Liputan6.com, Jayapura - Segenap apresiasi diberikan untuk Kapten Parhat, pilot yang meninggal dalam kecelakaan penerbangan di Papua. Dia dikenal sebagai penerbang handal yang berpengalaman menaklukkan medan Papua.
"Dia juga seorang instruktur yang jam terbangnya di Papua sudah di atas 15 ribu," demikian penuturan Kapten Beni Sumaryanto selaku Deputi Operasi maskapai Trigana Air Service, mengenang sosok almarhum Parhat Limi (56), Selasa, 2 November 2016, dilansir Antara.
Kapten Parhat meninggal setelah pesawat DHC4 PK-SW turbo Caribou yang dikemudikannya hancur berkeping-keping setelah menghantam punggung gunung pada ketinggian 12.800 kaki dpl. Lokasinya di perbatasan Distrik Jila, Kabupaten Mimika dengan Ilaga, Kabupaten Puncak, Papua, pada Senin pagi, 31 Oktober 2016.
Advertisement
Saat itu, pesawat tersebut tengah dalam perjalanan dari Bandara Mozes Kilangin Timika menuju Bandara Aminggaru Ilaga.
Baca Juga
Dalam penerbangan itu, Kapten Pilot Parhat ditemani kopilot R Fendy Ardianto (38), mekanik Steven David Basari (35), dan FOO Endri Baringin Sakti P (40).
Seluruh kru pesawat nahas itu ditemukan dalam kondisi telah meninggal dunia oleh tim Emergency Respons Grup (ERG) PT Freeport Indonesia pada Selasa pagi, 1 November 2016.
Pesawat milik Pemkab Puncak yang baru beroperasi sebulan itu juga mengangkut material semen dan besi untuk proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ilaga berkapasitas 700 KWH.
Pilot Senior
Kapten Pilot Beni Sumaryanto mengaku mengenal dekat Pilot Parhat. Keduanya tergolong pilot senior di maskapai Trigana Air Service lantaran sudah 20 tahun berkiprah dalam dunia penerbangan di Papua yang terkenal sangat ekstrem itu.
Medan Papua terutama di wilayah pegunungan yang diselimuti gunung-gunung tinggi dan terjal, kondisi cuaca yang selalu berkabut tebal dan angin kencang yang bisa berubah sewaktu-waktu menjadi "makanan pokok" sehari-hari almarhum Parhat.
"Beliau sudah 20 tahun terbang di Papua. Saya juga sudah terbang di sini (Papua) sejak 1992," ujar Beni.
Dengan pengalaman panjang dalam mengawaki pesawat terbang di Papua itu, maskapai Trigana Air Service pun tak segan untuk merekomendasikan Pilot Parhat agar menakhodai pesawat DHC4 PK-SWW turbo Caribou milik Pemkab Puncak.
"Kita tidak pernah memilih pilot-pilot yang baru. Pasti yang kita pilih pilot-pilot yang berpengalaman khususnya untuk pesawat Caribou ini," Beni menjelaskan.
Pesawat berjenis de Halivand Canada DHC4 Caribou buatan tahun 1972 itu dioperasikan oleh Alfa Indonesia. Hanya saja dalam kerja sama operasinya dengan Pemkab Puncak menggunakan para penerbang dari maskapai Trigana Air Service.
Cuaca Ekstrem
Beni mengakui seringnya terjadi kecelakaan pesawat terbang di Papua salah satunya karena kondisi cuaca ekstrem yang cepat berubah sewaktu-waktu.
"Banyak insiden penerbangan di Papua itu karena pengaruh iklim, cuaca dan alam Papua. Banyak kejadian di Papua ini disebabkan oleh faktor cuaca dan alam," jelasnya.
Meski begitu, Kapten Beni menyerahkan sepenuhnya penyelidikan insiden kecelakaan pesawat DHC4 PK-SWW itu kepada Komite Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT).
Salah seorang pilot maskapai Trigana Air Service Winner Sormin juga mengakui kehandalan Pilot Parhat Limi yang telah menguasai medan penerbangan di Papua selama puluhan tahun.
"Dia bukan sekadar berpengalaman, tapi juga instruktur saya. Dia sudah lama di Trigana, lebih dahulu dari saya," tutur Winner.
Kesan serupa dikemukakan Kepala Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informatika Kabupaten Mimika John Rettob.
Pilot Gunung
"Di Papua ini siapa yang tidak mengenal Pilot Parhat. Orang katakan, Pilot Parhat itu pilot gunung (mountain flight) yang sangat mengerti penerbangan di wilayah Papua. Terbang di wilayah Papua itu tidak mudah. Pilot harus mengenal medan Papua, anginnya, cuacanya dan lainnya. Almarhum salah satu pilot yang sudah lulus uji kelayakan terbang di Papua," kata John.
John mengaku sangat mengenal sosok almarhum Parhat Limi.
"Saya mengenal beliau cukup baik. Orangnya familier, suka membantu orang, terbang rajin, dia bersahabat dengan semua orang," tutur John.
Berita meninggalnya Pilot Parhat Limi bersama seluruh awak pesawat DHC4 PK-SWW, katanya, menjadi duka bagi dunia penerbangan di Papua.
"Sudah pasti demikian. Kini satu lagi pilot yang sangat berpengalaman terbang di Papua pergi untuk selama-lamanya. Kami semua berduka," kata John.
Menurut John, bukan pekerjaan mudah untuk mendapatkan seorang pilot agar bisa menerbangkan pesawat ke wilayah-wilayah pegunungan Papua.
"Kalau mau mencari pilot untuk pesawat Boeing 737 seri 800 hari ini kita buka lamaran maka akan ada 50 orang yang mendaftar. Tapi kalau untuk bawa pesawat-pesawat kecil di Papua seperti pesawat Grand Carravan atau Pilatus Porter, Twinn Otter, helikopter dan lain-lain sangat sulit. Itu yang kami alami hingga kini dengan pesawat Grand Caravan PK-LTV milik Pemkab Mimika yang dioperasikan PT Asian One Air," jelasnya.
Kepala Bandara Mozes Kilangin Timika Subagyo Hadidjan mengakui insiden jatuhnya pesawat DHC4 PK-SWW milik Pemkab Puncak di perbatasan Jila-Ilaga pada Senin, 31 Oktober 2016, menjadi duka bagi dunia penerbangan di Papua.
"Kami turut prihatin dan ikut berduka. Mudah-mudahan keluarga yang ditinggalkan diberikan ketabahan dan almarhum semoga mendapat tempat yang layak dan terbaik," ucap Subagyo.
Tak Ada Jalan Darat
Bupati Kabupaten Puncak Willem Wandik mengatakan keputusan pembelian pesawat DHC4 PK-SWWÂ Turbo Caribou tersebut semata-mata sebagai solusi untuk mendorong percepatan pembangunan di wilayahnya.
Sebab, wilayah Kabupaten Puncak berada di dataran tinggi Papua dengan kondisi geografis bergunung-gunung dan hanya bisa dijangkau oleh sarana transportasi udara.
Hingga kini kabupaten otonom yang baru terbentuk sekitar tahun 2008 setelah berpisah dari kabupaten induk di Puncak Jaya itu sama sekali belum terhubung dengan akses jalan darat baik dari Timika maupun dari Wamena, ibu kota Kabupaten Jaya Wijaya.
Suplai barang kebutuhan pokok masyarakat maupun bahan bangunan untuk warga Kabupaten Puncak, semuanya harus melalui pesawat terbang dari Timika.
Dalam sehari, pergerakan pesawat di Bandara Aminggaru Ilaga mencapai 30 pesawat, bahkan lebih. Padahal landas pacu Bandara Aminggaru Ilaga hanya sepanjang 600 meter.
"Dalam beberapa tahun terakhir, kami mengalokasikan anggaran untuk pengadaan pesawat ini semata-mata untuk percepatan pembangunan di Kabupaten Puncak. Kami punya harapan besar bahwa dengan adanya pesawat ini maka suplai barang kebutuhan pokok masyarakat maupun bahan bangunan dari Timika ke Ilaga lebih lancar," tutur Willem Wandik.
"Namun kenyataan yang kami hadapi sekarang seperti ini. Kami hanya bisa pasrah," ia menambahkan.
Pemkab Puncak, kata dia, akan terlibat langsung untuk menanggung seluruh biaya pemulangan jenazah kru pesawat Caribou DHC4 PK-SWW ke keluarga masing-masing di Jakarta dan Sentani, Jayapura hingga dimakamkan.
"Pesawat ini milik Pemda Puncak. Jadi, kami dari Pemda Puncak akan bertanggung jawab penuh kepada keluarga para korban sampai seluruh proses ini selesai," ujar dia.
Willem mengaku ikut merasakan dukacita keluarga korban yang ditinggalkan.
"Keluarga para korban yang ditinggalkan tentu menjadi beban kami. Kami siap mengambil alih tanggung jawab itu. Kami akan bicarakan dengan keluarga korban agar ke depannya seperti apa," tutur Willem Wandik.
Advertisement