Liputan6.com, Ternate - Kepiting kenari, begitu warga Maluku Utara menyebutnya. Hewan bernama latin Birgus latro yang sering disebut kepiting kelapa itu adalah artropoda darat terbesar di dunia. Mudah didapat di sekitar pohon kelapa ketika suasana sunyi.
"Ukurannya besar kalau dibanding jenis gatang (kepiting) lainnya. Kalau gatang laut sering saya tangkap waktu malam, kalau gatang kanari (kenari) ini jarang," kata Sunarto Ali, warga Kelurahan Takofi, Pulau Moti, Kota Ternate, kepada Liputan6.com, Kamis, 5 Desember 2016.
Imam Masjid At Taqwa Kelurahan Takofi itu mengungkapkan, warga Pulau Moti lebih akrab menyebut kepiting raksasa itu dengan nama panggilan horu. "Gatang ini bisa nae (memanjat) pohon dan lobang (melubangi) buah dan pohon kelapa. Kalau warga sini (Pulau Moti) lebih akrab panggil horu," ucap Sunarto.
Ia menuturkan keberadaan kepiting raksasa mulai langka. Ia biasa ke luar sarang saat sunyi, terutama malam hari. "Biasanya muncul di semak-semak yang dekat pohon kelapa. Jumlahnya kian berkurang dan susah dicari. Tapi kalau mau dapat bisa," ujar dia.
Sunarto mengungkapkan, warga setempat menangkap kepiting kenari dengan memasang perangkap yang dalam bahasa setempat disebut dodeso. Perangkap itu berbentuk buah kelapa kering.
Baca Juga
"Buah kelapa dilobang (dilubangi) seukuran uang logam (pecahan Rp 500) lalu ditaruh dekat semak-semak yang ada pohon kelapa. Nanti dengan sendirinya, horu melebari lubangnya dan masuk makan buah kelapa yang ada, kemudian kalau sudah kenyang horu langsung berdiam di dalamnya," tutur dia.
"Kalau sudah berdiam di dalam buah kelapa dan tidak keluar lagi itu dia sudah kenyang. Dan berdiam diri di dalam buah kelapa karena dirasa lebih aman. Sehingga, kalau sudah masuk biasanya dia lama-lama di dalam," imbuh dia.
Kecamatan Pulau Moti merupakan pulau terkecil yang dipisahkan laut dari ibu kotanya, Kota Ternate, Maluku Utara. Kurang lebih 1 jam menuju pulau ini menggunakan jasa angkutan laut speedboat dari Pelabuhan Bastiong, Kecamatan Ternate Selatan, Kota Ternate.
Pulau ini terdapat enam kelurahan yang dihuni suku Makeang dan Tidore. Sebagian besar masyarakat setempat bermata pencaharian petani kelapa, cengkih, pala dan nelayan.
Si Raksasa Terancam Punah
Kepiting yang dikenal karena kemampuannya memecah buah kelapa kering dengan cakarnya yang kuat untuk dimakan isinya itu berbadan hitam kecoklatan. Penuturan beberapa warga Maluku Utara, spesies Birgus latro itu kehidupannya mulai terancam.
Wendy Wambes dan Ilham Mauradji di antaranya. Kepala Liputan6.com, keduanya mengemukakan hal serupa, keberadaan kepiting kenari di desa tempat mereka dibesarkan, kehidupannya mulai terancam dan mulai susah untuk ditemukan.
"Berbeda dengan saya waktu SMP dulu. Itu saya sering bermain di pinggir pantai. Kalau di Sanana (Kabupaten Kepulauan Sula), kepiting kenari ini biasanya muncul waktu malam hari, di dekat batu-batu dan semak-semak yang ada pohon kelapa," kata lelaki 28 tahun itu.
"Sekarang sudah susah. Itu karena banyak nelayan di sana yang tangkap. Banyak (kepiting kenari) yang dapa dodeso (masuk perangkap), yang setelah itu dorang (nelayan) bawa jual, dan sebagiannya dibawa pulang untuk dimakan. Dagingnya enak dan tebal," kata dia.
Hal senada dikatakan Ilham Mauradji, warga Desa Gemia, Kecamatan Patani Utara, Kabupaten Halmahera Tengah, saat disambangi Liputan6.com, Jumat, 6 Januari 2017, di Ternate.
Dia mengungkapkan, buah kelapa bukanlah satu-satunya makanan kepiting kenari. Di desa Gemia banyak pohon kelapa yang rusak akibat ulah kepiting raksasa tersebut.
Selain buah kelapa, sambung Ilham, makanan lain yang dikonsumsi hewan tersebut berupa ulat atau dalam bahasa lokal wilayah setempat disebut sabeta yang kehidupannya berada di dalam pohon-pohon sagu yang telah tumbang dan membusuk.
"Kalau di Desa Gemia itu habitatnya tidak terlalu banyak. Selain diburu warga setempat juga nelayan yang datang mencari kepiting kemudian dibawa jual ke Ternate. Saat ini, yang paling banyak itu adanya di Pulau Sail (sebuah pulau yang berada tepat di depan Desa Gemia)," kata dia.
Wendy dan Ilham mengatakan seluruh warga di tempat kelahirannya tidak mengetahui jika hewan langka tersebut masuk kategori satwa yang dilindungi Undang-Undang sebagaimana Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: 12/KPTS-II/Um/ 1987 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, tentang pengawetan jenis tumbuhan dan satwa.​
Advertisement