Liputan6.com, Kefamenanu, NTT - Kehidupan ekonomi warga perbatasan RI-Timor Leste, tepatnya di Kabupaten Timor Tengah Utara (TTU), Nusa Tenggara Timur (NTT), sudah tergolong layak. Namun, sebagian infrastruktur penunjang bagi masyarakat setempat masih jauh dari perhatian pemerintah daerah.
Hidup dalam kesulitan dan jauh dari perhatian ini dirasakan para pedagang di pasar tradisional, Maubesi, Kecamatan Insana Tengah, TTU. Kendati demikian, mereka tetap ceria menyambut pagi yang mengawali denyut kehidupan hari itu.
Kondisi pasar yang dibuka setiap Sabtu itu sangat memprihatinkan. Tak ada bangunan permanen atau lapak tempat penjual menjajakan barang dagangan mereka. Para pedagang memilih membangun sendiri kios darurat beratap daun lontar atau gewang (bahasa setempat).
Advertisement
Baca Juga
Sementara, barang-barang dagangan diletakkan begitu saja di atas tanah. Padahal, pasar itu merupakan pusat perekonomian warga di kecamatan tersebut.
Pantauan Liputan6.com, sebagian pedagang memilih datang ke pasar tersebut pada Jumad sore dan bermalam menanti pagi untuk mengais rezeki. Sekitar pukul 05.30 Wita, sekalipun diselimuti dingin, sebagian pedagang sudah melayani beberapa pedagang yang datang.
Marthen Kefi (39) salah satu pedagang bawang asal Desa Eban, Kecamatan Miomafo Barat, mengaku membayar retribusi Rp 2.000 setiap kali hari pasar. Dia juga mengaku dari hasil jualannya digunakan untuk membiayai pendidikan empat anaknya.
"Sudah berulang-ulang kami minta ada perhatian dari pemerintah daerah untuk menambah fasilitas pasar, tetapi kami hanya dijanji," ucap Kefi kepada Liputan6.com, belum lama ini.
Theresia Pikan, pedagang lainnya mengatakan, ia bersama sang suami pernah menghadap pihak Dispenda meminta adanya pembenahan kondisi pasar. Namun hingga saat ini belum terealisasi.
"Jika musim hujan hasil jualan kami rusak karena terkena air hujan dan kami mengalami kerugian," pedagang pasar di perbatasan RI-Timor Leste itu memungkasi.