Sukses

LSM Gaungkan Setop Perkawinan Anak di Indonesia

Save the Children mencatat, setiap tujuh detik terjadi perkawinan yang melibatkan perempuan yang berusia 15 tahun di seluruh dunia.

Liputan6.com, Jakarta - Berdasarkan data Save the Children, praktik perkawinan anak masih tinggi di Indonesia. Bahkan, sebagai perbandingan, setiap tujuh detik terjadi perkawinan yang melibatkan perempuan yang berusia 15 tahun di seluruh dunia. UNICEF pun mencatat 17 persen perempuan Indonesia menikah sebelum usianya genap 18 tahun.

"Meskipun praktik perkawinan anak sudah dipersoalkan sejak Kongres Perempuan Indonesia tahun 1928, sapai saat ini perkawinan anak masih menjadi masalah besar di Indonesia. Saat ini Indonesia menempati peringkat dua di ASEAN untuk angka tertinggi perkawinan anak," ucap Direktur Program Keadilan Gender Oxfam di Indonesia, Antarini Arna dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (19/12/2016).

Lantaran itulah, imbuh dia, Oxfam di Indonesia dan Kalyanamitra dalam rangka memeringati 16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan memfokuskan kampanye pada penghapusan praktik perkawinan anak.

Menurut Antarini, perkawinan anak merupakan masalah kompleks yang dilandasi oleh banyak faktor. Di antaranya faktor ekonomi, budaya dan religius yang berakibat pada putusnya pendidikan, hilangnya kesempatan untuk bermain, kehamilan usia muda dan kematian ibu melahirkan.

"Ada banyak akibat negatif dari perkawinan anak. Salah satunya apabila seorang anak hamil pada usia emas (sampai dengan 19 tahun), anak tidak akan mendapatkan asupan gizi yang cukup untuk tumbuh kembang karena harus berbagi dengan bayi di dalam kandungan. Hal ini dapat berakibat pada tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB)," ia menambahan.

Adapun Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 menyebutkan bahwa AKI di Indonesia adalah 359 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan angka kematian bayi (AKB) adalah 32 per 1.000 kelahiran hidup.

Bayi yang dilahirkan perempuan di usia anak juga mempunyai potensi mengalami masalah kesehatan. Di sisi lain, ketidaksiapan psikologis anak perempuan dalam membangun rumah tangga menempatkannya pada posisi rentan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

"Berumah tangga butuh keterampilan. Tanpa keterampilan tersebut, bagaimana anak bisa beradaptasi dengan hidup berumah tangga?" ujar Antarini.

"Akibat yang ditimbulkan dari perkawinan anak adalah mematikan cita-cita anak karena anak pada usia belia harus mengurus kehidupan keluarga," timpal Listyowati, Ketua Kalyanamitra.

Kelompok Remaja Rentan

Mengingat remaja merupakan kelompok yang paling terdampak praktik perkawinan anak, remaja harus juga dilibatkan dalam penyelesaian masalahnya. Maka selain melakukan sosialisasi dan pemberian informasi terhadap remaja, mengajak serta mereka untuk berkampanye dan berkomitmen bersama menjadi penting dilakukan.

Harapannya dapat terbangun dukungan dan komitmen dari kelompok muda berperan serta mencegah dan menghapuskan praktik perkawinan. Perkawinan anak bukan hanya permasalahan remaja, tapi juga merupakan masalah orangtua, masyarakat, dan negara.

"Orangtua memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa pengasuhan dilakukan untuk kepentingan terbaik sang anak," tutur Antarini.

Karena itu, ujar dia, orangtua juga harus ikut bertanggung jawab dalam usaha-usaha penghapusan praktik perkawinan anak. Terlebih, dalam waktu beberapa tahun ke depan, Indonesia diproyeksikan akan mengalami bonus demografi di mana jumlah populasi usia produktif akan melebihi populasi non-produktif.

"Hal ini dapat dimanfaatkan oleh negara untuk memperbaiki keadaan sosio-ekonomi bangsa. Hal ini hanya mungkin apabila penduduk di usia produktif dibiarkan mencapai potensi terbaik mereka, yang tidak akan terjadi apabila praktik perkawinan anak masih terjadi," kata Antarini.

Lebih jauh lagi, menurut dia, penghapusan praktik perkawinan anak merupakan implementasi dari lima tujuan pembangunan berkelanjutan. Yakni, penghapusan kemiskinan, kesehatan, pendidikan, mengurangi ketimpangan, dan keadilan gender.

Video Terkini