Liputan6.com, Yogyakarta - Masyarakat Indonesia dinilai rentan percaya terhadap hoax. Beberapa kejadian terakhir di beberapa daerah membuktikan hal itu, mulai dari kericuhan di Tanjung Balai sampai pembakaran 120 rumah di Jawa Barat.
"Kami juga mendapat informasi dari teman-teman kami, banyak yang terpecah karena termakan berita hoax dan hoax bisa mengakselerasi kerusuhan fisik," ujar Septiaji Eko Nugroho, Ketua Masyarakat Anti Hoax Indonesia, dalam jumpa pers acara deklarasi Masyarakat Anti Fitnah Yojomase, Sabtu sore, 14 Januari 2017.
Berita atau informasi hoax, kata dia, marak sebagai salah satu dampak dari berkembangnya peradaban siber. Hampir setiap orang memiliki gawai dan bisa mengakses informasi apa pun dari ponselnya tersebut.
Ia menyebutkan 130 juta orang di Indonesia merupakan pengguna internet lewat gawai. Akan tetapi, budaya literasi di Indonesia terendah nomor dua di dunia. "Jadinya, yang ada budaya share tanpa didampingi membaca," tutur dia.
Selain itu, kata Septiaji, setelah melakukan panel dengan Kemenkominfo dan Dewan Pers terkuak bahwa kualitas media mainstream menurun. Media, kata dia, tidak seidealis dulu, sehingga menyebabkan masyarakat tidak percaya dengan media mainstream dan menjatuhkan pilihan ke media abal-abal.
Ia menuturkan fenomena hoax sebenarnya juga terjadi secara global. Di Amerika Serikat, misalnya, banyak bermunculan hoax dalam pemilihan presiden kemarin. Isu Brexit gencar karena hoax dan sebagainya.
Menurut dia, deklarasi anti-hoax merupakan salah satu cara melawan berita hoax. Kegiatan tersebut sudah dilakukan di beberapa kota di Indonesia.
Â
"Deklarasi itu semacam upacara tancap bendera menunjukkan eksistensi dan fokus kami yang tidak ingin sosial media menjadi ajang memecah belah, melainkan untuk bersinergi dan berkolaborasi," ujar Septiaji.
Septiaji mengungkapkan, setelah deklarasi akan dicanangkan gerakan literasi, mulai dari literasi media sampai kesadaran menggunakan gawai. Ia mencontohkan, banyak pengguna gawai saat ini adalah orangtua yang tidak terlalu paham dengan teknologi dan informasi yang diterimanya.
Ketika mereka terpapar informasi dari pesan berantai, langsung disebarluaskan tanpa mencari tahu kebenarannya. "Sampai saat ini belum ada solusi untuk broadcast message via aplikasi chatting dan yang terpenting bukan hanya terpancing berita hoax dan anti-hoax, tetapi juga melihat manfaat dari menyebarkan berita itu, pantas dan tidak pantas," ucap dia.
Ketua Penyelenggara Deklarasi Masyarakat Antifitnah Yojomase Boni Soehakso mengatakan, deklarasi antihoax akan diadakan di Jogja pada 22 Januari mendatang. Ia menilai gerakan moral itu sebagai suatu wujud kepedulian sukarelawan yang sadar akan pentingnya budaya literasi di media sosial, khususnya Yogyakarta, Purworejo, Magelang, dan sekitarnya.
"Deklarasi ini juga sudah dilaksanakan di enam kota lainnya, Jakarta, Bandung, Surabaya, Semarang, Solo, dan Wonosobo pada 8 Januari lalu," kata Boni.
Ia menuturkan deklarasi yang diadakan di Titik Nol Kilometer akan disertai aksi teatrikal dan penyebaran brosur. Semar sebagai salah satu tokoh pewayangan Jawa menjadi simbol yang sarat nilai filosofi, moral, budaya, dan adab.
"Yang nilai-nilai itu kerap dilupakan dalam berinteraksi di media sosial," ucapnya.
Koordinator Yojomase wilayah Jogja, Ernawati, mengatakan komunitas Yojomase berawal dari pengguna medsos Facebook dan beralih ke grup Whatsapp. Komunitasnya terbentuk pada 12 Desember 2016.
"Kami peduli dengan semakin maraknya berita hoax," ujar dia. Yojomase merupakan kependekan dari Yogyakarta, Purworejo, Magelang, dan sekitarnya yang merepresentasikan asal dari anggota komunitas tersebut.