Liputan6.com, Cirebon - Semangat meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di Indonesia bukan hanya dimiliki pemerintah. Semangat pendidikan juga menggerakkan Warkina, seorang guru warga Desa Suranenggala, Kecamatan Kapetakan, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, berbuat nyata.
Lelaki kelahiran 4 September 1978 itu merelakan separuh waktunya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di desanya dengan mendirikan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Tanpa dipungut biaya, Warkina mengajak anak-anak usia dini di desanya untuk belajar bersama.
"Susah awalnya, Mas. Saya harus door to door ke rumah-rumah warga. Kadang juga ditolak karena mereka maunya yang instan tanpa harus proses," ucap Warkina, Selasa, 7 Februari 2017.
Advertisement
PAUD yang didirikan sejak 2013 itu berjalan tanpa dipungut biaya sepeser pun. Warkina bahkan rela menggadaikan perhiasan milik istri dan merogoh uang dari penghasilannya sebagai guru honorer di SMPN 2 Suranenggala Cirebon.
Semangatnya dalam dunia pendidikan didasari keprihatinan terhadap minimnya kesadaran untuk belajar. Warkina pun mencari cara untuk menghidupi PAUD agar pendidikan terus berjalan.
Sistem PAUD yang dikelolanya itu dikolaborasikan dengan program pemerintah tentang ramah lingkungan. Warkina lalu meminta warga untuk menyetorkan sampah rumah tangga mereka sebagai bayaran untuk menyekolahkan anaknya di PAUD.
Baca Juga
"Sampah rumah tangga setiap hari Jumat kami kumpulkan, kemudian dijual kepada pengepul sampah dan uangnya untuk memenuhi sarana pendidikan berikut perlengkapan yang ada di PAUD. Sistem ini saya lakukan terbuka dan warga saya beri buku tabungan sampahnya," ucap Warkina.
Dia mengatakan, ide sekolah PAUD dengan membayar sampah rumah tangga tersebut seiring dengan keprihatinannya terhadap lingkungan yang kotor.
"Awal mula bencana banjir di desa ya center-nya ada di sampah rumah tangga. Membuang tidak pada tempatnya, sehingga membuat lingkungan kotor," ujar dia.
Selain itu, dia bersama para relawan juga ingin mengajarkan anak-anak untuk membiasakan diri membuang sampah pada tempatnya. Sampah yang sudah terjual dikalkulasikan dalam bentuk rupiah dan dikembalikan dalam bentuk pembelian sarana pendukung PAUD.
Bahkan, para siswa PAUD binaannya dibelikan tas, buku, sepatu atau alat peraga lain dari hasil penjualan sampah rumah tangga. Semangat Warkina kini mulai mengubah pola pikir masyarakat sekitar akan pentingnya pendidikan. Â
"Hasil timbangan sampah nilainya bervariasi tergantung warga yang mengumpulkan sampah ke saya. Kadang selain membeli sarana dan fasilitas saya juga memberikan anak-anak sabun atau otol ketika mereka kekurangan kebutuhan untuk hidup bersih," tutur Warkina.
Guru Honorer 15 Tahun
Guru mata pelajaran Bahasa Indonesia SMP Negeri 2 Suranenggala, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, ini sudah lebih dari 15 tahun menyandang status sebagai guru honorer. Penghasilan Warkina Rp 400 ribu per bulan. Namun demikian, semangat dan perjuangan Warkina di bidang pendidikan layak diapresiasi.
Usai mengajar para lansia, sore harinya Warkina berkeliling kampung dengan mobil tuanya membuka perpustakaan keliling. Lahir dari keluarga yang kurang mampu, Warkina tergolong anak yang cerdas. Tak heran, selama bersekolah dirinya selalu mendapatkan beasiswa.
Usai menamatkan sekolah, Warkina melanjutkan kuliah di Poliktenik Bandung. Karena keterbatasan biaya, akhirnya Warkina berhenti dan kembali ke kampung halamannya dan mencoba mengajar di sekolah dasar.
Berbekal uang pinjaman dari rekannya, Warkina kembali melanjutkan kuliah di Institut Keguruan Ilmu Pendidikan Yasika Majalengka. Berkat dukungan masyarakat dan pemerintah daerah setempat, Warkina mendirikan balai pendidikan khusus menampung anak-anak putus sekolah.
Dibantu keluarganya, Warkina juga membangun beberapa sarana pendidikan untuk anak-anak usia dini yang kini tersebar di empat desa. Warga yang dulu tak peduli dengan pendidikan lambat laun mulai mengerti akan pentingnya pendidikan.
Warkina mampu menginspirasi banyak orang. Ia bertekad akan terus berjuang mengentaskan kemiskinan lewat pendidikan. Warkina mengajar di halaman rumah Warkina yang berukuran 8x4 meter, terpampang papan bertuliskan "Belajar Tak Kenal Usia".
"Saya ingin mengubah mainset kalau segala sesuatunya itu tidak harus diselesaikan dengan otot," ujar Warkina.
Advertisement