Liputan6.com, Cirebon - Etnis Tionghoa menjadi salah satu elemen penting dalam pembangunan Cirebon hingga saat ini. Filolog Cirebon Opan Safari menyampaikan peran etnis Tionghoa di tanah Cirebon sudah terlihat sejak 1415.
Saat itu, kata Opan, sekitar 23 ribu anggota pasukan Cina datang ke Kerajaan Singapura--nama sebelum Cirebon--yang dipimpin oleh Laksamana Cheng Ho. "Rombongan Cheng Ho jumlahnya jauh lebih banyak dari penduduk Singapura itu sendiri," kata Opan, Kamis, 26 Januari 2017.
Dia mengatakan, armada Cheng Ho mendarat di Singapura selama tujuh hari tujuh malam. Mereka menyebarkan Islam dan bersosialisasi kepada penduduk setempat.
Bahkan, ucap Opan, banyak pengikut Cheng Ho yang mencintai wanita pribumi hingga akhirnya menikah dan menetap di Cirebon. Sebagian besar warga Tionghoa yang menikah dengan pribumi saat itu tinggal di wilayah pantai utara, tepatnya daerah Kapetakan.
Baca Juga
"Makanya asal-muasal nama Kapetakan itu dari perkawinan pribumi dan Cina. Kapetakan sendiri artinya berkulit putih. Dan memang dahulu, orang Kapetakan sebenarnya putih-putih. Entah kenapa sekarang berubah tidak putih lagi, tapi masih ada yang putih," tutur Opan.
Seiring perkembangan zaman, pada 1420 datang rombongan ulama sekeluarga keturunan Tionghoa bernama Syekh Hasanudin atau Syekh Kuro. Syekh Kuro merupakan ulama keturunan Tionghoa yang tinggal di Campa, Vietnam, bersama istri Siau Te Ho.
"Punya anak Tan Go Huwat (Syekh Bentong) dan Xiau Ban Tji yang akhirnya dinikahi oleh Raja Majapahit Brawijaya V dan kemudian memiliki anak Raden Patah dan Ki San yang pernah menjadi Bupati Semarang," tutur Opan.
Kisah Cinta Gunung Jati dan Putri Cina
Dia mengatakan, sejak awal berdirinya Kerajaan Singapura, warga Tionghoa sudah mewarnai perdagangan pelabuhan. Saat itu, ucap Opan, pelabuhan terbesar bernama Muarajati yang terletak di Desa Muara dan Gunungjati.
Memasuki 1445, Pangeran Cakrabuana membuka padukuhan Cirebon. Masyarakat Tionghoa yang ada banyak bermukim di pesisir Cirebon.
"Dari sensus penduduk yang ditulis Pangeran Wangsakerta dari ratusan pribumi, ada juga warga Tionghoa. Mereka juga mewarnai perekonomian di Cirebon," ujar Opan.
Peran warga Tionghoa juga semakin meningkat ketika pada 1540 Sunan Gunung Jati menikahi Putri Ong Tin yang juga berasal dari Tiongkok. Kedatangan Putri Ong Tin ke Cirebon dikawal oleh ribuan pasukan dan sebagian besar mengabdi.
"Pengawal Putri Ong Tin tidak ada yang pulang ke negaranya. Mereka mengabdi, membaur, dan menikah dengan pribumi. Bahkan, mereka membangun Klenteng yang sampai sekarang dinamai Klenteng Jamblang," ujar Opan.
Selain di sektor perekonomian, peran warga Tionghoa membangun Cirebon juga terlihat pada masa pemerintahan Sunan Gunungjati. Saat itu Sunan Gunungjati menjadikan Cang Xai Kong atau Pangeran Adipati Wiracula sebagai menteri keuangan kerajaan Cirebon.
"Orang Tionghoa itu berbaur dan menikah dengan orang lokal dari suku lain juga sama dan tidak ada gesekan. Malah, berperan serta meramaikan perekonomian Cirebon. Meramaikan pelabuhan serta menjalin hubungan luar negeri," kata Opan.
Advertisement