Liputan6.com, Bogor - Nama Kampung Pulo Geulis di Bogor masih kalah populer dibandingkan Kampung Pecinan maupun Kampung Arab Empang. Padahal, Pulo Geulis merupakan sebuah perkampungan yang menyimpan jejak penting peradaban Padjadjaran.
Pulo Geulis atau pulau cantik adalah sebuah daratan di tengah Sungai Ciliwung yang terletak di pusat Kota Bogor. Di pulau seluas 3,5 hektare ini berdiri sebuah Kelenteng Pan Kho Bio, yang diperkirakan dibangun sekitar abad 16.
Menurut Bram Abraham, tokoh masyarakat setempat, kelenteng tersebut sudah ada saat daratan di tengah sungai ini ditemukan oleh ekspedisi Belanda, Abraham Van Ribeck. Ekspedisi itu mencari jejak peninggalan Kerajaan Pakuan Padjadjaran dan Kerajaan Sunda pada 1704.
Advertisement
"Menurut peneliti, kelenteng ini sudah ada sejak zaman dulu karena terdapat berbagai prasasti di dalamnya," kata Bram.
Baca Juga
Berbagai prasasti tersebut sebagai bukti masa kejayaan penghuninya dari masa ke masa. Antara lain batu besar yang diyakini peninggalan zaman Megalithikum.
Batu menhir tersebut sebagai tempat masyarakat berdoa kepada leluhur pada zaman dulu. Selain itu terdapat dua patung macan yang melambangkan kegagahan, kejayaan, dan keberanian serta kekuatan Kerajaan Padjadjaran.
Di area kelenteng juga terdapat petilasan Embah Raden Mangun Jaya, salah satu karuhun atau leluhur masyarakat tradisional Sunda, yang masih keturunan dari Raja Padjadjaran.
Selain terdapat altar lengkap dengan deretan patung para dewa bagi kepercayaan Konghucu, Hindu, dan Budha, di belakang bangunan terdapat ruangan segi tiga berisikan dua batu besar.
Tempat itu dipercaya merupakan petilasan Embah Sakee dan Eyang Jayaningrat. Keduanya merupakan tokoh penyebar agama Islam pada masanya.
Para peziarah yang beragama Islam kerap menjalankan salat, maulid nabi, hingga pengajian di tempat ini sebagai tanda penghormatan atas perjuangan menyebarkan agama Islam.
"Pulo Geulis memiliki nilai sejarah bagi beberapa agama," kata Bram.
Sejarah Unik Pulo Geulis
Berdasarkan cerita rakyat Sunda secara turun temurun, daratan di tengah Sungai Ciliwung ini sebagai tempat peribadatan dan bertapa bagi masyarakat Sunda sebelum Kerajaan Padjadjaran.
Kemudian, saat Kerajaan Padjadjaran berdiri 1030 M-1579 M, pulau tersebut pun digunakan untuk tempat bermain anak-anak para emban maupun abdi dalem Kerajaan Padjadjaran.
Berdasarkan naskah kuno Sunda karangan Ki Buyut Baju Rombeng, pada masa Kerajaan Pajajaran berkuasa, tempat itu diberi nama Parakan Baranangsiang. Parakan artinya tempat di sungai yang memiliki kemiringan lembut dan banyak terdapat batu-batu yang terlihat kecuali saat banjir.
Sedangkan Baranangsiang artinya kilauan, sinar atau kemilau. Saking indahnya, Parakan Baranangsiang menjadi tempat untuk menyendiri salah satu putri Pakuan yang patah hati.
Konon, berdirinya kelenteng tersebut bermula ketika seorang putri Pajajaran sakit keras dan tidak ada satu pun yang bisa mengobatinya. Sang raja kemudian membuat sayembara, siapa yang berhasil menyembuhkan putrinya akan diberi tempat yang indah (Parakan Baranangsiang) untuk tinggal.
Sayembara tersebut terdengar hingga ke negeri Cina. Syahdan, datanglah seorang tabib yang kemudian berhasil mengobati putri raja hingga sembuh. Sang raja kemudian menepati janjinya dengan memberikan pulau yang berada di tengah sungai itu.
Sang tabib pun kemudian membangun sebuah rumah dan kuil bernama Pan Kho Bio sebagai tempat untuk beribadah.
Advertisement
Belajar Harmoni di Pulo Geulis
Pada awal abad 16, Kerajaan Padjadjaran runtuh setelah diserang Kerajaan Banten dan Cirebon. Saat itu seluruh pasukan, abdi dalem serta keluarga kerajaan meninggalkan ibu kota Pakuan Pajajaran. Hanya tersisa beberapa orang setempat dan keturunan China.
Setelah penyerbuan tentara Banten, catatan mengenai Kota Pakuan hilang, dan baru ditemukan kembali oleh ekspedisi Belanda yang dipimpin oleh Scipio dan Riebeck pada 1687.
Mereka melakukan penelitian atas Prasasti Batu Tulis dan beberapa situs lainnya, dan menyimpulkan bahwa pusat pemerintahan Kerajaan Padjadjaran terletak di Kota Bogor.
"Termasuk beliau menemukan situs di kelenteng yang sudah ada di Pulo Geulis pada waktu itu," ujar Taufik Hassuna, budayawan Bogor.
Setelah Bogor dikuasai Belanda, Parakan Baranangsiang kemudian berubah nama menjadi Kampung Pulo Geulis, yang artinya pulau yang cantik, karena letaknya berada di tengah sungai.
"Kawasan Pulo Geulis hingga Jalan Suryakencana makin ramai setelah akhir abad 17 ada Pasar Bogor. Dari etnis Tionghoa dan pribumi datang dan menetap di situ," ujarnya.
Hingga kini, jumlah penduduk yang tinggal di Pulo Geulis semakin banyak. Warga dari berbagai ras dan agama berbaur di sana. Peninggalan seperti Kelenteng Pan Kho Bio dan prasasti lain pun hingga sekarang masih tetap terpelihara dengan baik.
Kelenteng tersebut selalu ramai dikunjungi warga Tionghoa dari berbagai daerah di nusantara untuk melakukan ibadah. Terutama selama perayaan Imlek berlangsung. Kelenteng tersebut juga kerap menjadi tujuan wisata religi, budaya dan sejarah.