertisement
"Dulu saya bawa jalan kaki, saya naikkan gerobak. Berjalan berhari-hari menempuh ratusan kilometer Jakarta-Semarang," kata Sugeng Widodo pada Senin, 31 Oktober 2016.
Baca Juga
Kini mereka sudah ada di Semarang. Sumirah pun diajak tinggal di sebuah gang sempit, sekitar Pasar Kranjangan, Kelurahan Dadapsari, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang.
Meski demikian, saking cintanya Sugeng Widodo kepada ibu kandungnya itu, hingga kini ia diajak berkeliling kota Semarang dengan menaiki gerobak.
Tak sadar mereka berdua sudah menjadi manusia gerobak. Melepas status sebagai kaum urban yang gagal di Ibu Kota, mereka belum sukses di Semarang.
Setiap hari, pada pukul 06.00 pagi, Sugeng sudah membereskan rumahnya. Mencukupi kebutuhan ibunya, jika ada, semisal sarapan. Usai membereskan rumah, sang ibu digendong, didudukkan di atas gerobak, dan mereka berdua memulai hari sebagai pemulung, spesialis botol bekas.
Mengapa ibunya dibawa ke sana ke mari, meski hanya naik gerobak?
"Dia saya bawa naik gerobak karena di rumah ndak ada yang merawatnya," kata Sugeng.
Tepat di depan Keuskupan Agung Semarang (KAS) di Jalan Pandanaran yang dipenuhi pepohonan rindang itulah Sugeng hampir tiap pagi melepas lelah bersama Sumirah, ibundanya. Pakaiannya tampak lusuh. Begitu pula dengan ibunya. Ia mengaku hanya bisa memberikan plastik seadanya agar ibunya tidak kena hujan jika hujan turun.
Saat melepas penat di pinggir jalan, ia terkadang mendapat segelas air mineral dan sebungkus roti dari pengendara sepeda motor yang iba. Makanan itu mereka bagi berdua sebagai penahan lapar.
"Saya hanya bisa duduk di gerobak karena kaki saya lagi sakit," kata Sumirah yang kini usianya 73 tahun itu.
Ketidakberdayaan ibunya yang membuatnya tak tega meninggalkannya sendirian di rumah.
"Ibu saya sudah tua. Matanya juga mulai rabun dan kondisinya sakit-sakitan. Mau enggak mau ya mengajaknya naik gerobak," kata Sugeng.
Mengais botol bekas sambil memboyong sang ibu tentu bukanlah perkara mudah. Soal malu ia sudah kebal. Namun ketertiban warga Semarang yang mulai malu membuang sampah di jalanan menjadi tantangan tersendiri.
Akibatnya Sugeng tak selalu beruntung. Sebab, kadang kala dalam sehari hanya dapat beberapa botol saja. Namun, jika nasib baik sedang menghampirinya, ia bisa mendapatkan banyak botol bekas.
"Seperti hari ini, sejak pagi tadi, saya cuma dapat beberapa kaleng dan botol. Biasanya kalau sudah ngumpul banyak saya jual lagi ke tetangga yang jadi pengepul barang bekas. Ya cuma ini yang bisa saya lakukan demi menghidupi ibu saya," kata Sugeng.