Sukses

Mogok Kerja, Pegawai RSUD Pekanbaru Bawa Keranda dan Orasi

Pelayanan kesehatan masyarakat terganggu selama beberapa hari.

Liputan6.com, Pekanbaru - Beberapa hari ini, pelayanan di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arifin Ahmad Provinsi Riau di Jalan Diponegoro Pekanbaru tidak optimal. Ratusan pegawai dan tenaga medis RSUD tersebut melakukan mogok kerja.

Apa penyebabnya? Mereka menuntut hak berupa uang jasa yang belum pernah dibayar. Aksi yang kembali digelar pada Selasa, 6 Desember 2016, merupakan puncak kekesalan ratusan pegawai dan tenaga medis sejak akhir November lalu.

Pasalnya, pada 28 November, pihak rumah sakit menjanjikan pemberian uang jasa itu. Namun hingga saat ini, janji tersebut tidak kunjung terealisasi.

Dalam melakukan aksinya, pendemo membawa beberapa spanduk yang bertuliskan tuntuan pencepatan pembayaran. Pendemo juga membawa keranda mayat sebagai bentuk sindiran matinya perhatian pemerintah terhadap mereka.

Tepat di keranda diletakkan beberapa kursi, di mana salah satunya dituliskan Direktur RSUD Arifin Ahmad Nuzely yang dianggap tidak tanggap terhadap kesejahteraan pegawai dan tenaga medisnya.

Bahkan pantauan di lokasi, ada beberapa pegawai melakukan aksi tetrikal. Mereka memerankan pegawai yang mengabdikan diri memberi pelayanan kesehatan kepada masyarakat, tapi justru mati karena tak mendapatkan haknya.

Sebagian pendemo ada yang menggelar aksinya di depan pintu lobby masuk ke rumah sakit dan ada pula yang di dalam. Diiringi orasi dan teriakan menuntut hak, rumah sakit yang biasanya hening mendadak riuh.

"Sebelumnya sudah ada pertemuan antara kami dengan ‎Sekdaprov Riau Ahmad Hijazi dan Direktur RSUD Arifin Achmad Dr Nuzely Husnedi. Hasilnya, pencairan uang jasa mulai diproses pada 28 November. Namun, sampai hari ini kami belum dapat respon yang jelas dari pihak manajemen ataupun pemerintah," kata staf fungsional RSUD Arifin Achmad Dr Burhan di tengah aksi tersebut.

Burhan meminta Gubernur Riau Arsyadjuliandi Rachman agar menyelesaikan secara bijaksana permasalahan yang sudah berlangsung sejak lama itu.

Dia menyebut, polemik ini muncul dari ‎terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 12 Tahun 2016. Aturan itu kemudian tak berlaku lagi dan sudah diubah atas desakan pegawai rumah sakit dan tenaga medis, di mana ada pembayaran uang jasa.

"Namun, Kepala BPK2D menyebarkan informasi bahwa KPK melarang dibayarkan jasa pelayanan TPP dan Jasa. Inilah yang menyebabkan keputusan sekda menjadi buyar. Namun, ada keputusan pembayaran akan dilakukan pada November," katanya.

Burhan menambahkan jika kesepakatan TPP dan Uang jasa tidak bisa dibayarkan penuh maka seharusnya kondisi tersebut berlaku juga kepada pihak manajemen.

"Kenapa manajemen dapat Uang TPP dan Jasa penuh. Sedangkan pegawai medis yang memiliki risiko kerja jauh dari pada manajemen tidak dapat uang jasa penuh?" keluh dia.

Aksi ini juga diikuti pegawai dan tenaga medis dari Rumah Sakit Jiwa. Aksi berlangsung tertib dan dikawal Satuan Polisi Pamong Praja Provinsi Riau.