Sukses

Kepedihan Hati Istri Juragan Sabu Internasional 97 Kg

Perempuan itu didakwa bersalah, padahal uang yang ada dalam rekeningnya sudah ada jauh sebelum pembelian sabu terjadi.

Liputan6.com, Semarang - Masih ingat kasus penggerebekan penyelundupan 97 kg sabu di Jepara sepuluh bulan lalu? Kasusnya kini masih disidangkan di Pengadilan Negeri Semarang.

Sebuah drama tentang derita perempuan yang bersuamikan orang asing (ekspatriat) tersaji. Adalah Peni Suprapti, salah satu terdakwa kasus sabu itu.

Diawali ketika jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Semarang menuntutnya pidana penjara 18 tahun. Tangis Peni akhirnya pecah, bahkan harus dituntun petugas Pengadilan Negeri (PN) Semarang saat keluar ruang sidang.

Terdakwa Peni merupakan cermin kehidupan perempuan Indonesia yang diperistri warga negara Pakistan, Muhammad Riaz alias Mr Khan. Peni mengaku tak pernah tahu kegiatan suaminya hingga terbongkar adanya penyelundupan heroin jenis sabu seberat 97 kg dan disembunyikan dalam genset.

Jaksa Penuntut Umum Diajeng Kusumaningrum menilai, sangat mustahil Peni tidak paham dengan kegiatan sang suami. Karena itu, jakwa mendakwa Peni terlibat dalam pemufakatan jahat dalam penyelundupan sabu yang disimpan dalam genset di gudang di Jepara.

"Terdakwa membantu pengurusan penyimpanan sabu dalam genset," kata JPU, Diajeng Kusumaningrum, Rabu sore, 2 November 2016.

Atas dasar itu, jaksa menilai terdakwa terbukti bersalah melanggar Pasal 113 ayat (2) jo Pasal 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

"Dengan ini meminta majelis hakim menjatuhkan pidana penjara dengan  hukuman 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar atau setara dengan enam bulan kurungan," kata Diajeng.

Ketika tuntutan jaksa belum selesai, Peni langsung menangis sesenggukan. Bahkan saat hakim ketua, Taufikurrahman menanyakan soal pembelaan, Peni tak sanggup mengucapkan sepatah kata. Kuasa hukumnya yang membantu menjawab.

Sidang sudah selesai. Ruangan juga sudah mulai kosong. Namun, masih ada suara isak tangis di ruangan itu. Ya, Peni masih menangis hingga petugas PN Semarang dan kuasa hukum berinisiatif menuntunnya keluar ruang sidang hingga ke ruang tahanan PN Semarang.

2 dari 2 halaman

Barang Bukti Hilang

Tak bisa berkata-kata karena dilanda kesedihan. Peni hanya memberikan kode agar pertanyaan jurnalis dijawab oleh Yoseph Parera, kuasa hukumnya. Menurut Yosep Parera, Peni layak mendapat vonis bebas.

"Ada barang bukti berupa foto dan percakapan Bu Peni dengan suaminya yang bisa membuktikan kalau terdakwa tidak bersalah. Namun, barang bukti ini hilang di kejaksaan. Tuntutan itu justru menunjukkan sikap jaksa yang ragu-ragu," kata Yoseph.

Bukti yang hilang itu diantaranya kiriman tiga foto di ponsel terdakwa dari suaminya. Foto tersebut bergambar genset yang diturunkan dari truk di gudang CV Jeparaya di Jepara. Selain itu, aliran dana ke rekening terdakwa terjadi sebelum ada kasus sabu karena gudang disewa untuk bisnis mebel.

"Klien saya menanyakan kepada Didi (terdakwa lainnya) 'itu barang apa, punya siapa, mas?'. Saya sudah meminta jaksa agar ada print out termasuk percakapan itu karena menunjukkan klien saya tidak tahu. Dalam percakapan dijawab Didi, 'itu punya bose'," kata Yoseph.

Ia juga menerangkan pembayar sewa gudang adalah Julian Citra (terdakwa lainnya). Sedangkan, uang yang masuk ke rekening Peni terjadi jauh sebelum ada narkoba.

"Itu kiriman dari suaminya untuk biaya hidup. Ini seharusnya divonis bebas," kata Yoseph.

Kasus ini terungkap setelah 27 Januari 2016 terjadi penggerebekan di gudang CV Jeparaya di Desa Pekalongan, Kecamatan Batealit, Jepara. Penggerebekan dilakukan oleh tim BNN yang sudah mengintai sejak barang tiba di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang bersama Bea Cukai.

Saat penggerebekan ditangkap Mr Khan dan WNI bernama Didi Triono yang sedang menurunkan genset. Saat digeledah ternyata terdapat sabu di dalamnya. Puluhan genset lain ternyata juga diselipi sabu dalam jumlah besar dengan total 97 kg.

Selain Peni, Mr Khan, dan Didi Triono, ada terdakwa lainnya yaitu Kamran Muzaffar Malik warga Amerika, Faiq Akhtar warga Pakistan, dan tiga  WNI lainnya yaitu Tomi Agung serta Julian Citra Kurniawan dan Restyadi Sayoko.