Liputan6.com, Yogyakarta - Ratusan warga yang tergabung dalam Wahana Tri Tunggal (WTT) dan menolak pembangunan bandara baru Yogyakarta di Kabupaten Kulonprogo, mendatangi Kantor Badan Lingkungan Hidup (BLH) Daerah istimewa Yogyakarta (DIY). Mereka mendesak proses pembangunan bandara dibatalkan.
Mereka beralasan, analisis mengenai dampak lingkungan atau Amdal baru akan disosialisasikan kepada warga terdampak pembangunan bandara di Kecamatan Temon, Kulonprogo pada 1-10 November 2016. Sementara, proses pemberian ganti rugi lahan pembangunan bandara baru Yogyakarta kepada warga yang sepakat sudah berjalan.
"Kami menganggap ini perampasan. Karena tidak sesuai UU Pengadaan Tanah, sudah ganti rugi tetapi sosialisasi Amdal baru dilakukan sekarang," ucap Agus Supriyanto selaku juru bicara WTT di Kantor BLH DIY, Senin, 7 November 2016.
Ia mengungkapkan, perwakilan WTT dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jogja datang menemui kepala BLH DIY untuk meminta pembatalan proses pengadaan tanah pembangunan bandara.
Advertisement
Baca Juga
Agus menguraikan ada kejanggalan dalam penerbitan Amdal. Pertama, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012, Amdal beserta izin lingkungan harus ada sebelum Izin Penetapan Lokasi (IPL) dikeluarkan. Faktanya, sampai saat ini Amdal justru masih disosialisasikan.
Kedua, imbuh dia, rencana studi Amdal bandara baru Jogja di Kulonprogo baru akan dijalankan pada tahap pelaksanaan, seharusnya sudah ada sejak tahap perencanaan.
"Rencana studi Amdal yang dilaksanakan belakangan makin membuktikan karut-marutnya rencana pembangunan bandara baru," tutur dia.
Namun, Kepala BLH DIY Agus Wuryantoro mengatakan tidak bisa memenuhi permintaan warga terdampak pembangunan bandara baru Yogyakarta. Sebab, yang berhak menilai adalah Kementerian Lingkungan Hidup.
"Kami tidak punya wewenang," ujar dia.
Agus Wuryantoro menilai Amdal ada di tahap perencanaan pembangunan bandara baru Yogyakarta, sementara Komisi Amdal pusat belum akan menandatangani apabila administrasi tidak sesuai. Namun, imbuh dia, bukan berarti tahapan pembangunan tidak bisa diteruskan melainkan dilakukan studi berulang kali. Hal itu sesuai dengan
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012.