Sukses

Lima Kemeriahan Warga Daerah Rayakan Maulid Nabi Muhammad SAW

Tradisi khas daerah 'maulidan' ini telah diwariskan turun-menurun di daerah itu.

Liputan6.com, Jakarta - Hari kelahiran Nabi Muhammad SAW menjadi salah satu hari besar kaum muslim di Tanah Air. Seluruh umat Islam merayakannya sebagai bentuk kebahagian dan penghormatan kepada nabi terakhir, Nabi Muhammad yang lahir pada 12 Rabiul Awal.

Tahun ini, tanggal tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Desember. Kegembiraan sudah mulai terasa di tengah umat Islam dunia. Tidak ketinggalan, warga muslim daerah. Berbagai tradisi khas daerah telah disiapkan untuk merayakan maulidan.

Berikut beberapa tradisi warga daerah merayakan Maulid Nabi Muhammad.


1. Warga Berebut Air Bekas Cucian Piring Kuno Sambut Maulid Nabi

Ada warga yang hendak memanfaatkan air bekas cucian piring Sunan Gunung Jati itu untuk disiramkan ke sawah. (Liputan6.com/Panji Prayitno)

Jelang Maulid Nabi Muhammad SAW, Keraton Kasepuhan Cirebon menggelar sejumlah tradisi yang merupakan warisan leluhur. Salah satunya adalah tradisi Siraman Panjang yang merupakan ritual memandikan benda pusaka sebelum puncak Maulid Nabi.

Air bekas cucian benda pusaka itu kemudian diperebutkan ribuan warga. Tidak hanya warga Cirebon saja yang ikut berebut air tersebut, warga luar Cirebon juga sengaja datang untuk memeriahkan acara tersebut.

"Rencananya, air yang saya dapatkan ini mau saya siramkan ke sawah. Yang harapannya mampu membawa berkah," ujar Sarlan (26), warga Indramayu, Selasa, 6 Desember 2016.

Dia mengatakan sengaja datang ke acara itu karena ingin mendapatkan air bekas cucian benda pusaka tersebut. Pasalnya, air itu dipercaya mampu membawa berkah kesehatan maupun keselamatan.

Benda pusaka yang dimandikan berupa piring tapsi atau piring panjang, 40 piring pengiring dan dua guci serta dua gelas. Ritual tersebut dipimpin langsung Sultan Sepuh XIV Kesultanan Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat dan diikuti puluhan abdi dalem di Keaputren Komplek Keraton Kasepuhan Cirebon PRA Arief Natadiningrat.

"Ada sembilan piring peninggalan Sunan Gunung Jati dikeluarkan dan dicuci. Ini merupakan rangkaian menyambut maulid nabi Muhammad SAW," ujar Arief.

Yang menarik, pada tradisi kali ini ada sembilan piring yang dikeluarkan. Kesembilan piring itu adalah piring yang digunakan para wali ketika mereka bermusyawarah di Cirebon.

"Tahun ini ada sembilan piring yang dikeluarkan, karena tahun ini termasuk tahun dal dan ini dikhususkan untuk itu," ujar Arief.

Arief menambahkan tradisi "Siraman Panjang" ini digelar setiap tanggal 5 Bulan Maulud dan merupakan tradisi turun menurun. Kesembilan piring yang dicuci menggunakan air sumur yang sudah digunakan oleh Sunan Gunung Jati sehari-hari.

"Setelah itu, nanti kita buka bekasem ikan yang sudah dibuat dalam jangka satu bulan," kata dia.

2 dari 5 halaman

Tradisi Nginang Serempak

2. Tradisi Nginang Serempak Sambut Maulid Nabi di Kampung Jokowi

Tradisi nginang itu dilakukan serempak oleh warga dengan ditingkahi alunan gamelan Jawa kuno. (Liputan6.com/Fajar Abrori)

Tradisi memperingati Maulid Nabi Muhammad di Keraton Solo mulai menggeliat. Tradisi yang digelar sejak zaman Kerajaan Mataram Islam ini dibuka dengan Miyos Gongso. Gamelan Guntur Sari dan Guntur Madu mulai ditabuh pada Senin, 5 Desember 2016.

Ratusan orang setia menunggu sejak siang hari untuk mengikuti prosesi ini. Sebagian dari mereka hendak berburu tuah yang diyakini bisa mendatangkan kebaikan.

Tradisi ini diawali dengan memboyong gamelan peninggalan Sultan Agung dan PB IV dari keraton menuju bangsal depan Masjid Agung Solo. Gamelan Kyai Guntur Madu ditaruh bangsal selatan, sedangkan Gamelan Guntur Madu di sisi utara.

Setalah arak-arakan, prosesi kembali dimulai pukul 13.00 WIB di Masjid Agung. Yakni, penabuhan gamelan untuk pertama kali sebagai pembuka dari acara Sekaten. Dimulai sambutan dari wakil keraton dan Pemkot Solo, gamelan Guntur Madu mulai ditabuh pukul 13.30 WIB.

Tembang pertama yang dilantunkan adalah Rambu Rangkung. Begitu ditabuh, ratusan masyarakat yang sudah menunggu langsung melakukan tradisi unik. Mereka secara serempak mengunyah sirih. Tak hanya itu, mereka juga berebut janur yang menjadi penghias pagongan.

Setelah tembang pertama selesai, gamelan dari Kyai Guntur Sari gantian yang ditabuh. Saat ditabuh ini, warga juga serentak melakukan nginang (mengunyah sirih) dan berebut janur.

Wakil Pengageng Sasono Wilopo KP Winarno Kusumo menjelaskan, tabuhan gamelan akan dilakukan selama seminggu ke depan. Gamelan akan berakhir menjelang Grebeg Maulud. Gamelan akan ditabuh setiap hari dan hanya berhenti saat azan.

"Gamelan mulai ditabuh mulai pukul 09.00 dan berakhir hingga azan Asar. Setelah dimulai lagi usai azan Isya hingga berakhir pukul 12.00 WIB malam," kata Winarno.

Bagi Sarmini, warga Sukoharjo, tradisi ini selalu tak dilewatkan olehnya. Semenjak kecil, Sarmini selalu diajak oleh orangtuanya untuk mengunyah sirih. Tradisi itu pun berlanjut, ia mengajak anaknya yang sudah berkeluarga untuk mengunyah sirih.

"Kata orangtua, kalau kita nginang bisa awet muda dan sehat. Terus saya nginang itu ya cuma sekali dalam setahun pas gamelan pertama ditabuh, " kata dia.

Bukan hanya nginang, ia juga membeli telur asin atau dalam masyarakat Solo kerap disebut telur kamal. Telur ini saat tradisi Sekaten selalu tidak absen.

"Kata orangtua telur kamal itu tak jauh dengan nilai amal yaitu berbuat kebaikan untuk sesama. Jadi, saya beli telur ini untuk oleh-oleh," kata dia.

3 dari 5 halaman

Adat Maudu Lompoa

3. Adat Maudu Lompoa Jelang Maulid

Ka'do minyak diangkut julung-julung menuju tengah sungai untuk diperebutkan warga dalam tradisi Maud Lompoa. (Liputan6.com/Ahmad Yusran)

Jika masyarakat Yogyakarta memiliki tradisi Sekaten, masyarakat Takalar, khususnya Desa Cikoang, juga mempunyai tradisi khas untuk menyambut peringatan kelahiran Nabi Muhammad. Tradisi itu disebut Maudu Lompoa.

Tradisi itu bahkan sudah menjadi agenda wisata religi tahunan di Sulawesi Selatan. Maudu Lompoa kembali digelar pada peringatan maulud nabi 1437 Hijriah yang jatuh pada Kamis, 24 Desember 2015. Jarak tempuh dari Makassar ke Cikoang sendiri sekitar 80 kilometer,

"Ritual ini ungkapan syukur atas berlimpahnya berkah rezeki dari hasil panen dengan menyediakan beras, ayam, telur, minyak kelapa, julung-julung (perahu), bagi setiap orang dalam satu keluarga di Desa Cikoang," ujar Daeng Tarring, salah seorang warga Cikoang, di Kota Makassar, Selasa (22/12/2015).

Pelaksanaan tradisi tidak bisa sembarangan. Hanya perempuan yang suci dari hadas dan najis yang boleh mengisi bakul dengan beragam bahan makanan. Tahapan itu sekaligus mengawali jalannya prosesi. Sebelum itu, warga menghias telur-telur ayam dengan warna-warna menarik.

"Nasi setengah masak, kemudian ayam yang telah disembelih dan telah dibersihkan, dibungkus daun pisang lalu dimasukkan ke dasar bakul. Permukaan bakul ditutup dengan daun pisang selanjutnya telur-telur rebus warna-warni yang ditusukkan setangkai kayu kecil ditancapkan di atas nasi dalam bakul," tutur Daeng Tarring.

Munir, mahasiswa asal Kabupaten Takalar, menambahkan persiapan lain yang tidak kalah menarik sebelum prosesi. Sebelum 12 Rabiul Awal atau hari lahir Nabi Muhammad, yakni sekitar 10 Safar, warga sengaja mengurung ayam-ayam yang akan dipersembahkan dalam prosesi agar ayam-ayam itu tidak memakan najis.

Nasi dan lauk pauk yang telah masak itu dinamakan Ka'do Minyak. Bentuknya sekilas mirip dengan tumpeng yang sering disajikan dalam berbagai perayaan. Hidangan itu nantinya akan dibawa ke tengah Sungai Cikoang setelah dibacakan doa oleh tetua adat.

Begitu sajian sampai ke tengah sungai, warga segera berenang dan memperebutkan makanan yang dianggap akan membawa berkah itu.

4 dari 5 halaman

Tradisi Endhog-Endhogan

4. Rayakan Maulid Nabi, Masyarakat Banyuwangi Arak Ribuan Telur

foto: Pemkab Banyuwangi

Dalam rangka memperingati maulid Nabi Muhammad, kabupaten Banyuwangi menyelenggarakan tradisi Endhog-endhogan yang diikuti seluruh desa. Endhog-endhogan merupakan tradisi mengarak telur yang ditancapkan pada jodang pohon pisang dan ancak.

Lebih dari sekadar festival, kegiatan yang mengusung tema besar “Menebar Solawat, Menungduh Cinta Nabi Muhammad” ini juga bertujuan menumbuhkan kembali semangat kebersamaan membangun Banyuwangi, sambil terus berharap Banyuwangi akan selalu dalam naungan rahmat-Nya.

Sambil mengarak telur, semua orang menggemakan bacaan solawat Nabi. Tak hanya itu, beberapa di antaranya juga menarikan tarian Islam seperti tari Rodat Siiran.

Juan Pribadi, Kepala Bagian Humas dan Protokol Pembab Banyuwangi mengatakan, tradisi endhog-endhogan ini memang biasa digelar di Banyuwangi dalam rangka memperingati maulid Nabi, dan terus digelar menjadi tradisi sejak puluhan tahun.

“Mengapa endhog? Ini terkait dengan filosofi telur sendiri, di mana dalam telur memiliki tiga lapisan. Yakni kulit (cangkang), putih, dan kuning yang ketinganya simbolisasi dari nilai-nilai Islam. Kulit bermakna iman, putih telur adalah islam, dan kuning diartikan ihsan,” ujar Juan menambahkan.

5 dari 5 halaman

Garebeg Mulud

5. Garebeg Mulud Keraton Kesunanan Surakarta

Ribuan warga menyaksikan kirab gunungan Grebek Mulud di halaman Masjid Agung Keraton Kasunanan Surakarta, Solo, Kamis (24/12). Prosesi Grebek Mulud menjadi puncak perayaan Sekaten atau peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. (Boy Harjanto)

Warga Surakarta memadati halaman Masjid Agung Kesunanan Surakarta. Mereka berkumpul untuk memperebutkan Gunungan Sekaten.

Terdapat enam Gunungan Sekaten yang diarak pihak keraton sebagai penanda puncak peringatan Maulid Nabi Muhammad.

Gunungan ini berisi sayur-mayur dan bahan makanan. Dalam hitungan detik, gunungan ini bisa ludes.

Rebut-rebutan gunungan ini terkenal dengan istilah Garebeg Mulud. Tidak hanya Garabeg Mulud, rebutan gunungan juga dilakukan saat Garebeg Besar pada 10 Dzuhijjah atau Hari Raya Idul Adha, dan Garebeg Bakda yang dilakukan ketika bulan Ramadan.