Liputan6.com, Kupang - Dalam perjuangannya, Presiden pertama RI Sukarno atau Bung Karno kerap lolos dari maut. Insiden-insiden yang nyaris menewaskannya berulang kali terjadi sejak dia berjuang. Salah satunya insiden di Ende, Nusa Tenggara Timur.
Syahdan, sesaat sebelum Jepang masuk Ende, Bung Karno sebagai tawanan politik akan dilarikan Belanda ke Australia. Saat itu, kapal sudah penuh terisi, sehingga Belanda hanya mencatat tambahan dua penumpang dewasa dan satu anak-anak, yaitu Bung Karno, Ibu Inggit, dan Kartika.
Saat itu Bung Karno menolak ikut jika pelayan dan pengawal pribadinya, Riwu Ga, tak ikut pergi. Terjadilah perdebatan di pelabuhan antara Bung Karno dan polisi Belanda.
Advertisement
“Saya tak akan ikut tanpa Riwu,” ucap Bung Karno, seperti dikutip Peter A. Rihi, penulis buku sejarah Riwu Ga, kepada Liputan6.com saat acara seminar kepahlawanan Riwu Ga untuk usulan sebagai pahlawan nasional di Kupang, Sabtu, 22 Oktober 2016.
Deru tank dan konvoi tentara Jepang menimbulkan ketakutan. Polisi-polisi Belanda bergegas masuk kapal tanpa Bung Karno.
Baca Juga
Belum jauh dari pelabuhan, kapal yang membawa orang-orang Belanda yang akan menyelamatkan diri ke Australia itu dibom pesawat Jepang. Kapal meledak. Bung Karno selamat.
Siapakah Riwu Ga itu? Mengapa Bung Karno kukuh menjaganya?
Riwu Ga adalah pemuda asal Pulau Sabu, Raijua, Nusa Tenggara Timur. Saat minta Riwu Ga tinggal bersamanya, Bung Karno minta izin ke Gadi Walu, kakak sepupu Riwu Ga.
“Boleh, tapi Bung Karno harus berjanji tidak menelantarkan Riwu di tanah rantau,” ucap Gadi Walu.
“Kalau Riwu mati, saya juga akan mati,” demikian janji Bung Karno.
Peter A. Rihi mengaku bersama jurnalis Yusak Riwu Rohi melakukan konfirmasi langsung pada nenek Gadi Walu yang sudah dalam usia lanjut, tapi ingatannya masih kuat.
“Bung Karno datang pada saya pakai baju dan celana putih,” kata nenek Gadi, seperti ditirukan Peter.
"Saya minta Bung Karno datang lagi, karena Riwu harus pulang ke Sabu minta dukungan dengan ritual Jingitiu. Ketika Riwu sudah pulang dari Sabu, saya minta Bung Karno datang lagi, baru saya izinkan Riwu mengikuti Bung Karno."
Hari-Hari Genting Kemerdekaan
Jasa Riwu Ga yang lainnya tercatat saat proklamasi kemerdekaan RI. Riwu Ga yang buta huruf ini dipercaya Bung Karno untuk menyebarkan berita proklamasi keliling Jakarta. Tujuannya agar rakyat Jakarta yang tidak memiliki radio bisa tahu bahwa Indonesia telah merdeka.
Dari atas mobil terbuka, Riwu Ga dengan memegang bendera merah putih yang dilambai-lambaikannya berteriak-teriak sekeling kota Jakarta, menyampaikan bahwa Indonesia sudah merdeka. "Kita sudah merdeka, kita sudah merdeka, merdeka, merdeka!"
"Kisah ini hasil wawancara saya langsung dengan Riwu Ga pada bulan Agustus 1991. Riwu Ga memiliki jasa yang besar untuk kemerdekaan RI dan ia terlibat langsung dalam perintisan kemerdekaan RI, sehingga dia pantas untuk menjadi pahlawan nasional," kata Peter.
Margareta Erni Taga Ga, anak Riwu Ga, mengaku bangga atas gagasan positif seminar kepahlawanan Riwu Ga.
Dia menandaskan bangsa yang besar menghargai jasa para pahlawan. Demikian pula dengan jasa Riwu Ga di masa yang lalu sangat sangat akrab dengan Bung Karno sebagai seorang pelayan yang begitu sabar dan setia mulai dari masa pengasingannya di NTT.
Riwu Ga dilahirkan di Depe, Sabu Barat pada 1918. Kemudian pada 1934 Riwu Ga merantau ke Ende, Flores dan tinggal bersama kakaknya Gadi Walu.
Di Ende, Riwu Ga menjual kue setiap pagi dan sore. Riwu sering datang ke rumah Bung Karno, membantu pekerjaan sehari-hari, termasuk ikut main tonil yang digelar Bung Karno. Selanjutnya Riwu Ga diminta Bung Karno untuk tinggal bersama-sama.
Usai pengasingan di Ende, Bung Karno dipindahkan ke Jawa dan Sumatera. Riwu Ga terus bersama Bung Karno hingga Indonesia dinyatakan merdeka.
Riwu Ga kemudian kembali ke NTT. Di Kupang, Riwu menjadi penjaga malam di kantor dinas setempat hingga pensiun pada 1974. Kemudian bersama isterinya menjadi petani di Nunkurus, kabupaten Kupang.
Pada 17 Agustus 1945, Riwu Ga keliling Jakarta mengumumkan kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal yang sama 51 tahun kemudian, 17 Agustus 1996, pelayan sekaligus pengawal pribadi Bung Karno itu mengembuskan napas terakhir.
Advertisement