Liputan6.com, Jakarta - Baru-baru ini Yogyakarta mengajukan diri sebagai city of philosophy kepada UNESCO. Bukan tanpa alasan, kota budaya itu memiliki modal tiga sumbu dalam bentang imajiner yang merupakan buah perenungan Sultan HB I, raja pertama Keraton Yogyakarta.
Ketiga sumbu itu terdiri dari Keraton Yogyakarta, Tugu Yogyakarta, dan Panggung Krapyak. Jika diperhatikan, ketiga bangunan itu berada sejajar antara Gunung Merapi di bagian utara dan Pantai Parangtritis di bagian selatan.
Staf bidang promosi dan event Badan Promosi Pariwisata Kota Yogyakarta (BP2KY) Parwono, ditemui di sela-sela Jogja Day, menerangkan, di antara ketiga bangunan itu terdapat beberapa bangunan yang menyimbolkan tahapan hidup manusia.
Titik kehidupan pertama dimulai dari Panggung Krapyak. Menurut Wowon, sapaan akrabnya, bangunan kandang menjangan itu merupakan gambaran tempat asal roh.
Di sebelah utara bangunan itu, berada Kampung Mijen yang berasal dari kata wiji (benih). Di kanan kirinya berdiri pohon asem dan tanjung yang menggambarkan kehidupan anak yang masih lurus.
Dari Panggung Krapyak, perjalanan sumbu menuju Plengkung Nirbaya yang menggambarkan perubahan dari masa kanak-kanak menuju remaja. Hal itu ditandai oleh keberadaan pohon asem.
Warna daun muda pohon asem yang kuning mampu menarik perhatian. Hal itu serupa jiwa muda manusia di masa remaja.
Baca Juga
Advertisement
Simbol kehidupan selanjutnya ditandai dengan dua pohon beringin yang berada di tengah alun-alun selatan. Wowon menuturkan, dua pohon beringin itu menggambarkan bagian tubuh yang paling tersembunyi. Maka itu, pohon tersebut dipagari.
Jumlah dua menunjukkan laki-laki, sementara nama sepasang beringin -Supiturang- menggambarkan perempuan. Kemudian, di sekitar alun-alun ditanami pohon kweni dan pakel yang berarti anak sudah berani.
"Itu yang menggambarkan masa akil balig," ujar dia kepada Liputan6.com, Selasa, 28 Februari 2017.
Setelah memasuki masa akil balig, manusia kemudian memasuki masa pernikahan. Tahap kehidupan itu dilambangkan dengan Sitihinggil yang berarti tangga yang ditinggikan.
Di lokasi itu terdapat sebuah tempat beristirahat beratap anyaman bambu, tetapi bangunan itu juga dinilai berfungsi sebagai penjagaan abdi dalem Gandheg.
"Selanjutnya adalah bangsal kemandungan. Itu menggambarkan proses kehamilan seorang perempuan," kata dia.
Setelah perempuan itu melahirkan bayi, ia memasuki tahap pembelajaran. Hal itu disimbolkan dengan adanya Bangsal Kemagangan.
"Artinya, manusia ini akan magang (belajar) untuk menjadi manusia dalam arti sesunguhnya," ujar dia.
Proses magang itu dimulai dari mendekatkan diri dengan Sang Pencipta. Hal itu digambarkan dengan keberadaan Bangsal Mangun Tur Tangkil, sebuah bangsal yang terletak di tratag Sitihinggil.
Godaan Manusia
Di belakang bangsal terdapat sebuah bangsal lagi yang disebut Bangsal Witono, yang mengandung arti wiwit ono (mulailah), merupakan awal kegiatan spiritual manusia mendekatkan diri dengan Tuhan.
"Masuklah kita ke Bangsal Kencono yang berada di lingkungan keraton. Dengan menapaki tangga dan posisi lebih tinggi, hal itu menggambarkan kemampuan kita untuk membedakan mana baik dan buruk," kata dia.
Di seberang keraton terdapat alun-alun utara. Keberadaan alun-alun itu untuk menggambarkan hubungan antara manusia dan Tuhan dan hubungan manusia dengan manusia lainnya. Dalam ajaran Islam disebut hablumminnallah dan hablumminannas.
"Di bagian kanan dan kiri itu terdapat simpang empat yang dikenal dengan konsep catur gatra tunggal, yang menunjukkan situasi yang dihadapi manusia. Apakah dia akan memilih jalan lurus atau jatuh dalam godaan," tutur Wowon.
Godaan pertama itu disimbolkan dengan keberadaan Pasar Beringharjo. Kesibukan dan potensi keuntungan yang besar menggambarkan godaan besar manusia dari barang-barang dan makanan mewah.
Sedangkan, godaan kedua disimbolkan dengan Kepatihan. Bangunan itu menggambarkan kekuasaan yang bisa meningkatkan derajat manusia, tetapi bisa juga menjatuhkan harga diri.
"Kekuasaan itu bisa diperoleh dengan cara tak jujur seperti menjilat dan sebagainya, tetapi bisa pula diraih dengan menunjukkan prestasi. Nah, cara terbaik tentu dengan prestasi," kata Wowon.
Terakhir, sampailah kita di tugu yang ujungnya runcing. Tugu itu menyimbolkan bahwa semua manusia menuju Yang Maha Esa. "Semua manusia bertanggung jawab kepada Tuhan," kata Wowon.
Advertisement