Sukses

I Tolo Daeng Magassing, Si Pitung dari Timur

Aksi I Tolo benar-benar merepotkan penjajah Belanda di tanah Sulawesi.

Liputan6.com, Makassar - Di Sulawesi Selatan (Sulsel) banyak para pejuang lokal legendaris karena kegigihannya dalam melawan penjajahan Belanda. Salah satunya anak petani yang menjadi buronan Belanda karena membela kepentingan rakyat kecil.

Dialah I Tolo Daeng Magassing yang dikenal sebagai si Pitungnya tanah Mangkasarak. Pitung adalah pahlawan dari Betawi yang punya latar belakang rakyat biasa.

I Tolo Daeng Magassing lahir dari kalangan biasa bukan bangsawan. Ia anak dari I Kade seorang petani asal kampung Parapa, kampung terpencil di perbatasan Desa Tinggimae, Kabupaten Gowa, dan Desa Pakkaba, Kabupaten Takalar.

Keseharian I Tolo bekerja di sawah dan menggembala kerbau membantu ayahnya, I Kade. Selain taat beribadah, I Tolo juga mahir ‎dalam silat. Keahliannya itu didapatkan dari ayahnya yang memang dikenal sebagai guru silat di kampung Parapa.

"Karena mahir dalam bersilat dan juga memiliki sifat berani itulah menjadi alasan ayahnya memberikan nama anaknya dengan sebutan I Tolo Daeng Magassing yang artinya berani dalam memberantas kejahatan serta sangat kuat," kata Daeng Ngai (69) warga Kabupaten Gowa, kepada Liputan6.com, Kamis (10/11/2016).

I Tolo tak tega melihat rakyat kecil diintimidasi bahkan di depan matanya pasukan Belanda kerap membunuh warga dengan sadis. I Tolo terketuk untuk melakukan perlawanan menghentikan segala prilaku penjajah Belanda yang sangat keterlaluan.

"Tindakan kejam Belanda saat itu membuat I Tolo bangkit melakukan perlawanan. Dia menggalang kekuatan bersama rekan seperguruan silatnya yang jumlahnya kala itu sekitar 40 orang. Dari kekuatan itulah, I Tolo kemudian bergerilya masuk hutan dan menghadang Belanda serta merampas persenjataannya sebagai tambahan kekuatan," tutur Daeng Ngai.

Selama di hutan, I Tolo bersama rekannya terus menggalang kekuatan. Setiap mendapati tentara belanda berpatroli, ia pun mengadangnya kemudian merampas senjata Belanda tersebut.

"Karena sikap I Tolo tersebut, Belanda akhirnya kalang kabut dan menganggap I Tolo sebagai pemberontak yang harus ditangkap segera. Namun, Belanda tidak mudah menangkapnya karena ilmu silat dan kekebalan I Tolo yang tak tertandingi kala itu. Dia kebal dari senjata tajam maupun peluru," kata Daeng Ngai.

Kesaktian I Tolo

Jangankan bisa menyentuh tubuhnya, baru mendengar suara I Tolo saja ‎saat itu Belanda sudah ketakutan. Itulah mengapa I Tolo oleh kalangan penjajah Belanda kala itu menyebutnya dengan sebutan Pagora Patampuloa yang artinya penjahat yang sangat berbahaya dan memiliki 40 orang pasukan.

Tindakan pemberontakan melawan penjajah membuat nama I Tolo semakin dikenal masyarakat. Ia dikenal sebagai pembela masyarakat miskin dan kecil.

Besarnya dukungan rakyat juga yang kemudian membuat I Tolo melebarkan strategi gerilyanya melawan penjajah Belanda hingga ke daerah Bajeng, Kabupaten Gowa. Di sana ternyata I Tolo bertemu dengan dua orang pejuang dari Kerajaan Bajeng. Keduanya bernama I Basareng dan I Rajamang.

"Kekuatan I Tolo pun bertambah dengan bergabungnya dua pejuang dari Bajeng tersebut. Ketiganya kala itu dikenal dengan sebutan tiga pendekar tolo atau tiga pendekar pemberani, "ucap Daeng Ngai.

Kekuatan pasukan Patampuloa di Bajeng yang dipimpin langsung oleh I Tolo bertambah kuat. Selain karena kekuatan dari I Tolo sendiri, pasukan Bajeng memang dikenal dengan pasukan pemberani.

"Di daerah Bajeng memang ada tempat membentuk pemuda menjadi seorang pemberani atau akrab disebut masyarakat sana dengan sebutan tubarani. Tempat itu bernama bungung barania atau sumur yang membuat orang menjadi berani," terang Daeng Ngai.

Setiap pemuda yang meminum dan dimandikan dengan air yang diambil dari dalam sumur bertuah tersebut akan menjadi berani. Keyakinan itu masih hidup sampai detik ini.

"I ‎Tolo yang sudah memiliki ilmu silat dari ayahnya kemudian memperdalam lagi ilmunya di bungung barania. Sehingga, wajar jika I Tolo dikenal sebagai orang kuat dan dipercaya kala itu memimpin salah satu divisi khusus yang terdiri 40 orang prajurit kerajaan Bajeng yang disebut sebagai prajurit tubarani," kata Daeng Ngai.

Pasukan I Tolo

Setiap prajurit Bajeng yang akan berangkat ke medan laga, mereka melakukan upacara ritual di Bungung Barania diantaranya mandi di Bungung Barania. Setelah itu dikibarkanlah bendera jole-jolea.

Konon kabarnya bendera jole-jolea ini sering menantang arus angin, sebagai pertanda bahwa prajurit pasukan Patampuloa Ri Bajeng akan memenangkan pertempuran.

Demikian halnya pimpinan pasukan Patampuloa yang dipimpin oleh I Tolo Daeng Magassing, mereka sudah terlatih dan berani menghadapi serangan dari tentara belanda.

"Onjoki tubajeng merupakan motto keberanian yang ditanamkan orang-orang Bajeng dalam menghadapi musuh di medan perang. Mereka tak kenal rasa menyerah meski dihadapkan dengan kondisi apapun. Semangat toddopuli yang tertanam menjadi tekad bagi prajurit kerajaan Bajeng kala itu untuk pantang mundur sebelum membawa bendera kemenangan, itulah yang dihidupkan oleh I Tolo dalam memimpin perlawanan melawan penjajah Belanda," jelas Daeng Ngai.

Sengitnya perlawanan yang dilakukan oleh I Tolo kemudian membuat Gubernur Jenderal Belanda yang berkedudukan di Sulawesi (Celebes) saat itu menjadi marah dan naik pitam. Dan akhirnya menginstruksikan kepada pasukannya untuk menangkap I Tolo beserta rekan-rekannya hidup ataupun mati.

"Gubernur Belanda malah membuat sayembara bagi siapa saja yang bisa menangkap I Tolo hidup atau mati dengan imbalan uang golden kala itu yang nilainya cukup besar," kata Daeng Ngai.

Namun, upaya yang dilakukan Belanda itu gagal. Warga pribumi malah menganggap I Tolo sebagai pejuang dan langkah perlawanan yang dilakukannya semata untuk rakyat kecil.

"Di mata rakyat, I Tolo memang sering melakukan perampokan, akan tetapi yang dirampok bukanlah rakyat miskin atau rakyat kecil, melainkan orang-orang kaya, terutama orang-orang yang selalu mendukung tentara Belanda dalam melakukan penindasan terhadap sesama bangsanya. Hasil rampokan itu dipergunakan untuk kehidupan mereka selama bergerilya dalam hutan," jelas Daeng Ngai.

‎Selang perlawanan gerilya terus ditingkatkan oleh Pasukan I Tolo terhadap pasukan Belanda di berbagai lokasi membuat penjajah Belanda semakin marah dan akhirnya mereka menambah pasukannya untuk memburu pasukan I Tolo yang ada di hutan-hutan.

Dari hasil penyisiran pasukan Belanda itu, pasukan I Tolo satu per satu ditangkap. Namun, banyak juga pasukan Belanda yang menemui ajalnya di tengah hutan karena dihadang.

Penangkapan I Tolo

Waktu terus berjalan, Belanda terus meningkatkan jumlah pasukannya dan perlahan mematahkan pergerakan pasukan I Tolo yang sudah berkurang. I Tolo bersama dua orang rekannya, yakni I Basareng dan I Rajamang ikut ditangkap di persembunyiannya di sebuah kawasan hutan.

"Meski saat itu I Tolo dan kawan-kawannya melakukan perlawanan, tetapi sia-sia, karena jumlah pasukan Belanda jauh lebih banyak, apa lagi ia sudah dikepung di empat penjuru," kata Daeng Ngai.

Tak ada lagi yang bisa diperbuat oleh I Tolo bersama dua rekannya selain menyerah. Ia merelakan dirinya ditangkap kemudian digiring ke tangsi Belanda yang saat itu berada didaerah Limbung, Kabupaten Gowa, Sulsel.

Usai menangkap I Tolo, Belanda tak puas dan kembali menyebar isu bahwa I Tolo merupakan penjahat kelas kakap yang sekian lama meresahkan masyarakat. Tujuan belanda melakukan itu untuk menanamkan kebencian masyarakat pada I Tolo.

"Belanda menganggap bahwa dengan ditangkapnya I Tolo maka daerah menjadi aman. Tapi, masyarakat Gowa tak percaya provokasi Belanda itu. Mereka anggap I Tolo adalah pahlawan masyarakat kecil. Karena selama ini, perlawanan yang dilakukan I Tolo akibat sikap penjajah yang telah menindas rakyat kecil," terang Daeng Ngai.

Kecewa dengan sikap masyarakat yang tetap tak termakan provokasi membuat Belanda marah dan akhirnya menembak mati I Tolo beserta kedua rekannya I Basareng ‎dan I Rajamang. Setelah ketiga pejuang itu tewas, Belanda kemudian tak langsung menguburnya malah mayat ketiganya diarak keliling perkampungan untuk dipertontonkan kepada masyarakat.

"Belanda ingin memberitahu masyarakat jika berani melakukan pemberontakan seperti ketiganya akan mendapat nasib yang sama ,"jelas Daeng Ngai.

Teror mental yang dilakukan penjajah Belanda membuat masyarakat ketakutan dan tak ada lagi aksi pemberontakan setelahnya. Ketakutan yang membelenggu masyarakat kala itu membuat penjajah Belanda semakin beringas dan bebas melakukan penindasan.

Mereka merampas seluruh harta benda milik masyarakat berupa hasil bumi untuk kemudian dikirim ke negara belanda. Tindakan ini berlangsung selama 350 tahun.

Setelah ditembak mati dan jasadnya diarak keliling kampung, Belanda kemudian menyerahkan jasad I Tolo kepada keluarganya di kampung Parapa sehingga jasad I Tolo dimakamkan di kampung kelahirannya sendiri.

Meski I Tolo’ sudah tiada, keberaniannya melakukan aksi melawan penjajahan Belanda hingga saat ini terus hidup dan bahkan melegenda. Selama pemberontakan dilakukannya, I Tolo tak pernah ‎berpesan kepada turunannya agar kelak setelah tiada diangkat sebagai pahlawan.