Liputan6.com, Solo - Naskah kuno bukan sekadar berisi rangkaian tulisan atau buah pikir dari pujangga atau sastrawan tempo dulu. Bisa jadi naskah-naskah kuno itu menyimpan daya magis ataupun mistis.
Museum Radya Pustaka adalah salah satu museum tertua di Jawa. Di sini menyimpan ribuan manuskrip ataupun naskah kuno dari para pujangga.
Museum ini menyimpan naskah kuno milik pujangga Ronggowarsito yang lekat dengan ramalan Zaman Edan. Di museum ini juga tersimpan naskah-naskah tentang ramuan jamu hingga mantra pengasihan alias pelet asmara.
Advertisement
Menerjemahkan naskah yang dianggap 'sakral' itu tentu saja bukan kerja yang mudah. Butuh ketelatenan dan kesabaran untuk menerjemahkan aksara-aksara kuno. Beragam pengalaman 'mistis' pernah dialami para penerjemah naskah kuno di museum ini.
Salah satunya adalah petugas digitalisasi dari museum Radya Pustaka, Kurnia Heniwati. Ia pernah mendigitalisasi Serat Mangkupraja. Entah mengapa, walau lembaran-lembaran itu sudah didigitalisasi dengan kamera, hasilnya selalu tak beraturan halamannya.
"Padahal, berkali-kali sudah saya urutkan tetapi tetap saja morat-marit. Akhirnya saya pasrah dengan digitalisasi naskah abad 17 ini. Walau morat-marit terus, saya berusaha sabar, " kata Kurnia kepada Liputan6.com, di Museum Radya Pustaka Solo, Selasa (24/1/2017).
Baca Juga
Pengalaman mistis lain juga dialami oleh beberapa anak magang dan penerjemah naskah kuno. Seperti halnya yang dialami oleh tiga anak magang dari sebuah perguruan tinggi swasta di Solo yang mendigitalisasi naskah kuno di museum tersebut.
Tiga mahasiswa jurusan desain komunikasi visual itu satu per satu langsung tertidur begitu mulai membuka naskah kuno lontar untuk digitalisasi.
"Jadi, mereka satu per satu bisa langsung tidur. Lalu, Pak Totok (penerjemah naskah kuno) mencoba melihat dari dekat naskah itu. Dan Pak Totoknya juga langsung tertidur juga, " jelas dia.
Lantaran menjumpai hal yang aneh, ia pun berkesempatan menjumpai seorang pemuka agama Hindu dari Bali. Ternyata, sebelum membaca naskah lontar ini harus mengucapkan sebuah kata kunci.
"Iya, katanya memang harus menyebut kata kunci sebelum membuka naskah tersebut," tutur Kurnia.
Mantra Membaca Naskah Kuno
Saat Liputan6.com menyambangi museum yang didirikan Kanjeng Adipati Sosroningrat IV pada 28 Oktober 1890 itu, terdapat dua mahasiswa dari Universitas Udayana sedang sibuk membolak-balikan serta membaca naskah yang tertulis dalam lontar. Dua mahasiswa jurusan Sastra Jawa Kuno yang bernama Alfian Nur Rahmat dan Kurnia Sari tidak mengalami masalah saat membuka naskah tersebut.
Alfian pun mengungkapkan jika membuka naskah kuno lontar memang terlebih dahulu harus membaca kalimat khusus, yakni‎ om awigmastu nama siddham. "Ini diucapkan di pembuka agar dimudahkan dalam membaca," kata Alfian yang diamini temannya Kurnia Sari.
Naskah lontar kuno yang dibaca oleh Alfian dan Kurnia di museum tersebut bertuliskan aksara Bali. Namun, bahasa yang digunakan dalam naskah tersebut merupakan campuran Jawa Kuno dan Sansekerta.
"Ini ada 10 lembar halaman lontar. Kami sedang coba untuk membaca dan menerjemahkannya," ucap Alfian.
Sementara itu, Kurnia Heniwati mengungkapkan apa yang terjadi di balik penerjemahan naskah kuno bukan hal mengagetkan baginya. Utamanya ketika menerjemahkan naskah Purwo alias naskah yang berusia ratusan tahun.
Lantaran naskah kuno itu sendiri merupakan sebuah karya leluhur, para penulis naskah kuno pasti menulis buah pikirannya itu biasanya harus melakoni tirakat.
"Kita membaca atau menerjemahkan ini sebagai sebuah perwujudan karya leluhur. Beliau yang menulis naskah-naskah kuno biasanya mengawalinya dengan melakoni tirakat, jadi kita pun harus menghargainya," kata perempuan yang akrab disapa Nia ini.
Advertisement