Sukses

47 Orang Rimba Jambi Positif Campak, Setengahnya Masih di Hutan

Orang Rimba Jambi kurang terjangkau layanan imunisasi dasar, termasuk campak.

Liputan6.com, Jambi - Sebanyak 47 Orang Rimba Kelompok Terap di kawasan hutan Kabupaten Batanghari dan Kelompok Sepintun di Kabupaten Sarolangun, Jambi, positif terserang penyakit campak. Sebanyak 26 orang di antaranya masih dalam perawatan medis.

"Mereka tersebar di Rumah Sakit Haji Abdul Madjid Batoe Muarabulian sebanyak 17 pasien, di Rumah Sakit Chatib Quswain Sarolangun sebanyak delapan pasien dan di Rumah Sakit Raden Mattaher satu pasien," kata Fasilitator Kesehatan Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) WARSI, Rusli di Jambi, dilansir Antara, Jumat, 24 Februari 2017.

Rusli mengatakan Warsi terus mengupayakan pengobatan dengan mengevakuasi yang sakit ke rumah sakit untuk penanganan yang lebih lanjut. Sedangkan yang di dalam hutan, jika masih ada yang demam diupayakan pengobatan dulu.

"Jika tidak ada kemajuan kita upayakan untuk dibawa keluar menuju rumah sakit," kata dia.

Menurut dia, kondisi Orang Rimba saat ini cukup memprihatinkan sejak serangan wabah campak awal bulan ini. Kondisi cuaca yang kerap hujan, menyebabkan akses dan mobilitas Orang Rimba lumayan sulit untuk menuju ke rumah sakit.

"Campak merupakan penyakit yang menakutkan bagi Orang Rimba karena ini mewabah, bisa menular ke anggota kelompok dengan sangat cepat," kata dia menjelaskan.

Bahkan, lanjut Rusli, jika tidak ditangani dengan baik bisa berakibat kematian. Namun, kesadaran Orang Rimba untuk berobat medis sudah lumayan baik sehingga mau dibawa ke rumah sakit. Yang menjadi kendala adalah biaya hidup keluarga yang turut menunggu Orang Rimba selama dirawat.

"Kalau ada satu anggota keluarga yang sakit, biasanya akan ada 2-3 orang yang ikut. Jika dirawat selama satu minggu saja, butuh biaya yang sangat besar untuk mereka selama di luar," kata Rusli menjelaskan.

Sementara itu, Antropolog WARSI Robert Aritonang menyebutkan, Orang Rimba merupakan kelompok masyarakat yang paling rentan dengan segala perubahan lingkungan.

Dengan pola hidup semi nomadik dan kondisi cuaca serta sumber pasokan pangan yang tidak menentu, menyebabkan Orang Rimba sangat rawan terkena penyakit. Dengan pola hidup berkelompok, penularan penyakit juga berlangsung sangat cepat.

"Inilah yang menyebabkan Orang Rimba bisa sakit dalam jumlah banyak dan memerlukan bantuan medis dari kita semua," kata Robert.

Menyikapi kondisi ini, menurut Robert, yang paling mungkin dilakukan adalah memberikan layanan imunisasi ke seluruh kelompok Orang Rimba secara berkala. Ia berharap pemerintah mau turun tangan langsung mengambil sampel darah pada Orang Rimba untuk menentukan langkah-langkah penanganan yang tepat dan sesuai dengan Orang Rimba.

Selain itu, imunisasi dasar bisa langsung diberikan kepada Orang Rimba oleh puskesmas terdekat.

"Sebenarnya dengan kondisi sekarang yang semakin terbuka, akses pada Orang Rimba sudah semakin dekat. Yang paling jauh pun kelompoknya bisa di jangkau dengan berjalan kaki paling lama enam jam. Jika ada niat dan itikad baik dari semua pihak, kami yakin penanganan kepada Orang Rimba bisa dilakukan," ujar dia.