Sukses

Surocolo, Antara Kisah Selir Sultan dan Bunker Jepang

Bunker Jepang di Bukit Surocolo menjadi lokasi sempurna untuk menanti matahari tenggelam.

Liputan6.com, Yogyakarta - Di wilayah selatan Yogyakarta ada sebuah perbukitan bernama Surocolo. Bukit itu tepatnya berlokasi di Dusun Ngreco, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Bantul itu.

Meskipun belum sekondang Kebun Buah Mangunan, Bukit Surocolo menawarkan keindahan alam yang tidak bisa diremehkan menjelang senja. Bukit ini memiliki puncak yang disebut dengan Puncak Mrangi.

Ketika pengunjung mencapai puncak ini dan menghadap ke selatan, tampak ombak Pantai Depok bergulung seolah mengantarkan matahari kembali ke peraduannya. Sebaliknya, sorot lampu kota di sisi timur ikut menyambut kedatangan malam.

Pemandangan dari atas Puncak Mrangi menjadi titik yang menarik untuk dibidik, baik untuk berswafoto maupun mengabadikan momentum matahari terbenam.

Untuk mencapai puncak Mrangi di bukit Surocolo, pengunjung juga tidak perlu bersusah-payah berjalan kaki. Kendaraan bermotor bisa mengantar pengunjung sampai bawah bukit.

Setelah itu, Anda baru berjalan kaki naik tangga yang juga tidak lebih dari 10 meter. Di tempat itu ada sebuah gazebo yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat leyeh-leyeh atau sekadar bercengkerama sembari menikmati angin dari atas bukit.

Wisatawan dari arah Kota Yogyakarta bisa mendatangi lokasi ini via Jalan Imogiri Barat atau Jalan Parangtritis. Waktu tempuh sekitar 45 menit sampai satu jam, tergantung kepadatan lalu lintas.

Keberadaan Bukit Surocolo itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah perjuangan bangsa. Pada masa pendudukan Jepang, bukit menjadi lokasi paling strategis untuk dibuat sebagai bunker Jepang. Kebiasaan Jepang adalah membangun benteng lewat goa-goa di perbukitan atau dataran tinggi.

"Puncak Mrangi merupakan bunker pertahanan Jepang yang dibangun pada 1942. Belum sempat digunakan karena Jepang kalah dalam perang dunia kedua dan seluruh tentara kembali ke negara asalnya," ujar Jemmy Kanas, salah satu warga yang pernah mengikuti pelatihan guide di wilayah tersebut, beberapa waktu lalu.

Ia menyebutkan jumlah bunker ada 18, berdiri di empat bukit kecil dengan luas lebih dari 2 hektare. Rencananya, kata dia, bunker memiliki fungsi yang berbeda-beda, seperti pertanahan keluar masuk, konsolidasi, pengintaian empat arah, pengawasan menyeluruh, penjara, dapur, dan sebagainya.

"Sepengetahuan saya, sekarang bunker ini dikelola BPCB dan untuk pengembangan wisatanya sudah dilakukan Pokdarwis sejak 2012," ucap dia. Pengembangan wisata yang dimaksud antara lain mengadakan merti bumi setiap Rabu Kliwon di Bulan Suro.

2 dari 2 halaman

Legenda Selir Sultan

Jemmy juga bercerita ada legenda yang dipercaya sebagai asal mula Surocolo. Kisah berawal dari seorang perempuan bernama Glenggang Jati yang merupakan selir dari Sultan Amangkurat I semasa Perang Trunojoyo.

Glenggang Jati berasal dari Girijati, sebuah wilayah di Gunungkidul. Ia yang merasa sedih karena hamil dan statusnya hanya seorang selir, memutuskan kembali ke rumah orangtuanya.

Dalam perjalanan pulang, ia menjadi galau karena rasa malu yang mendera, hamil tanpa suami yang sah. Berhentilah Glenggang Jati di sebuah puncak di daerah yang sekarang dikenal dengan Surocolo.

"Dia berhenti di Puncak Mrangi dan menetap di situ, Mrangi berasal dari kata memerangi, artinya Glenggang Jati memerangi keterpurukan," ujar Jemmy.

Warga desa memanggil Glenggang Jati dengan sebutan Mbok Rondo atau Ibu Janda. Saat hamil tua, ia sempat berkeluh kesah karena di daerah perbukitan tetapi sulit mencari air. Janin yang dikandungnya ternyata sakti dan membisikkan kata-kata ke ibunya. Si janin menjanjikan akan ada mata air ketika dia lahir.

Beberapa waktu kemudian, tibalah waktu Glenggang Jati melahirkan. Saat persalinan, ia dibantu tiga bidadari. Ketika bayinya sudah lahir, ia meninggalkan bayi itu sendirian lalu pergi mencari air.

Sekembalinya ke lokasi persalinan, ia melihat tali pusar atau putat sang bayi menjadi sumber air yang memancarkan air dari tanah. Tempat itu dikenal dengan nama Sumur Putat. Glenggang Jati memberi nama bayi berjenis kelamin laki-laki itu Joko Umar.

Waktu berlalu dan Kerajaan Mataram sudah beralih ke Sultan Amangkurat III. Raja yang juga dikenal dengan nama Raden Sutikno itu mengadakan napak tilas bersama prajuritnya sampai ke wilayah tempat tinggal Glenggang Jati.

Ia meminta prajuritnya membuat goa untuk tempat bertapa. Tanpa mereka sadari, Glenggang Jati sebagai salah satu penduduk setempat ikut mendukung pembuatan goa dengan menyediakan ransum bagi prajurit.

Joko Umar yang sudah menjadi pemuda, mengomentari dan menyepelekan pengerjaan goa tidak kunjung selesai. Komentarnya didengar oleh Ki Demang yang menganggap Joko Umar congkak.

Ki Demang membawa Joko Umar ke hadapan Raden Sutikno. Anak Glenggang Jati itu pun ditantang untuk menyelesaikan pembuatan goa. Dalam semalam, Joko Umar menyelesaikan pembuatan goa dengan cara mengeruk tanah menggunakan batok kelapa.

Tempat itu diberi nama Gua Surocolo, yang berasal dari kata suro yang artinya berani dan colo bermakan memberi tahu.

"Artinya berani memberi tahu ke Sultan Amamgkurat III kareba pembuatan goa sudah selesai," tutur Jemmy.