Sukses

Kepala Desa di Brebes Kena OTT Terkait Proyek Nasional Agraria

Selain Kades, dalam OTT itu juga sempat diamankan perangkat desa.

Liputan6.com, Brebes - Polda Jawa Tengah melalui Tim Sapu Bersih Pungutan Liar (Saber Pungli) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Mudhakir, seorang Kepala Desa Manggis Kecamatan Sirampog, Kabupaten Brebes, Selasa 24 Januari 2017 lalu.

Kabar ditangkapnya Mudhakir itu dibenarkan Camat Sirampog, Munaedi sesaat setelah dipanggil Plt Bupati Brebes, Budi Wibowo di Kantor Bupati Brebes.

"Informasi dari warga memang pada hari Selasa 24 Januari lalu sekitar jam 14.00 WIB siang memang ada tim dari Polda Jateng. Saat itu, katanya datang untuk mengamankan Bapak Kades Manggis, Mudhakir," Senin (30/1/2017). 

Mudhakir ditangkap karena diduga melakukan pungli terkait Proyek Nasional Agraria 2016. Diduga dia memngut biaya tidak resmi dalam 250 sertifikat tanah yang diurus masyarakat.

Selain Kepala Desa, Tim Saber Pungli juga sempat mengamankan perangkat desa dan panitia pengurusan Proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) tahun 2016.

Jajaran Pemkab Brebes langsung mengadakan rapat mendadak menyangkut adanya kabar OTT terhadap salah seorang kades di wilayahnya itu. Namun, tindak lanjutnya seperti apa belum dapat diketahui.

"Sampai sekarang status Pak Kades diamankan di Polda. Untuk statusnya sebagai saksi atau tersangka, kita belum tahu. Informasi di lapangan masalah ini terkait prona atau sertifikat tanah," ucap Munaedi.

Selain kades, kata dia, memang ada lima orang perangkat desa dan panitia prona yang juga ikut diamankan dalam OTT Tim Saber Pungli tersebut. Namun, lima orang itu kini sudah kembali ke rumah karena hanya diperiksa sebagai saksi.

"Sebenarnya total ada enam orang yang ikut diamankan, tapi yang lima sekarang sudah pulang. Jadi saat ini hanya kades yang ditahan di Polda," ujar dia.

Informasi dihimpun Liputan6.com, selain Kepala Desa Manggis, lima orang lain yang sempat diamankan Tim Saber Pungli Polda Jateng itu, yakni Surono sebagai Sekretaris Prona, Apipudin sebagai Bendahara Prona, Tahlir sebagai Ketua Prona, Agus Suryono sebagai Sekretaris Desa, dan Tahmid sebagai perangkat Desa setempat.

Ia menyebut, meskipun Kepala Desa kini sedang ditahan di Polda Jateng, tetapi aktivitas pelayanan terhadap masyarakat di Desa Manggis berjalan normal seperti biasa.  

"Ya kami tahu pasti ada permasalahan ini, tapi kami jamin pelayanan masyarakat di Desa Manggis berjalan normal," ujar dia.

Sementara itu, Plt Bupati Brebes, Budi Wibono juga membenarkan, soal salah seorang kades di wilayahnya yang diamankan oleh Tim Saber Pungli Polda Jateng. 

Meski belum secara resmi menerima laporan dari Polda Jateng, namun pihaknya sudah mengetahui berita tersebut dari pesan singkat.

"Kalau secara resmi saya belum terima laporan masalah ini, tapi saya tahu baru sebatas dari WA (Whatsapp). Kades yang diamankan ini Kades Manggis, " ucap Budi.

Ia memastikan, Pemkab Brebes akan memberikan bantuan hukum kepada Kepala Desa Manggis dalam proses hukum ini. Termasuk jika terus berlanjut ke pengadilan.

"Ya kami berikan pendampingan berupa bantuan hukum kalau memang kasus ini nanti berlanjut hingga ke Pengadilan," ujar dia.

Diduga Kepala Desa Manggis menghimpun dana dari masyarakat yang mengurus sertifikat tanah prona dengan harga ataupun biaya yang mahal. Setidaknya ada 250 sertifikasi tanah yang sedang dalam proses Prona di Desa Manggis.

Informasinya, pembuatan prona untuk satu sertifikat dikenakan biaya yang bervariatif, mulai dari Rp 400 ribu hingga lebih dari Rp 5 juta rupiah.

2 dari 2 halaman

Mahalnya Biaya Prona

Aktivis Gerakan Berantas Korupsi (Gebrak) mengungkap temuan banyaknya di beberapa desa di Kabupaten Brebes, Jateng, yang membebankan pungli untuk proses sertifikat pada program Prona kepada masyarakat yang dinilai sangat memberatkan.

Berdasarkan penelusuran Gebrak, ditemukan biaya yang dibebankan kepada masyarakat sebesar Rp 500 ribu hingga Rp 700 ribu untuk pengurusan Prona dengan catatan masyarakat memiliki akte tanah.

"Bahkan, ada yang dibebankan kepada masyarakat lebih dari Rp 1 juta," ucap Divisi Pendidikan dan Pemberdayaan masyarakat Gebrak, Yunus Awaluddin Zaman saat beraudensi terkait persoalan Prona di ruang rapat OR Setda Brebes, kemarin.

Menurut dia, tidak sedikit desa-desa yang menyalahi aturan dalam penentuan biaya sertifikat tanah untuk masuk dalam program Prona. Di antaranya seperti yang terjadi di Desa Sitanggal Kecamatan Larangan, misalnya. Di desa itu pemohon yang tidak memiliki akte tanah, maka akan dikenakan biaya tambahan untuk pengurusannya sebesar Rp 400 ribu – Rp 500 ribu.

"Hal ini jelas bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2016 Pasal 32. Dimana besarnya biaya akte dan honor kesaksian tidak boleh lebih dari 1 persen dari harga objek tanah," ucap dia.

Kemudian, kata Yunus, untuk kasus di Desa Larangan menjadi satu pembelajaran yang harus sama-sama diperhatikan. Sebab, biaya yang dibebankan kepada masyarakat sungguh memberatkan, yaitu lebih dari Rp 1 juta.

Meski begitu, Pemerintah Desa berkilah sudah mendasarkan pada Peraturan Desa (Perdes) yang dibuat dalam proses Prona ini. Padahal Perdes yang dimaksud belum pernah dikonsultasikan kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Brebes.

Sudah menjadi keharusan bahwa setiap Perdes harus dikonsultasikan dengan Pemerintah Daerah sebagaimana yang dimandatkan oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 

"Jadi, hasil pungutan tersebut dan berapapun jumlahnya harus masuk dalam skema Anggaran Desa. Artinya tidak diperbolehkan langsung dinikmati atau masuk kantong pribadi aparat desa," ujar Yunus.

Di sisi lain, di Desa Pakijangan, Kecamatan Bulakamba, pada 2016 lalu, masyarakat juga dibebani biaya pembuatan sertifikat dalam Prona sebesar Rp 1 juta. Sedangkan alokasi anggaran tersebut dinilai sangat membebani dan menyimpang dari peraturan yang ada karena diperuntukkan tidak sebagaimana mestinya.

Dia menambahkan, sebelumnya, pada 2014 lalu, di Desa Sidamulya, Kecamatan Wanasari, muncul kasus pungli yang sangat membebankan kepada warga. Dengan dalih kesepatakan antara warga dan panitia, namun biaya yang disepakati itu sangat memberatkan kepada warga.

Ujungnya, warga melakukan tuntutan kepada panitia dan Pemerintah Desa untuk mengembalikan pungutan yang tidak berdasar tersebut.

"Hingga saat ini kasusnya masih mangkrak di Polres Brebes. Panitia pun dengan desakan yang terus menerus kepada Pemerintah Desa mengembalikan biaya-biaya yang sebelumnya dipungut kepada masyarakat," ucap Yunus.