Liputan6.com, Kupang - Terdiri dari wilayah kepulauan, Nusa Tenggara Timur memiliki banyak keragaman adat dan budaya, salah satunya Sabu Raijua. Hingga saat ini, sebagian warga Sabu Raijua masih menganut aliran halaik. Â
Halaik menganut animisme. Para pengikutnya mempercayai kekuatan alam dan menyembah pohon-pohon besar, bintang, bulan, dan matahari. Selama hidupnya, pengikut Halaik hanya mengenakan pakaian dari hasil tenun alami dan rambut lelaki diwajibkan gondrong.
Di setiap rumah pengikut Halaik, dibuat sebuah tiang khusus sebagai tempat menyembah berhala. Tiang itu setiap harinya disembah dengan cara diberi makan berupa nasi dan daging. Halaik pantang dengan binatang-binatang laut.
Penganut Halaik memiliki seorang raja atau pimpinan yang biasa disebut 'Deo Rai'. Uniknya, di saat meninggal, jasad raja ini dilarang dilihat oleh keluarga dekat, termasuk isteri anak raja.
Baca Juga
Hanya lima pengawalnya yang berhak memberi penghormatan terakhir pada sang raja. Mereka yang bertanggung jawab menguburkan Raja secara rahasia, bahkan warga yang melayat keluarga yang berduka tidak boleh tahu di mana sang raja dikuburkan.
"Kami percaya jika dilanggar, keluarga akan mendapat sial. Saat masyarakat datang melayat, mereka hanya melihat bantal. Kami sebagai anak kandung, hingga saat ini tidak tahu dimana ayah dikuburkan," tutur Ina Rin Dima, anak raja Halaik kepada Liputan6.com, Senin, 31 Oktober 2016.
Usai dikuburkan, lanjut Ina, warga melakukan upacara adat selama satu minggu dengan tarian 'Lendo' sebagai bentuk penghormatan kepada sang raja.
Jika warga kelas biasa sebagai pengikut Halaik meninggal dunia, jasadnya disandarkan pada sebuah tiang persis di tengah rumah yang selama ini disembahnya. Mayat kemudian diikat di tiang itu bahkan dikuburkan dengan posisi duduk.
"Upacara penguburan tidak ada upacara doa. Saat penguburan jasad dikawal dua halaik wanita. Yang satu pegang dua tebu hitam dan satu pegang anak panah. Jika jasad suami, maka akan dikuburkan bagian barat, sedangkan isteri di bagian timur," kata Ina.
Ina menambahkan, Halaik menjadikan April sebagai bulan kerbau. Di bulan itu, seluruh warga Halaik mengumpulkan hasil pertanian untuk memberi makan kerbau milik raja Halaik. Setelah diserahkan ke raja sebagai bentuk upeti, baru warga bisa memakannya.
"Jika hasil pertanian dimakan sebelum diserahkan ke raja maka kami punya kepercayaan, hasil tanaman kami akan dihabisi kerbau," ucap Ina.
Advertisement