Sukses

Satu Tungku Tiga Batu, Toleransi ala Papua

Toleransi di Fakfak, Papua ibarat tungku yang ditopang batu-batu yang harmonis.

Liputan6.com, Jakarta Potensi konflik agama masih membayangi masyarakat Indonesia. Konflik mulai dari hubungan antar-pemeluk agama yang tegang hingga konflik terbuka kadang masih terjadi.

Semangat toleransi antarumat beragama di Indonesia memang masih terus dibangun. Untuk itu sebenarnya banyak modal sosial berupa kearifan-kearifan lokal hidup rukun di berbagai daerah Indonesia.

Salah satunya di Fakfak, Papua Barat, yakni prinsip satu tungku tiga batu. Semboyan satu tungku tiga batu populer di sana.

Dari penelusuran Liputan6.com, hingga kini prinsip itu melandasi kehidupan bersama. Diwariskan turun temurun, semangat toleransi pun menyebar di pesisir Papua Barat, mulai dari Sorong, Fakfak, hingga Kaimana.

Pelaksanaan satu tungku tiga batu membuat Fakfak layak menjadi rujukan kerukunan beragama. Prinsip ini merujuk metafora tungku untuk memasak yang ditopang tiga batu. Batu-batu harus bersama-sama menyokong tungku agar tidak terguling.

Istilah tungku merujuk pada konsep kebersamaan, toleransi, dan harmoni. Interpretasi mendasarnya menyebutkan tiga batu penopang di bawahnya adalah simbol tiga agama dengan banyak pemeluk di sana yakni Islam, Katolik, dan Kristen.

Sejak lama, Fakfak adalah wilayah terbuka yang mendapat pengaruh dari kerajaan-kerajaan luar seperti Ternate dan Tidore. Seiring interaksi dengan dunia luar, berbagai dokumen menunjukkan Islam masuk Fakfak sejak abad 17, disusul Kristen dan Katolik. Hingga kini ketiga agama itu berkembang di Fakfak.

Semangat satu tungku tiga batu tak hanya dilembagakan dan dijaga oleh otoritas formal maupun adat setempat. Filosofi itu sudah menjiwai laku kolektif masyarakat.

Dengan semangat itu, ada pemahaman yang disepakati bersama : satu saudara satu hati, ketika hati sudah bersatu, selesai semuanya. Para pemeluk agama yang berbeda-beda hidup berdampingan dengan damai dan hangat.

Maka toleransi beragama pun terpupuk secara kuat di Fakfak. Secara simbolik hal itu ditunjukkan oleh tiga rumah ibadah besar di Fakfak. Katedral Santo Yoseph, Masjid Agung Jami, dan Gereja Bethel Indonesia berdiri berdampingan membentuk segitiga garis imajiner.

Pada kehidupan kemasyarakatan, kerukunan itu hadir sehari-hari. Lazim dijumpai dalam pembangunan masjid, ketua panitianya pemeluk Kristen, dan sebaliknya. Demikian juga saat perayaan hari besar keagamaan, pemeluk agama lain turut menjaga pelaksanaan ibadah saudara-saudara sehatinya itu.

Kerukunan beragama di Fakfak ini sudah dimulai dari lingkup terkecil keluarga. Satu keluarga dengan anggota keluarga yang memeluk agama berbeda dan tetap rukun adalah kewajaran. Maka bukan hal aneh warga muslim menghadiri pemberkatan pernikahan saudaranya di gereja.

Dalam acara hajatan warga muslim biasa diramaikan kesenian sawat - tetabuhan dari rebana, tifa, seruling, dan gong kecil. Pada hajatan orang nasrani, dimainkanlah seruling tambur. Dua kesenian itu berpadu pada acara bersama warga. Sawat berlanjut seruling tambur, atau sebaliknya.

Semangat kerukunan ini menjadi roh yang menyatukan berbagai elemen di Fakfak. Satu tungku tiga batu pun berkembang. Tak hanya batu-batu agama, tiga batu juga kadang merujuk pada agama, pemerintah, dan budaya.

Pengembangan konsep pun sangat terbuka untuk mengantisipasi konflik berbasis isu lain semisal konflik suku atau isu pribumi versus pendatang. Yang diutamakan adalah semangat perdamaian dan hidup harmonis.