Liputan6.com, Cirebon - Perlawanan terhadap penjajahan Belanda bergelora di berbagai daerah Nusantara. Perlawanan juga berkobar di Cirebon, Jawa Barat. Daerah ini memiliki sejarah peperangan yang dramatis dalam perjuangannya melawan penjajah Belanda.
Filolog Cirebon, Opan Safari, menuturkan perlawanan perang Cirebon melawan Belanda memuncak sejak zaman Sultan Matangaji. Saat itu, Sultan Matangaji memerintahkan khalifah raja untuk membangun pesantren di seluruh kawasan Cirebon seperti Desa Balerante, Pesantren Buntet yang didirikan Mbah Mukoyim, hingga memiliki keturunannya di daerah Gedongan, Benda Kerep.
"Ada juga Abdullah Lontang Jaya di Majalengka keturunannya di Kempek, Arjawinangun, Winong. Ki Jatira di Ciwaringin yang ada keturunan Pangeran Arya Wijaya Negara," ujar Opan Safari kepada Liputan6.com, Rabu, 9 November 2016.
Advertisement
Saat itu, lanjut Opan, para santri selain memperdalam ilmu Islam, juga dilatih silat untuk kepentingan melawan penjajahan. Jajaran Kuwu dan bawahan dan rakyatnya juga membentuk pemberontakan di seluruh desa di Cirebon.
Baca Juga
Menurut catatan sejarah Cirebon, rintisan perjuangan dimulai dari Sultan Tajul Asikin Amirzena Zainuddin (1753-1773). Saat itu, Sultan Tajul Asikin Amirzena mengawali perlawanan terhadap Belanda. Sultan Asikin Amirzena selalu mengkritisi perjanjian antara sultan-sultan Cirebon dengan Belanda yang intinya merugikan Sultan Cirebon.
"Sultan Amirzena juga yang merintis perjuangan dengan pola gerilya. Merintis pembangunan Gua Sunyaragi, merintis pembangunan Astana Gunung Jati," ucap dia.
Namun, setelah Sultan Amirzena Wafat tanpa diketahui perannya oleh Belanda, kekuasaan dilanjutkan kepada anaknya yakni Sultan Muhammad Sofiudin (Matangaji) yang memiliki nama kecil Amir Siddiq (1773-1786).
Sultan Amir Siddiq secara terang-terangan melawan Belanda, melanjutkan pembangunan Gua Sunyaragi yang dilengkapi tempat pembuatan senjata, tempat latihan perang hingga membuat benteng pendem atau bunker.
"Saat itu teknologi Gua Sunyaragi sudah terbilang maju karena memiliki sistem sirkulasi udara, sirkulasi air yang rumit teknologi maju," ia menambahkan.
"Belanda mengenal Gua Sunyaragi sebagai istana musim panas atau istilahnya tempat dugem (dunia gemerlap) para Sultan dengan haremnya. Padahal sebenarnya memang dirancang untuk perlawanan."
Namun, di tengah membangun kekuatan melawan Belanda, pembangunan kekuatan di Gua Sunyaragi tercium oleh Belanda, tak lama kemudian Belanda menyerang dan membombardir Gua Sunyaragi.
"Terjadilah perundingan antara Belanda dan Sultan Matangaji. Di tengah perundingan itu Sultan Matangaji mendirikan pesantren di daerah Sumber untuk membuat perlawanan sehingga terjadi perang gerilya. Santri bisa melawan apabila mereka sudah matang dalam mengaji. Itu yang menjadi asal usul nama Sultan Matangaji karena mengajinya matang," Opan menjelaskan.
Dalam perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah sehingga akhirnya menggelar perundingan kembali. Namun, ketika perundingan yang dimediasi oleh pengurus kuda istana bernama Ki Muda (adik ipar Sultan Matangaji) terjadi, Sultan Matangaji dikhianati dan Belanda pun menghabisi seluruh pasukan yang dipimpin oleh Sultan Matangaji.
Kendati dihabisi, saat itu Belanda tak mampu menghabisi nyawa Sultan Matangaji. Sehingga Belanda memutuskan untuk mengurung Sultan Matangaji. Matangaji hanya bisa dibunuh dengan senjatanya sendiri.
Di tengah pengurungan itu Matangaji dikhianati oleh Ki Muda. Sebelum Matangaji terbunuh oleh senjatanya sendiri, dia terlebih dahulu salat sunah meminta petunjuk apakah perjuangan dilanjutkan.
"Ternyata perjuangan berakhir dan Matangaji dibunuh oleh Ki Muda di Pintu Ukir Keraton Kasepuhan dan Ki Muda diangkat oleh Belanda menggantikan Matangaji," tutur dia.
Kepergian Sultan Matangaji membuat Pangeran Raja Kanoman menggalang perlawanan. Beberapa yang memimpin perlawanan terhadap Belanda yakni Bagus Arsitem (Pangeran Sukmadiningrat), Bagus Rangin (Pangeran Atas Angin), Bagus Serit (Pangeran Syakroni). Perlawanan terpusat di Desa Kedondong Kecamatan Susukan pada April sampai September tahun 1818.
"Belanda ditantang untuk datang ke Desa Kedondong. Tapi para pemimpin perang sudah siapkan strategi dan jebakan. Selama beberapa hari perang di situ Belanda kalah terus," Opan mengisahkan.
Misteri Ki Bagus Rangin
Seiring peperangan gerilya berlangsung, Belanda terus dikalahkan oleh pasukan yang dipimpin Ki Bagus Rangin. Dia menyebutkan, dalam perang gerilya itu, Ki Bagus Rangin memimpin kurang lebih 7.000 pasukan yang merupakan para santri-santri terlatih.
Dia menyebutkan, dalam puncak perang gerilya tersebut, Belanda selalu kalah dan merugi hingga kurang lebih 7500 gulden. Hingga akhirnya Belanda pun mengeluarkan sayembara untuk mencari dan membunuh Ki Bagus Rangin dan Bagus Serit dengan bayaran 2500 gulden per kepala.
"Di Perang Kedongdong Belanda rela menyewa pasukan Madura tapi anehnya para pasukan Madura membelot dan justru bergabung dengan Cirebon," sebut dia.
Seiring dengan dikeluarkannya sayembara, Belanda menangkap dan mengeksekusi Bambang Serit dengan memenggal kepalanya di depan masyarakat Cirebon.
"Sebelum Perang Kedongdong besar Ki Bagus Serit pernah bertemu dengan Raja Udaka dan mengajak bergabung melawan Belanda, namun ajakan tersebut ditolak hingga akhirnya Raja Udaka mengetahui identitas Bagus Serit," jelasnya.
Keberadaan Ki Bagus Rangin tidak bisa ditemukan oleh Belanda. Bahkan, hingga saat ini belum ada catatan sejarah atau pinutur terkait akhir hayat Ki Bagus Rangin. "Meninggalnya karena apa dan di mana juga masih tidak diketahui pasti."