Liputan6.com, Brebes - Gara-gara berita bohong atau hoax yang beredar di media sosial (medsos) nasib para orang gila di jalan-jalan yang berada di wilayah Pantai Utara (Pantura) terancam keselamatannya. Terutama mereka yang berada di sepanjang Pantura Barat mulai dari Cirebon (Jawa Barat), Brebes, Tegal, Slawi hingga Pemalang (Jawa Tengah).
hal itu menyusul informasi hoax dan meresahkan yang heboh di medsos seperti Facebook dan Twitter menuduh mereka melakukan penculikan anak dengan modus berpura-pura gila. Kabar itu menyebar liar dan semakin tak terbendung. Padahal, pihak kepolisan hingga kini belum menerima laporan resmi adanya kasus penculikan anak oleh orang atau gelandangan yang berpura-pura gila dimaksud.
Hingga Sabtu (4/3/2017) ini sedikitnya 10 orang gelandangan gila ataupun pengemis di jalan-jalan di Pantura Barat yang didominasi wanita paruh baya menjadi tertuduh karena jadi korban hoax. Kini nyawa mereka terancam karena buntut aksi anarkis atau main hakim sendiri.
Baca Juga
Meskipun keberadaanya tak diharapkan, seyogianya masyarakat menyikapi informasi melalui medsos lebih arif dan bijak. Tidak langsung menuduh ataupun menghakimi sesama warga negara, apalagi kalau belum memiliki bukti kuat melakukan suatu tindak pidana.
Tak dipungkiri jika keberadaan orang gelandangan orang gila dan pengemis selalu ada dan sulit untuk dihilangkan. Selain masalah ekonomi, juga terkait kesadaran pemerintah menangani mereka yang sebenarnya membutuhkan uluran tangan dan bantuan.
"Penampilan gelandangan dan orang gila sungguh sangat mengenaskan karena mereka benar-benar orang-orang terbuang dan tak terurus. Jadi kalau informasi hoax di medsos yang merebak seperti sekarang ini harus segera dihentikan. Kasihan mereka sudah terbuang jangan sampai disakiti karena mereka juga manusia," ucap Pemerhati Masalah Sosial Brebes, Otong Susilo, Sabtu (4/3/2017).
Pada kenyataanya, di lingkungan masing-masing memang mudah ditemukan keberadaan orang gila di jalan-jalan. Bahkan seringkali terlihat para gelandangan dan orang gila sedang mengais-ngais makanan di tempat sampah.
Di sisi lain, perlakuan masyarakat kepada orang gila ini harus berkeadilan dan tak menambah beban mereka yang hidupnya miskin, susah, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Selama ini, kata dia, dirinya sering kali mendapat informasi dari media cetak maupun elektronik berita tentang pembuangan orang gila dari suatu daerah ke daerah lain. Mereka diangkut oleh sebuah mobil atau truk dan pada malam harinya dibuang begitu saja.
Mereka dibuang di daerah lain karena cara ini dianggap sebagai cara yang mudah dan praktis dalam menangani permasalahan penanganan atau pengurangan orang gila di suatu daerah melalui cara yang tidak manusiawi.
"Sungguh sangat miris mendengar berita itu, padahal orang gila juga manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang harus dilindungi dan merupakan kewajiban negara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi yang harus dipatuhi," ucap Otong menambahkan.
Ia menyebut, perlakuan masyarakat Pantura yang belakangan main hakim sendiri kepada orang gila karena kabar mereka jadi pelaku penculikan anak harus dihentikan. Sebab sekali lagi kabar itu belum tervalidasi keberannya dan mereka yang ditangkap serta dihakimi juga belum terbukti menjadi pelaku penculikan anak.
"Jujur saja dalam hatiku menangis melihat kondisi mereka karena hampir tidak ada yang menangani mereka secara serius. Apalagi sampai menuduh tanpa dasar mereka melakukan penculikan anak. Dan pihak kepolisian juga belum menerima ada laporan kasus itu. Ini namanya tidak adil," kata Otong.
Para Orang Gila Tidak Berbahaya
Dari monitoring di lapangan, saat berinteraksi dengan para orang gila ataupun pengemis jalanan, ketika diberi makanan, mereka tidak menunjukan perilaku kasar atau tanda-tanda mengamuk, atau prilaku membahayakan lain seperti yang dibayangkan oleh sebagian orang.
Beberapa kisah menyentuh hati justru didapatkan dari mereka para orang gila yang menggelandangan itu saat terpantau di lapangan. Misalnya seorang perempuan kumal dan kotor, berambut acak-acakan sedang duduk membawa tas kresek yang di dalamnya berisi daun-daun dan sampah-sampah sedang duduk termenung dan sesekali tertawa sendiri di dekat tempat sampah di jalan.
Perempuan paruh baya itu memegang perutnya seperti merasakan perihnya lambung karena mungkin kelaparan. Beruntung tak lama berselang, ada orang yang menghampirinya memberikan makanan dan minuman sekedarnya.
Suatu hal yang tak pernah diduga sebelumnya terjadi, ternyata di balik badannya yang sangat kotor dan kumal, baju yang sudah tidak layak serta rambut gimbal yang acak-acakan, perempuan itu masih bisa tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Di lain tempat, siang itu ada seorang perempuan tua bertumbuh pendek dan membawa tongkat sedang jalan kaki menyusuri jalanan. Saat itu, ia sedang mondar-mandir di suatu jalan dan sesekali dia duduk lalu berdiri dan berjalan kembali mondar-mandir.
Ternyata setelah diperhatikan, perempuan tua pendek itu sedang mondar-mandir di depan rumah yang sedang diadakan suatu acara entah acara arisan, atau acara lainnya. Kendati demikian, oleh lingkungan sekitar tidak ada yang peduli kepada perempuan tua pendek tersebut. Wajahnya kuyu dan memelas.
Menurut aktivis sosial Brebes, Eko, para orang gila jauh lebih mulia sebagai manusia karena tak pernah menuntut apapun baik kepada manusia maupun kepada Tuhan. Bandingkan dengan manusia lain yang sehat akalnya yang sering menuntut.
"Mereka memang mahkluk mulia, karena kalau kita melihat kondisi mereka secara fisik sungguh sangat memprihatinkan karena mereka memang tidak sehat. bayangkan saja mereka makan apapun yang bisa dimakan, mereka tidur di manapun tempat yang bisa untuk tidur, mereka benar-benar tak terurus dan sakit secara fisik dan mental," ucap Eko.
Hebatnya, kata dia, mereka orang gila tak pernah mengeluhkan rasa sakitnya kepada siapapun. Karena itu, dia berharap, dengan ketulusanhati masyarakat di sepanjang Pantura ini, hentikan rasa tak peduli, bahkan rasa curiga yang bisa berujung pada terancamnya keselamatan mereka.
"Makanya dengan ketulusan hati kepada masyarakat Pantura khususnya janganlah menindas mereka dengan menghakimi seperti itu. Perlakukanlah mereka secara manusiawi," ujarnya.
Dia juga meminta agar pemda setempat turut turun tangan membantu mereka secara manusiawi. Apalagi mereka masuk dalam kategori wajib dipelihara negara sebagaimana amanat konstitusi Pasal 34 UUD 1945.
'Pemerintah yang sejatinya mempunyai kewenangan dan kekuasaan, tolonglah mereka secara manusiawi hingga tuntas karena bagaimanapun juga mereka juga bagian dari rakyat, bagian dari orang-orang terlantar, bagian dari fakir miskin yang dalam konstitusi tertinggi kita wajib dipelihara oleh negara, diberi jaminan sosial serta disediakan pelayanan kesehatan," dia menambahkan.
Berdasarkan penelusuran Liputan6.com, informasi hoax yang menyebar di medsos itu sudah mulai dari Pantura Barat daerah Cirebon sampai ke Pemalang. Rata-rata informasi itu dibagikan ke dalam grup-grup facebook publik komunitas warga masing-masing.
Dalam postingan di grup itu, dibagikan sebuah foto sejumlah wanita paruh baya gelandangan yang disebut-sebut melakukan penculikan anak dengan modus pura-pura gila. Kabar penculikan anak dilakukan oleh orang gila itu seolah-olah benar dan terjadi, meski faktanya belum ditemukan bukti sangat kuat penculikan anak itu dilakukan oleh orang gila..
Informasi hoax itu pun menimbulkan kegaduhan di masyarakat hingga perlakuan tidak manusiawi dan fitnah kejam kepada para orang gila yang sempat diamankan warga dan diserahkan ke polisi.
Advertisement