Sukses

Raja Jawa Beristri Banyak, Hanya soal Urusan Bercinta?

Seks dan kekuasaan sama penting, bak dua sisi mata uang bagi seorang raja Jawa.

Liputan6.com, Jakarta - Seks dan kekuasaan raja-raja Jawa tak bisa dilepaskan satu sama lain. Seks dan kekuasaan sama penting, bak dua sisi mata uang bagi seorang laki-laki, apalagi bagi para raja.

"Raja-raja Jawa yang memiliki uang, harta dan kekuasaan politik tentunya di dalam catatan sejarah membuktikan banyak memiliki wanita dan istri," ucap Dosen Sejarah dan Kebudayaan Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB UI), Prapto Yuwono kepada Liputan6.com, Kamis, 2 Maret 2017.

Banyaknya istri atau selir bisa karena disebabkan uang dan harta sang raja Jawa, atau bisa juga karena kekuasaan politik raja. Maksudnya, wanita-wanita itu sebagai 'upeti' sasrahan dari kerajaan lain yang dikalahkan dalam perang maupun dalam rangka memperkokoh hubungan politik persaudaraan.

Prapto menerangkan, dalam tata ruang keraton/kerajaan di Jawa pun selalu ada ruang-ruang atau kamar khusus untuk para selir hingga 'garwa-padminya' raja. Bahkan, kata Prapto, tercipta sebuah aturan 'protokoler' untuk hubungan seks raja dan para selirnya secara bergantian. Aturan itu diatur langsung oleh Ibu Suri raja.

"Dengan kata lain sebetulnya seks sangat penting bagi raja Jawa dengan para istrinya, karena keturunan raja sangat berharga sebagai 'trahing kusuma rembesing madu'," ucap dia.

Dosen bergelar Magister Humaniora ini menambahkan, pentingnya seks demi keturunan raja karena turunan raja dalah darah terpilih dan pastinya punya masa depan yang baik dan lebih 'mulia' dibanding dengan turunan rakyat biasa. Bahwa bagi seorang raja Jawa makna banyak anak akan dapat menjamin kelangsungan dinastinya, apalagi terutama banyak anak laki-laki.

"Kalau bagi para kawula (rakyat biasa) banyak anak, banyak rezeki, merupakan ungkapan filosofi yang sudah sangat lazim dipercaya dan dilaksanakan oleh masyarakat Jawa dalam kehidupan ini," ucap pria berkacamata itu.

2 dari 2 halaman

Seks Bagai Seni bagi Raja

Prapto lebih jauh menggambarkan, seks bagi raja-raja Jawa bisa dianggap sebagai 'klangen' atau pengalaman bercinta yang bagai seni. Hal itu terbukti dengan banyaknya catatan dalam naskah primbon yang menginformasikan bagaimana kaum wanita menjadi obyek analisa penikmatan seksual.

Para raja menikmati dengan cara mengamati ciri-ciri perilaku atau tanda-tanda di tubuh wanita (candraning wanita). Yang dilihat misalnya rambut, mata, hidung, leher, payudara, bentuk tubuh, kaki, bahkan cara berjalan dan gaya bicara.

Dengan ciri-ciri dan tanda-tanda itu, raja-raja Jawa mengindikasikan dan memprediksikan bagaimana nikmatnya berhubungan seks dengan para wanita yang memiliki ciri-ciri tubuh seperti itu.

"Uraian buku primbon tentang candraning wanita ini bisa jadi adalah catatan tentang 'pengalaman seni bercinta' dari para raja Jawa dengan berbagai wanita secara pribadi, yang kemudian dituliskan kembali oleh para pujangga kerajaan," ucap dia.

Selain itu, lanjut Prapto, di dalam buku Primbon juga tercatat cara-cara ritual khusus sebelum berhubungan seks. Bahkan dengan berbagai jenis dan komposisi ramuan herbalnya, raja mempersiapkan diri untuk berhubungan seks. Buku itu memang diperuntukkan bagi siapa pun, terutama untuk pembaca laki-laki yang ingin merasa nyaman dan kuat serta 'pener' dalam hubungan seksual.

"Bahkan panduan memilih waktu, tempat dan kesiapan mental serta bacaan rapal dan mantranya sebagai persiapan untuk melakukan hubungan seksual juga disampaikan," ucap Prapto.

Hal itu dikarenakan mereka lebih memandang persoalan seksual sebagai persoalan religius. Karena tujuan hubungan seksual secara spiritual sesungguhnya adalah untuk mendapatkan calon keturunan yang baik dan niatnya diridai Tuhan Yang Maha Esa.

Semua raja Jawa, terutama sebelum terpengaruh dengan konsep dan filosofi kehidupan dunia modern, pasti memiliki istri banyak. Raja Kertanegara yang konon sering melakukan ritual pesta arak sebelum berhubungan seks dalam pandangan dunia modern sekarang ini bisa dianggap melakukan penyimpangan seksual.

"Tapi kalau kita amati dari sudut pandang agama yang dianutnya pada saat itu yaitu Hindu-Tantris, hal itu dianggap sebagai cara ritualnya yang dibenarkan oleh agamanya," ucap Prapto.

Video Terkini