Liputan6.com, Yogyakarta - Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta memiliki falsafah tinggi dalam setiap kegiatan yang dilakukan. Seperti halnya memanah yang menjadi kegiatan Sri Sultan Hamengku Buwono I sejak muda.
Tidak hanya itu, Sultan HB I juga menjadikan memanah sebagai pertahanan diri, menyerang musuh, bahkan menjadi pembinaan jiwa.
Penghageng Tepas Dwarapura (Humas) Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Jatiningrat mengatakan, memanah merupakan salah satu kegiatan kesatrian di keraton. Adapun memanah itu dari kata "Manah" atau hati.
Advertisement
Jadi, jemparingan gagrak atau corak/gaya Ngayogyakarto Hadiningrat itu sudah dimuati falsafah. Yakni, memanah ini musuhnya adalah diri sendiri, bukan orang lain. Hal ini seiring dengan falsafah Pamenthanging Gandewo Pamenthanging Cipto.
Baca Juga
KRT Jatiningrat yang kerap disapa Romo Tirun menjelaskan, pada waktu mantheng gandewo atau menarik busur, harus dengan mantheng cipto nyet atau merasakan hati. Selanjutnya, tertuju pada satu sasaran dan mengincarnya.
"Tapi tidak dengan mata, (melainkan) dengan mata hati fokus pada sasaran tertentu," ucap KRT Jatiningrat, pekan terakhir Februari lalu.
Romo Tirun menegaskan pada jemparingan itu yang membedakan adalah cara memanahnya. Pertama, pemanah harus duduk bersila dan menggunakan pakaian tradisi.
Saat memanah, posisi busur derajat dengan dada. Sementara, pemanah biasanya mengarahkan busurnya sejajar dengan mata.
"Makanya gandewo itu tidak begini (membidik sejajar dengan mata) tapi begini (mengarahkan busur di dekat ulu hati). karena ini prakiraan saja, oh sasarannya begini saja. Kan ini hati yang melihat buka mata," ujar dia.
Dia menuturkan, jemparingan di Keraton Yogyakarta sudah ada sejak Sultan HB I yang memulai pertempurannya pada 1746. Dalam jemparingan sasarannya wong-wongan, yaitu seperti samsak yang digantung di tali. Menyerupai orang lengkap dengan kepala, leher dan badan.
Berbeda dengan sasaran umumnya memanah yang berupa bulatan-bulatan. Jika mengenai kepala maka nilainya tiga, leher dua dan badan satu. Di bawah badan ada yang disebut nol, jika mengenai nol ini justru dikurangi nilainya satu.
"Saya tidak menemukan ajaran Nabi. Tapi, panah yang diperdalam sampai ke sini itu ya dari HB I. Makanya, saya coba untuk tetap lestarikan ini," kata juru bicara Keraton Yogyakarta tersebut.
Tata Cara Jemparingan
Menurut dia, sebelum jemparingan cukup populer di Keraton Yogya, memanah sempat berubah tata caranya. Adalah Sri Pakualam VIII yang mengubahnya seperti umum dilombakan oleh Perpani (Persatuan Panahan Indonesia), yaitu dengan berdiri dan sasaran menggunakan bulatan.
Namun kemudian, kelompok Mardisoro atau para pegiat panahan di Paku Alaman, jemparingan dikembalikan menjadi posisi duduk bersila. Ditambah kelompok Gandewo Mataram ikut mengembalikan ke falsafah seperti semula.
"Kenapa duduk, jadi ukuran di kraton itu duduk lesehan itu sebagai tata krama. Maka abdi dalem harus bisa laku dodok, lampah pocong, dadap, dan lampah limprah, artinya berjalan biasa," ia membeberkan.
"Itu latihan. Mulai duduk, lampah pocong itu berjalan dengan pantat, dan lampah dodok berjalan dengan men-dodok, itu berhubungan dengan tata krama," Romo Tirun menambahkan.
Ia juga berpesan kepada pelaku jemparingan untuk mengerti falsafah yang diajarkan oleh Sultan HB I, yaitu Pamenthanging Gandewo Pamenthanging Cipto.
Dengan demikian, menurut dia, konteks lomba jemparingan juga tidak pas. Apalagi, saat ini hampir setiap lomba menjad ajang judi. Ini jelas bertentangan dengan nilai falsafah jemparingan.
Karena lawannya adalah dirinya sendiri bagaimana ia mampu mengarahkan langsung ke sasarannya dengan hatinya. Dengan begitu akan timbul sifat kesatria, yaitu titis.
"Sekarang apa falsafah Pamethanging Gandewo Pamenthanging Cipto dalam upaya menjadi titis itu pada waktu melaksanakan salat, waktu melantunkan takbiratul ihram," sebut dia.
Ia menjelaskan pula, hati ditujukan pula pada sesuatu yang tidak dilihat dengan mata, tapi diyakini ada, yakni Tuhan. "Kita ke sana tujuannya, supaya Allah tahu dan mungkin minta sesuatu."
Hal utama saat jemparingan adalah fokus atau konsentrasi. Menurut Romo Tirun, hal ini sesuai dengan sikap atau watak seorang kesatria. Di mana watak seorang ksatria itu adalah Nyawiji atau konsentrasi.
Greget itu semangat, Senggigi itu jati diri dan Orang Mingkuh itu tidak melepaskan tanggung jawab, sehingga hal pertama adalah Nyawiji.
"Nyawiji atau sawiji itu menyatu. Menyatunya itu hablum minallah, hablum minannas itu lambang dari golong gilig. Nyawiji itu tidak boleh leda-lede. itu bulat penuh tanpa sudut. Hubungan dengan Tuhan itu, kalau sudah salat ya enggak keingat lainnya, tapi yakin pada Yang Maha Pencipta," ujar Juru Bicara Keraton Yogyakarta tersebut.
Advertisement
Pendiri Keraton Yogyakarta
Pena sejarah mencatat, Sri Sultan HB I lahir di Kartasura, Jawa Tengah pada 6 Agustus 1717. Ia merupakan pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Ngayogyakarta Hadinigrat yang memerintah tahun 1755-1792.
Ia bernama asli Raden Mas Sujana yang setelah dewasa bergelar Pangeran Mangkubumi. Ia merupakan putra Amangkurat IV, raja Kasunanan Kartasura yang lahir dari selir bernama Mas Ayu Tejawati.
Adapun perang antara Mangkubumi melawan Pakubuwana II yang didukung VOC disebut para sejarawan sebagai Perang Suksesi Jawa III. Pada tahun 1747 diperkirakan kekuatan Mangkubumi mencapai 13.000 prajurit.
Singkat cerita, sejak Perjanjian Giyanti wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua. Pakubuwana III tetap menjadi raja di Surakarta, Mangkubumi dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I menjadi raja di Yogyakarta.
Pada April 1755, Sultan HB I memutuskan membuka Hutan Pabringan sebagai ibu kota kerajaan yang menjadi bagian kekuasaannya. Sebelumnya di hutan tersebut pernah terdapat pesanggrahan bernama Ngayogya sebagai tempat peristirahatan saat mengantar jenazah dari Surakarta menuju Imogiri. Lantaran itulah, ibu kota baru dari kerajaan yang menjadi bagiannya tersebut pun diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat atau disingkat Yogyakarta.
Sejak 7 Oktober 1756, Sri Sultan HB I pindah dari Kebanaran menuju Yogyakarta. Selanjutnya, nama Yogyakarta sebagai ibu kota kerajaan menjadi lebih populer. Kerajaan yang dipimpin oleh HB I kemudian lebih terkenal dengan nama Kesultanan Yogyakarta.
Boleh dibilang, Sultan HB I adalah peletak dasar-dasar Kesultanan Yogyakarta. Ia dianggap sebagai raja terbesar dari keluarga Mataram sejak Sultan Agung. Kala itu Yogyakarta memang negeri baru, namun kebesarannya berhasil mengungguli Surakarta. Angkatan perangnya bahkan lebih besar daripada jumlah tentara Kongsi Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) di Jawa.
Sultan HB I meninggal dunia di Yogyakarta, 24 Maret 1792, pada umur 74 tahun. Tiga abad kemudian, pemerintah Republik Indonesia mengangkat pendiri Keraton Yogyakarta itu sebagai Pahlawan Nasional, tepatnya pada 10 November 2006.