Liputan6.com, Purbalingga – Dua film dokumenter berlatar peristiwa PKI 1965 diputar di markas besar Cinema Lovers Community Purbalingga. Pemutaran tersebut digelar dalam rangka peringatan Hari HAM Internasional.
Film pertama berjudul Masean Messages besutan sutradara Dwitra J Ariana berdurasi 70 menit. Film itu berkisah tentang korban pembantaian 65 yang terus menghantui penduduk Banjar Masean, Desa Batuagung, Bali, yang juga dikenal sebagai bekas kuburan massal anggota PKI.
"Arwah mereka yang tidak tenang dipercaya penduduk setempat menyebabkan 50 orang bunuh diri tanpa sebab," kata Dwitra, sutradara film, Senin malam, 12 Desember 2016.
Ia menjelaskan, selama berpuluh tahun penduduk setempat diteror oleh bermacam peristiwa gaib. Hantu sering menampakkan diri dan bermacam kejadian aneh sering terjadi.
Berdasarkan petunjuk tetua adat setempat, kuburan massal korban tragedi '65 harus digali dan diupacarai dengan layak. "Pro kontra terjadi namun akhirnya Desa Adat sepakat, upacara harus dibuat," kata dia.
Berikutnya, film kedua yang diputar berjudul Luka di Tanah Merah besutan sutradara Bowo Leksono. Produksi keroyokan yang melibatkan AJI Kota Purwokerto, Cinema Lovers Community Purbalingga dan Serikat Tani Mandiri Cilacap ini mengisahkan perampasan lahan petani yang sebelumnya dituduh anggota Partai Komunis Indonesia (PKI).
"Dari film ini kita bisa belajar sejarah dari pelaku langsung, mereka yang selama ini memperjuangkan tanahnya kembali," kata Ridlo Susanto, Koordinasi Divisi Advokasi AJI Purwokerto.
Baca Juga
Film itu berkisah tentang sejarah tanah trukah yang belakangan dirampas oleh negara. Tanah trukah merupakan tanah yang dibuka oleh petani pada 1937 saat era pendudukan Belanda.
Setelah menjadi perkampungan, tanah mereka dirampas. Mereka terusir dari tanah mereka sendiri. Pengusiran tersebut pun menggunakan dalih dan motif yang sama yakni dituduh menjadi anggota partai terlarang.
Ridlo mengatakan, melalui film ini AJI Purwokerto hendak meluruskan sejarah yang selama ini telah ditafsirkan serampangan oleh penguasa. Film yang diproduksi berbulan-bulan itu diikhtiarkan untuk menggugat penguasa bahwa pelanggaran HAM masa lalu, tidak hanya meninggalkan luka bagi mereka yang sudah tiada, tapi anak cucu mereka yang kini masih hidup.
"Ada pelanggaran HAM masa lalu yang harus diselesaikan bukan hanya sekedar retorika," kata dia menegaskan.
Konflik Agraria
Anggota AJI Purwokerto, kata dia, sudah bertahun-tahun melakukan riset tentang konflik agraria ini. Dengan produksi film ini, kata dia, diharapkan apa yang menjadi hak ribuan petani yang terusir dari tanahnya bisa direbut kembali.
Bowo Leksono, sang sutradara mengatakan pemutaran film ini dibarengkan dengan peringatan Hari HAM Internasional. "Generasi muda harus paham tentang sejarah dan kebenaran. Kebenaran itu bisa ditemukan dengan bertemu langsung dengan saksi-saksinya," kata dia.
Ia mengatakan, setidaknya butuh waktu sekitar lima tahun untuk merekam secara utuh peristiwa 65 di Cilacap. Menurut dia, ada banyak kisah yang bisa didapat di lokasi itu. "Kebanyakan saksi sejarah sudah tua, kalau tidak segera didokumentasikan khawatirnya mereka tiada terlebih dahulu," ujar Bowo.
Film yang diproduksi dengan anggaran saweran ini, menurut Ketua Serikat Tani Mandiri, Sugeng Petrus bisa menjadi pelajaran bagi anak cucu kelak. "Meski saya sudah berulangkali dituduh sebagai antek PKI gaya baru, tapi bukan berarti perjuangan untuk merebut tanah leluhur kami kembali bisa surut," kata Sugeng.
Ia mengatakan, belasan ribu hektare lahan pertanian milik petani yang puluhan tahun dirampas negara harus dikembalikan. "Kami hanya menuntut hak kami kembali, tidak yang lain," ujar Sugeng.
Advertisement