Sukses

TKI Cantik Disiksa dan Telantar, Keluarga Lapor Polisi

TKI yang saat ini mengalami gangguan kejiwaan tersebut sempat ditelantarkan di Pelabuhan Batam, Kepri.

Liputan6.com, Surabaya - Keluarga Fadila Rahmatika, tenaga kerja Indonesia (TKI) asal Ponorogo, Jawa Timur yang diduga disiksa oleh majikannya di Singapura, melapor kepada polisi. Sebab, TKI yang saat ini mengalami gangguan kejiwaan tersebut sempat ditelantarkan di Pelabuhan Batam, Kepulauan Riau, sebelum diantarkan ke Ponorogo.

"Kami melaporkan kepada SPKT Polda Jawa Timur dengan dugaan tindak pidana human trafficking (perdagangan orang). Korban adalah Fadila Rahmatika yang saat ini berada di salah satu rumah sakit di Solo," ucap penasihat hukum korban, Kokok Sudan Sugijarto, saat berbincang dengan Liputan6.com di Kantor Polda Jatim, Sabtu, 21 Januari 2017.

Kokok mengatakan, dugaan sementara adalah korban diberangkatkan untuk bekerja di Singapura. Kemudian di Singapura mengalami penganiayaan dan dipulangkan ke Indonesia melalui pelabuhan di Batam, selanjutnya korban diantarkan ke Ponorogo dalam keadaan yang sudah tidak baik.

"Terjadi selama delapan bulan di Singapura, yaitu pada bulan Februari hingga 27 November 2016," Kokok menjelaskan

Menurut Kokok, pihaknya melaporkan kasus tersebut karena kondisi korban yang memang baru bisa diajak komunikasi.

"Sebelumnya sudah dirawat di salah satu rumah sakit di Ponorogo, namun belum bisa diajak komunikasi. Baru beberapa hari yang lalu, baru bisa diajak komunikasi karena kondisinya sudah membaik. Kemudian kami melaporkannya kepada Polda Jatim," ujar Kokok.

Kokok menegaskan, pada saat perekrutan, korban dijanjikan bekerja di Singapura dengan iming-iming gaji yang menggiurkan. Yakni, bekerja di tempat-tempat yang enak dan dengan majikan baik. Selanjutnya, korban berangkat ke Singapura melalui Surabaya.

"Tetapi pada kenyataannya, korban dianiaya oleh majikan ya di Singapura. Kalau sesuai kondisi fisiknya, ada lebam di tangan, di kaki, kemudian di mata, kepala dan punggung korban. Dan yang paling menyedihkan adalah bahwa korban mengalami shock atau depresi yang sangat parah, sehingga mengalami gangguan kejiwaan," kata penasihat hukum TKI disiksa di Singapura tersebut.

2 dari 2 halaman

Keluarga Laporkan Perekrut TKI

Perkembangan terbaru, Masringah selaku ibu korban melaporkan Claudia dan rekannya ke Polda Jatim karena telah merekrut dan mengirimkan Fadila ke Singapura. Masringah didampingi tim pengacara Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi), pendamping Kabar Bumi, Seruni, dan FMN Surabaya melaporkan kasus dugaan TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) ke Polda Surabaya.

"Setelah diterima di SPKT (Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu) kemudian dianjurkan berkoordinasi dengan unit kepolisan yang akan menangani untuk mendiskusikan laporan, tindakan apa yang dilanggar dan siapa yang akan dilaporkan," tutur juru bicara Kabar Bumi, Erwiana Sulistyaningsih dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Minggu (22/1/2017).

Erwiana mengatakan, setelah selesai berdiskusi, ibu dari Fadila didampingi pengacara dan pendamping dari Kabar Bumi menuju ke ruang SPKT untuk membuat pelaporan.

"Untuk pelaporan awal Ibu Masringah melaporkan Claudia dan rekannya yang telah merekrut FR dan mengirimkan ke Singapura. Dengan tuduhan Undang-Undang TPPO, Pasal 1 ayat 2," ujar Erwiana.

Ia menegaskan, polisi berkomitmen akan mencari dan menangkap semua pelaku yang terlibat dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang terhadap Fadila. Adapun surat tanda bukti Lapor Polisi (LP) ditanda tangan oleh Kompol Daniel Hutagalung.

Proses selanjutnya, polisi akan meminta hasil visum dari rumah sakit yang sudah merawat Fadila dan meminta ke RSJ Surakarta, di mana korban sekarang menjalani pemulihan psikis. Saat ini, kondisi Fadila sudah membaik dan lebih tenang dan sudah dipindah ke bangsal tenang.

"Keadilan bagi FR dan keluarga harus ditegakkan, polisi harus mengusut secara tuntas dan menangkap semua pelaku dari dugaan TPPO terhadap FR. Pemerintah juga harus segera mengajukan kasus ini ke Kepolisian Singapura. Karena pelaku penganiayaan FR sampai saat ini masih belum ditangkap di Singapura," tutur Erwiana.

Menurut Erwiana, saat ini pihaknya sudah berkoordinasi dengan KBRI Singapura, dan mengajukan perlindungan ke LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) untuk penanganan dan pendampingan kasus secara hukum.

Kasus Fadila menambah daftar panjang korban perdagangan manusia, kemiskinan dan sempitnya lapangan kerja, sehingga sebagian warga Indonesia bekerja di luar negeri. Bukan hanya dipalsukan dokumennya, namun Fadila juga menjadi korban perekrutan tidak prosedural karena tidak terdaftar di Disnakertrans, BNP2TKI.

"FR dan sebagian besar masyarakat pedesaan tidak mengetahui prosedur untuk menjadi BMI (buruh migran Indonesia), kebanyakan para BMI hanya tahu direkrut oleh calo dan dibawa PPTKIS. Semua kepengurusan dilakukan oleh PPTKIS/agen/calo, BMI hanya tahunya harus membayar dengan potongan gaji yang tinggi selama berbulan-bulan (overcharging), ketika bekerja," ujar Erwiana.

Sedangkan PPTKIS/agen/calo tidak akan membantu BMI jika mengalami masalah. Seperti halnya kasus yang menimpa Fadila. Permasalahan yang dihadapi oleh korban akan terus terjadi selama perlindungan masih diserahkan kepada pihak swasta.

"Seharusnya pemerintah segera mencabut UU PPTKILN No 39/2004 dan menggantinya dengan Undang-Undang Perlindungan Sejati bagi Buruh Migran dan Keluarganya," kata dia.

"Momen perubahan atau revisi Undang-Undang No 39 Tahun 2004 seharusnya menjadi momen perbaikan perlindungan terhadap buruh migran dan keluarganya, serta memberikan pilihan untuk melakukan kontrak mandiri," Erwiana memungkasi penjelasan kasus TKI disiksa tersebut.