Liputan6.com, Jambi - Kulit di pergelangan tangan hingga jari terlihat kusam. Begitu juga rambut yang tampak kusut tak beraturan. Kondisi ini cukup menggambarkan beratnya perjuangan Tukiman (50) untuk menghidupi keluarganya dengan merantau ke Jambi.
Tak seperti perantau pada umumnya yang memilih berladang, berkebun atau bekerja sebagai tukang bangunan, Tukiman yang mengaku berasal dari Kecamatan Suko Lilo, Kabupaten Pati, Provinsi Jawa Tengah memilih mengais rezeki dengan menjadi penambang liar di Kabupaten Merangin dan Sarolangun, Provinsi Jambi selama empat tahun terakhir.
Senin siang, 2 Januari 2016, bisa jadi menjadi hari terakhir bagi Tukiman menapakkan kaki di Jambi. Bersama dua orang temannya, Sukirno dan Slamet yang sama-sama berasal dari Pati, mereka memilih pulang kampung.
Advertisement
Secara tidak sengaja bertemu di sebuah warung kopi dekat Terminal Bus Alam Barajo Jambi. Ketiga warga Pati ini menceritakan pahit getirnya menjadi penambang emas liar kepada Liputan6.com.
"Ini lagi nunggu bus berangkat jam 3 sore ini," ujar Tukiman sembari menyeruput kopi hitam khas Jambi.
Dengan logat kental Bahasa Jawa, Tukiman mengaku masih ingat betul awal-awal tergiur menjadi pemburu emas. Desakan ekonomi membiayai dan membesarkan empat orang anak yang tengah tumbuh remaja membuat Tukiman memeras otak mencari penghasilan cukup.
Pekerjaan Tukiman sehari-hari di kampungnya adalah seorang buruh tani. Ketiadaan lahan yang dimiliki menjadikan Tukiman pergi pagi pulang pagi sekedar untuk mencari tambahan agar dapur tetap mengepul.
"Dulu kondisi saya ini tidak jauh beda sama dua teman saya ini, sama-sama susah jadi buruh tani," ucap Tukiman sembari melirik dua temannya Sukirno dan Slamet.
Pemikiran Tukiman mulai berubah saat seorang tetangga sekaligus teman kecilnya baru pulang dari merantau di Sumatra. Menurut Tukiman, taraf hidup bekas teman kecilnya itu terlihat berubah total.
Rumah yang tadinya masih terbuat dari papan gedek atau bambu dibongkar habis diganti bangunan permanen. Lantai yang sebagian masih tanah dan semen disulap menjadi mengkilap beralas keramik.
"Selain rumah jadi bagus, bisa langsung beli motor dua. Padahal sebelumnya tak punya motor," tutur Tukiman.
Dari hasil bertanya dengan seksama, Tukiman baru tahu perubahan hidup teman masa kecilnya itu adalah setelah bekerja sebagai penambang emas di Kalimantan dan terakhir di Sumatra, tepatnya di Jambi.
Singkat cerita, Tukiman yang sudah putus asa dengan pekerjaannya di kampung nekat memutuskan meninggalkan keluarga untuk merantau dan menjadi penambang. Ia tidak sendiri, pertengahan 2012, Tukiman berangkat bersama delapan orang lainnya.
"Kata teman saya itu, dari hasil tambang saya bisa minimal dapat duit Rp 5 juta per bulan. Makanya saya mau," ujar Tukiman.
Â
Dari Sesak Nafas Hingga Ancaman Kematian
Sesampainya di Jambi, Tukiman dan teman-temannya dikumpulkan bersama beberapa orang lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Jawa. Para calon penambang baru ini lantas diberangkatkan menuju sejumlah lokasi penambangan di Kabupaten Merangin dan Sarolangun.
"Kami bekerja ada tauke (cukong). Hasilnya lumayan tapi berat," ujar Slamet menimpali.
Seluruh kebutuhan hidup para pekerja tambang termasuk Slamet dan teman-temannya ditanggung oleh tauke tersebut. Bahkan, sejumlah alat berat juga didatangkan sang juragan. Namun, baik Slamet, Tukiman maupun Sukirno enggan menyebut siapa cukong yang dimaksud tersebut.
"Kami takut ada apa-apa," kata dia.
Slamet yang sejak remaja hanya bergelut sebagai buruh sawah di kampungnya mengaku mengalami sesak nafas saat awal bekerja karena harus mengais emas ke dalam lubang tambang sedalam puluhan meter.
"Kadang tangan sampai gatal-gatal, mungkin karena ada air kerasnya," ucap Slamet.
Meski terkadang lupa karena hasil uang yang cukup memuaskan, satu hal yang paling ditakuti ketiga penambang ini adalah kematian. Cerita kematian empat orang penambang di Kabupaten Sarolangun, tepatnya di Kecamatan Limun, 2015 lalu masih sangat membekas di benak Sukirno, Slamet maupun Tukiman.
Kala itu, empat penambang yang juga berasal dari Pati meninggal dunia akibat tertimbun longsor saat berada dalam lobang tambang. Tak ingin peristiwa itu tercium aparat, puluhan pekerja tambang sibuk menggali longsoran semalam penuh untuk mengangkat korban. Padahal, keempat korban tersebut baru dua hari bekerja sebagai penambang.
"Saya sampai satu minggu tidak berani nambang karena takut dan trauma," ucap Slamet.
Peristiwa terkuburnya 11 penambang di Kecamatan Renah Pembarap, Kabupaten Merangin pada Oktober 2016 seolah mengulang trauma Sukirno, Slamet dan Tukiman.
Selain karena takut akan ancaman kematian, rasa kangen bertemu keluarga yang telah bertahun-tahun ditinggal menjadikan ketiganya memutuskan untuk pulang kampung.
"Paling kami kembali jadi buruh tani. Biarlah yang penting tenang dan dekat keluarga," imbuh Slamet sembari menikmati tegukan kopi terakhirnya di Jambi.
Â
Advertisement
Merusak Alam
Banyak kalangan di Jambi mendesak agar Pemprov Jambi segera menerbitkan aturan tegas akan aktivitas penambangan emas liar di daerah itu. Sebabnya, selain menimbulkan banyak korban jiwa, aktivitas ilegal itu diduga kuat menjadi pemicu banjir dan kerusakan ekosistem sungai terbesar di Jambi, Sungai Batanghari.
Manajer Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Rudi Syaf yang selama ini konsern terhadap isu lingkungan di Jambi menyebutkan, akibat aktivitas penambangan emas liar, seluas 10.926 alur sungai di dua kabupaten, yakni Sarolangun dan Merangin rusak.
"Secara ekologi kerusakan ini mulai dari pelebaran hingga pencemaran sungai," kata Rudi di Jambi, Selasa, 20 Desember 2016 lalu.
Menurut Rudi, kerusakan alur sungai itu diketahui melalui citra Lansat TM 8 pada tahun 2016 yang dilakukan unit GIS KKI Warsi. Kerusakan itu meliputi 6.370 hektare di Kabupaten Sarolangun dan 4.556 hektare di Kabupaten Merangin.
Bahkan, kata Rudi, aktivitas penambangan emas liar itu kini tidak hanya berada di alur-alur sungai, tapi sudah menyasar ke dalam kawasan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) yang masuk wilayah Merangin. Kemudian di kawasan Hutan Lindung Bukit Tinjau Limun di Kabupaten Sarolangun.
Rudi menambahkan, secara umum aktivitas penambangan emas liar di Jambi ada di empat kabupaten, yakni Sarolangun, Merangin, Tebo dan Bungo.
Di Kabupaten Bungo, aktivitas penambangan itu bahkan sudah masuk kawasan publik yakni area Bandara Muarabungo. Kemudian di Merangin ada juga aktivitas penambangan dekat dengan area kantor Kecamatan Pangkalan Jambu.
"Dari catatan Warsi, hasil emas tambang ilegal yang ditangkap aparat selama 2016 ada 53,9 kilogram. Ini jauh lebih kecil dari yang di produksi penambang," tutur Rudi.
Atas kondisi itu, Rudi menyarankan agar pemerintah daerah dan aparat bisa berkoordinasi memutus mata rantai aktivitas tambang ilegal itu. Sebab faktanya, meski kerap dirazia, aktivitas penambangan tetap saja terjadi.
Rudi mengusulkan agar pemerintah menerbitkan kawasan tambang rakyat yang benar-benar diperuntukkan bagi masyarakat. Bukan para toke atau cukong. "Selain daripada tekad kuat untuk mengurai dan menyelesaikan masalah penambangan ilegal ini," ujar Rudi mengakhiri.
Puluhan Warga Jadi Tersangka
Sementara itu, dalam keterangan persnya, Kapolda Jambi Brigjen Yazid Fanani menyatakan, sepanjang 2016 pihaknya mengungkap 18 kasus penambangan emas ilegal di Jambi.
Dari belasan kasus itu, ada 32 tersangka yang sudah di proses hukum. "Beberapa sudah masuk sidang," kata Yazid di Jambi, Sabtu, 31 Desember 2016.
Dari 18 kasus itu, jajaran Polda Jambi juga menyita barang bukti emas seberat 37,63 kilogram dan perak seberat 7,96 kilogram.
"Kami tidak akan pandang bulu dalam penegakkan hukum. Termasuk jika ada oknum aparat yang terlibat," ujar Yazid menegaskan.
Â