Liputan6.com, Semarang Valentine's Day atau Hari Kasih Sayang yang jatuh pada 14 Februari tak boleh dirayakan di berbagai daerah di sekolah berbagai daerah, termasuk di Semarang.
Terkait larangan itu, sebuah surat dinas diterbitkan Dinas Pendidikan Kota Semarang berisi larangan Perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine's Day). Surat bertanggal 10 Februari 2017 itu ditujukan kepada seluruh SMP negeri dan swasta serta Kepala UPTD Pendidikan Kecamatan se-Kota Semarang.
Dalam surat tersebut dijelaskan, larangan perayaan itu karena Hari Kasih Sayang bertentangan dengan norma agama, sosial, dan budaya Indonesia. Surat yang ditandatangani Kepala Dinas Pendidikan Kota Semarang itu meminta agar pihak sekolah membuat surat edaran kepada orangtua/wali murid tentang larangan perayaan Valentine.
Advertisement
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi mengaku kaget dengan adanya surat edaran tersebut. Hendi mengaku tidak tahu adanya surat tersebut.
"Enggak ada koordinasi dengan saya tentang penerbitan surat tersebut. Tapi waktu saya cek, Pak Kadinas mengakui hal tersebut," kata Hendi kepada Liputan6.com, Minggu, 12 Februari 2017.
Hendi mengaku terkejut sebab selama ini Semarang dikenal sebagai kota paling toleran, terutama dalam kerukunan beragama. Tidak pernah ada kebijakan yang memancing sikap-sikap intoleransi dan menyuburkan sikap-sikap intoleransi.
Baca Juga
"Besok Senin (13/2/2017), Pak Kadinas akan saya panggil ke kantor, Mas," kata Hendi.
Budayawan Semarang Tubagus Svarajati menilai adanya surat edaran itu menyiratkan dua hal. Pertama, dalam sudut pandang ini, Valentine dianggap sebagai hantu yang bisa melumat karakter pelajar Indonesia.
"Tindakan yang mendidik bukanlah bentuk pelarangan. Seyogyanya tindakan yang dilakukan adalah dengan mendiskusikan sebagai bentuk meninggikan rasionalitas," kata Tubagus kepada Liputan6.com, Senin (13/2/2017).
Hal kedua, menurut Tubagus, larang-melarang dalam dunia pendidikan semakin membunuh daya kritis siswa. Sesungguhnya sikap kritis dan skeptis harus dibangun agar daya nalar pelajar Indonesia bisa lebih mumpuni.
"Pembelajaran yang benar tentang suatu fenomena bukan dengan cara otoriter, tapi membuka ruang kebebasan berdialog," kata Tubagus.
Hasil pendidikan dengan serba larang-melarang itu, ucap Tubagus, bisa dilihat saat ini, di mana para birokrat yang mengeluarkan kebijakan itu adalah hasil pendidikan dengan pola hapalan. Mereka tak pernah diajar diskusi, debat, atau mengungkapkan pemikiran selama bersekolah.
"Valentine Day yang dilarang dirayakan di Semarang menunjukkan kualitas birokratnya," kata Tubagus.
Pelajar Serukan Anti-Valentine
Puluhan pelajar dan mahasiswa yang tergabung dalam sebuah lembaga dakwah di Purwakarta menggelar aksi di jalan dengan membawa spanduk dan flyer untuk menyuarakan anti-Valentine's Day.
Penyampaian aspirasi itu dilakukan pada Minggu, 12 Februari 2017. Di tengah guyuran hujan, mereka bersemangat mengajak kaum remaja untuk tidak terjerumus pada budaya liberalisme.
Dalam orasinya, massa aksi menyampaikan kalau saat ini remaja di Indonesia sudah kehilangan identitas diri. Menurut mereka, hal itu karena gencarnya liberalisme dalam menyebarkan paham. Salah satunya termasuk merayakan hari Valentine.
Mereka berpendapat Hari Valentine yang berasal dari luar menjadi rusak dan berbahaya bagi remaja. Perayaan Valentine bukan dimaknai kasih sayang dalam arti luas, tetapi kerap kali malah membuat remaja kehilangan batas dalam merayakannya.
"Di sini, kita mengadakan kampanye edukasi selamatkan generasi dari budaya liberal, karena memang hari ini kondisi sedang dalam dirusak oleh budaya tersebut budaya liberal, terutama remaja Islam yang memang di Indonesia mayoritas Muslim," kata koordinator aksi Iskandar Saiful Badran.
Sementara terkait Valentine Day, Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat
sebelumnya telah mengeluarkan larangan merayakan Hari Kasih Sayang (Valentine's Day) tersebut melalui surat bernomor 430/7618-SET.DISDIK.
Di dalam surat tersebut terdapat tiga bunyi imbauan. Selain generasi muda atau pelajar dilarang merayakan Valentine Day, juga mengarah pada kepala sekolah dan guru untuk ikut mengawasi para pelajar agar tidak merayakannya.
Advertisement