Sukses

Pasien Minta Suntik Mati, Dokter Hadapi Sidang Etik

IDI Kaltim akan menganalisis proses awal penanganan medis pasien yang kini tergolek lemas di RS Panglima Sebaya, Paser, Kaltim.

Liputan6.com, Balikpapan - Dokter Klinik Muhammadiyah, Kabupaten Paser, Kalimantan Timur (Kaltim), Ferdinando terbelit masalah pelik menyusul kelumpuhan salah seorang pasien, Humaida, pasca-menjalani operasi sterilisasi. Dia pun harus menghadapi sidang Majelis Kehormatan Etik Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Kaltim.

"Hari ini kami menggelar sidang Majelis Kehormatan Etik IDI Kaltim," ucap Ketua IDI Kaltim, Nathaniel saat dihubungi Liputan6.com, Selasa (1/11/2016).

Nathaniel mengatakan IDI Kaltim akan menganalisis proses awal penanganan medis pasien Humaida yang kini tergolek lemas di Rumah Sakit Panglima Sebaya, Paser, selama lima tahun dan enam bulan terakhir. Pasien ini sekarang didiagnosis mengalami vegetative state atau kelumpuhan parah jaringan otak berujung kelumpuhan fungsi tubuhnya.

"Kami mengumpulkan seluruh dokter ahli sehubungan kasus medis ini, selain itu juga meminta keterangan dokter yang menangani pertama," ujar dia.

Nathaniel memastikan dalam waktu dekat ini IDI Kaltim akan memutuskan kesimpulan diagnosis atas proses penanganan medis Humaida. Kesimpulan IDI Kaltim menjawab pertanyaan keluarga pasien yang mempertanyakan proses penanganan medis Humaida yang berakibat pada kelumpuhan.

"Keluarga memang sudah melaporkan dokter bersangkutan atas penanganan pasien Humaida," sebut Nathaniel.

Penjelasan Dokter

Adapun dokter Ferdinando mengungkapkan dirinya sudah melaksanakan operasi sterilisasi sesuai ketentuan medis berlaku. Operasi bahkan berlangsung lancar di mana kondisi pasien berangsur stabil.

"Operasinya lancar saja dan tidak ada masalah. Penanganan perawatan kemudian diserahkan pada perawat," tutur dia.

Namun tiga jam kemudian, lanjut Ferdinando, mendadak tensi pasien meningkat drastis disertai kejang kejang dan gagal jantung. Dokter jaga saat itu langsung memberikan  pertolongan alat pacu jantung dan bantuan pernapasan.

"Jantung pasien akhirnya berdenyut lagi, meskipun kondisinya seperti sekarang ini," ujar dia.

Ferdinando tetap optimistis pasien Humaida mampu disembuhkan lewat tambahan suplemen rangsangan otak serta program terapi fisiknya. Dia siap berkoordinasi tim medis RS AW Sjahranie soal kesembuhan pasien ini.

Selain itu, Ferdinando mengaku siap menerangkan penanganan medisnya bila nanti diminta keterangan IDI Kaltim. Dia merasa tidak ada satu pun prosedur medis yang dilanggar sehubungan penanganan Humaida.

"Siap saja untuk bila dipanggil IDI Kaltim. Memang belum bisa dipastikan penyebab pasien mengalami gagal jantung pasca operasi sterilisasi," tutur dia.

Pasien Humaida mengalami vegetative state atau kerusakan jaringan otak kronis pasca operasi sterilisasi. Pasien saat itu juga baru saja melahirkan anaknya kelima.

Pascaoperasi sterilisasi, pasien mendadak kejang-kejang hingga berhentinya detak jantung selama 30 menit. Keterlambatan penanganan medis seperti ini diduga berujung pada kerusakan jaringan otak pasien.

Keluarga yang sempat patah arang juga mengajukan permohonan eutanasia atau suntik mati terhadap pasien Humaida. Pasien ini sepenuhnya tergantung penuh bantuan orang lain dalam menjalani aktivitas menelan makanan, minuman dan membuang kotoran.

2 dari 3 halaman

Tuntutan dan Permohonan Suntik Mati

Warga Kabupaten Paser, Kalimantan Timur, Ahmad Januar menuntut pertanggungjawaban Ikatan Dokter Indonesia (IDI) setempat. Pemuda ini menyoal permasalahan medis menerpa ibunya, Humaida yang kini mati suri pascamenjalani operasi steril di Klinik Muhammadiyah Paser sejak enam tahun silam.

"Saya menuntut pertanggungjawaban IDI Kaltim untuk memberikan penanganan medis ibu saya ini," ucap Ahmad Januar saat ditemui di Balikpapan, Senin, 31 Oktober 2016.

Januar mengaku sudah melayangkan surat somasi ke Majelis Kehormatan IDI Kaltim guna memproses permasalahan medis Klinik Muhammadiyah Kabupaten Paser ini. Dia meminta IDI Kaltim menindak oknum petugas medis yang tidak profesional berujung rusaknya jaringan otak pasiennya ini.

"Permasalahan ini harus menghubungi IDI saat ada masalah medis," ujar dia.

Ketua LBH Sikap, Rio Ridhayon, mengatakan surat somasi terhadap IDI Kaltim menjadi langkah hukum pertama dalam pendampingan kasus medis ini. Sesuai ketentuan Undang-Undang Kesehatan, menurut dia, persengketaan kasus medis terlebih dahulu dilakukan mediasi dengan IDI setempat.

"Masih menunggu jawaban IDI Kaltim soal kasusnya ini," ujar dia.

Selanjutnya, Rio mempertimbangkan melayangkan gugatan perdata maupun pidana terhadap petugas medis Klinik Muhammadiyah, Paser  yang mengakibatkan kelumpuhan kliennya. Hingga Senin, 31 Oktober 2016, dia masih menunggu niat baik IDI Kaltim guna menjembatani penanganan medis kliennya.

Rio yang sudah menerima mandat keluarga, juga akan meminta fatwa Mahkamah Agung guna mengabulkan keinginan eutanasia atau suntik mati terhadap pasien Humaida. Selama hampir enam tahun, pasien ini sepenuhnya tergantung penuh bantuan orang lain dalam menjalani aktivitas menelan makanan, minuman dan membuang kotoran.

"Masih hidup tapi tidak bisa beraktivitas seperti manusia normal. Matanya hanya bisa bergerak ke atas," tutur dia.

Permasalahannya bermula saat pasien Humaida (41 tahun) melahirkan anak kelimanya secara normal RSUD Panglima Sebaya, Kabupaten Paser. Pihak rumah sakit merujuk Klinik Muhammadiyah yang menangani proses kelahiran.

"Mungkin karena mempergunakan surat keterangan tidak mampu," Januar memaparkan.

3 dari 3 halaman

Saran Operasi Sterilisasi

Proses kelahiran berjalan lancar dengan adanya bayi perempuan dinamai Nabira. Saat itu, salah seorang perawat menyarankan dilakukannya operasi sterilisasi guna mengendalikan kehamilan ibu bayi.

"Mungkin karena anaknya sudah lima, sehingga disarankan menjalani operasi sterilisasi," tutur Januar.

Pascaoperasi sterilisasi, Januar menyebutkan ibunya mendadak mengalami kejang-kejang hingga berhentinya detak jantungnya. Dia memperkirakan ibunya tidak memperoleh penanganan medis semestinya dari petugas medis berupa pernapasan buatan maupun alat pacu jantung.

"Perawat hanya manggil-manggil ibu saja, setidaknya selama 30 menit seperti itu. Hingga memanggil dokter untuk meminta bantuan. Namun kondisi ibu saya sudah seperti sekarang ini," ujar dia.

Januar berulang kali berkonsultasi pakar medis yang mayoritas menarik kesimpulan ibunya mengalami cedera parah akibat terhambatnya pasokan oksigen saat terhentinya detak jantung. Pasien diduga alergi salah satu obat diberikan sehingga berimbas gagal jantung sebagai pemicu sirkulasi darah ke jaringan otak manusia.

Selama hampir enam tahun ini, pasien Humaida mendapatkan perawatan di salah satu ruangan rumah sakit RSUD Kabupaten Paser. Suami korban terpaksa harus meninggalkan pekerjaannya demi membantu kebutuhan sehari hari istrinya ini di RSUD Kabupaten Paser.

"Keluarga kami sudah habis-habisan adanya masalah ini. Rumah sudah tidak ada, adik adik juga terpaksa dititipkan pada keluarga. Bapak juga tidak bisa bekerja menjaga ibu di rumah sakit," kata sang suami.

Adapun Ketua IDI Kaltim Nathaniel mengaku sudah menerima surat pengaduan Ahmad Januar soal permasalahan medis ibunya. Dalam surat ini, Januar melaporkan dokter yang pertama menangani pasien, Ferdinando dan langkah penanganan eutanasia.

"Besok (Selasa, 1 November 2016) kami melakukan sidang Majelis Kehormatan Etik IDI Kaltim. Soal eutanasia tidak bisa dilakukan, karena melanggar sumpah dokter. Selain itu juga tidak ada aturan hukumnya di Indonesia," ujar dia.

Sehubungan permasalahan pasien Humaida, Nathaniel menyatakan tetap berusaha mengupayakan penanganan medis pasien yang didiagnosis terkena vegetative state. Penyakit di mana kondisi pasien menderita kerusakan otak serius yang berdampak pada aktivitas kesehariannya.

"Kami akan kumpulkan para ahli untuk menangani kasusnya nanti. Masih ada peluang, meskipun tidak 100 persen sembuh," Ketua IDI Kaltim Nathaniel memungkasi.