Liputan6.com, Yogyakarta - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki sejarah panjang. Sri Sultan Hamengku Buwono 1 menjadi tonggak lahirnya kerajaan baru di tanah Mataram. Perjuangan dan kemampuan berperang Sultan HB 1 diakui VOC sebagai penjajah saat itu.
Penghageng Tepas Dwarapura (Humas) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Jatiningrat mengatakan kemampuan individu dalam berperang maupun mengatur stratetgi HB 1 menggentarkan Belanda saat itu.
Romo Tirun, panggilan KRT Jatinginrat, mengatakan sikap ksatria itu muncul dari olah jiwa dan raga yang biasa dilakukan Raden Mas Sujana, nama kecil HB 1. Salah satunya adalah olahraga memanah, atau dikenal dengan jemparingan.
"Sehingga, belajar gladi memanah menjadi kegiatan yang selalu diajarkan kepada generasi penerusnya. Misal HB 1 itu, pertempurannya sudah lama, sejak 1746. Beliau sudah punya pasukan sampai mendapat separuh dari Kerajaan Mataram di mana beliau menjadi raja di dalamnya," ujar Romo Tirun kepada Liputan6.com, Sabtu, 4 Maret 2017.
Romo Tirun mengatakan selain memanah, Sultan HB 1 juga gemar berolahraga menyelam di Sungai Bengawan Solo. Hal itu dilakukan sejak ia masih muda untuk mengolah ketahanan tubuhnya.
Ia mengisahkan di sela meditasi, Sultan HB 1 sengaja melemparkan cincin berliannya ke tengah sungai. Lalu, ia menyelam untuk mengambil cincin tersebut yang dilakukannya berkali-kali.
Baca Juga
Advertisement
"Saat meditasi di bawah pohon pamrih di Desa Mbeton, Surakarta. Pohon pamrih itu letaknya di sebelah barat Sungai Bengawan Solo. Di depannya persis itu Sungai Bengawan Solo," ujar Romo Tirun.
Tidak hanya menyelam dan berenang yang digeluti Sultan HB 1 saat itu. Ia juga menggeluti keterampilan berkuda. Saat itu, berkuda menjadi sarana untuk berperang melawan musuh dan penjajah.
"Nampaknya, latihan olahraga yang dikembangkan HB 1 itu sebetulnya sesuai ajaran Islam. Sunah rasul," kata dia.
Menurut dia, setiap sultan di Keraton Yogyakarta memiliki jiwa ksatria. Terlebih setiap sultan secara spiritual juga punya kelebihan sikap ksatria.
Watak ksatria yang dimiliki Sultan adalah nyawiji, greget, sengguh ora mingkuh. Nyawiji berarti konsentrasi, greget berarti semangat, sengguh itu jati diri, dan ora mingkuh itu berarti tidak melepas tanggung jawab. Artinya, apa yang dilakukan dan diputuskan itu adalah tanggung jawabnya.
"Konsentrasi itu nomor satu. Nyawiji atau sawiji itu menyatu. Menyatunya itu hablum minallah hablum minannas itu seperti lambang ini golong gilig Tugu Yogya. Nyawiji itu tidak boleh leda lede (tidak tegas). Itu bulat penuh tanpa sudut. Itu hubungan dengan Tuhan itu," ujar Romo Tirun.