Liputan6.com, Jakarta - Media sosial (medsos) saat ini tak dipungkiri menjadi salah satu wadah penampungan arus informasi di era modern. Seiring berjalannya waktu, seiring pula informasi itu kian tak terbendung menjamur di medsos. Banyak manusia-manusia saat ini pun menjadikan medsos sebagai sumber lahapan informasi.
Sayangnya, di era medsos ini, banyak orang yang menelan bulat-bulat informasi yang didapat. Padahal, belum tentu informasi yang beredar dan menjadi viral bisa dikategorikan sebagai fakta.
Advertisement
Baca Juga
Orang-orang pun seperti malas menelusuri jejak-jejak informasi yang diterima. Atau minimal, mereka seharusnya mengetahui lebih dulu latar informasi yang disampaikan tanpa perlu termakan oleh judul informasi dimaksud.
Sudah banyak pula dalam beberapa tahun terakhir sebuah kabar dari medsos menjadi ramai diperbincangkan. Terus diperbincangkan, kabar itu pun menjadi viral. Misalnya saja baru-baru ini video seorang nenek yang dipaksa mengemis oleh 'cucunya'. Video itu sudah disaksikan ratusan ribu kali dan menjadi viral.
Video viral nenek dipaksa mengemis itu berujung positif. Namun, viralnya sebuah informasi di medsos tak melulu berujung positif. Banyak malah berakhir dengan negatif. Misalnya gara-gara kabar bohong atau hoax yang ramai jadi perdebatan berbuntut pada tawuran yang melibatkan empat desa di Indramayu, Jawa Barat.
Berikut catatan lengkap yang dirangkum Liputan6.com terkait plus minus viralnya informasi di medsos.
Nenek Dipaksa 'Cucu' Mengemis
Kota Semarang menjadi sorotan para netizen. Diawali adanya unggahan empat buah video tentang nenek pengemis di media sosial Facebook, Instagram, dan media sosial lain.
Video itu meski direkam dengan kamera ponsel dan tak bisa merekam suara, namun bisa bercerita adanya seorang nenek renta yang dipaksa mengemis di lampu merah RSUP Kariadi Semarang. Awalnya video itu diunggah akun instagram IG @lambe_turah, akhirnya video ini menjadi viral.
Dalam video itu, akun pengunggah juga menandai Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. Selain itu ada pula tembusan kepada Dinas Sosial Jawa Tengah dan humas Polrestabes Semarang serta Polda Jateng.
Dalam keterangannya, dituliskan bahwa nenek tersebut dipaksa mengemis oleh cucunya.
Unggahan tersebut langsung menjadi viral. Saat berita ini ditulis, empat video itu sudah ditonton lebih dari 500 ribu kali. Pada salah satu video, terlihat si nenek dengan pakaian kumal tengah bersiap untuk mengemis.
Sedangkan cucunya, tampak mengenakan pakaian rapi dan bagus. Nenek pun berjalan melangkah berat ditemani sebuah tongkat yang membantu seimbangkan badannya yang sudah tua.
Melihat unggahan video ini, terlihat bahwa video ini direkam dalam hari yang berbeda atau waktu yang berbeda. Mulai dari persiapan si nenek mengemis, dan ada pula video yang menunjukkan nenek itu istirahat. Sang cucu berjongkok dan mengelap keringat si nenek pengemis dengan kasar.
Bahkan dalam satu adegan, si cucu itu melempar kain lap ke kepala si nenek. Usai itu sang cucu yang jongkok mengenakan topi, kemudian menghitung uang hasil ngemis dari kantong plastik berwarna biru, sembari diselingi ngobrol-ngobrol meski tidak terdengar.
Ribuan netizen spontan mengutuk aksi laknat cucu terhadap nenek ini.
Identitas nenek dan sang cucu itu pun terungkap. Nama nenek pengemis itu Supini. Usianya sudah 93 tahun. Ia berasal dari kaki Gunung Andong, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Dalam tiga hari terakhir, nama nenek Supini melambung karena menjadi korban eksploitasi.
Sementara 'cucunya' bernama Suwarno, warga Sragen yang memaksa Mbah Supini menjadi pengemis di Kota Semarang.
Kejadian itu menjadi perhatian tersendiri Wakil Wali Kota Semarang, Hevearita G Rahayu. Dari Waki Wali Kota yang karib disapa Ita itu, Nenek Supini mendapat tongkat alumunium untuk menggantikan batang bambu yang ia jadikan sebagai tongkat pembantu jalan.
Meski ditawari Ita untuk masuk ke Panti Jompo, namun Nenek Supini menolak dan memilih pulang ke Grabag. Namun, Ita belum mau memenuhi keinginan si mbah. Dia meminta anak buahnya menelusuri keluarga Nenek Supini di Grabak.
"Saya sudah menugasi beberapa staf dan juga Dinas Sosial untuk menelusuri keberadaan keluarganya. Jangan sampai kita turuti untuk memulangkan ke Grabag, ternyata di sana enggak ada family maupun tempat tinggal. Sama saja hanya memindahkan masalah," kata Ita.
Advertisement
Bocah Penghadang Puluhan Motor di Trotoar
Seorang bocah SD berumur 9 tahun melakukan aksi heroik. Ia menghentikan paksa seorang pengendara sepeda motor yang nekad berjalan di trotoar. Bocah SD itu menghalanginya dengan cara melintangkan sepedanya di depan sepeda motor.
Aksi heroik itu sempat difoto dan diunggah melalui akun Facebook Ronald Kusuma. Peristiwa heroik itu terjadi di sebuah trotoar Jalan Sudirman, Kalibanteng, Semarang, pada Jumat, 15 April 2016.
Saat mengunggah fotonya, Ronald Kusuma menuliskan status pujian.
"Ini keren banget anak kecil di Semarang, dia berantem sama pengendara sepeda motor yang naik ke trotoar saat terjadi kemacetan parah di Jalan Sudirman Kalibanteng SMG si anak tetap ga mau kasih jalan buat motor, dan akhirnya setelah ribut2 kecil si pengendara motor akhirnya mundur."
Dari foto inilah viral bermula. Berbagai komentar pujian mengalir. Seperti ditulis akun Hery Gunawan yang mencela kelakuan pengendara sepeda motor itu.
"Itu bukan biker. Kalo biker ada box nya. KLO ngga disampingnya ya di belakang. hahahahahaha," Hery Gunawan menulis di komentar.
Siapakah bocah itu? Ternyata ia seorang siswa di SD Kalibanteng Kidul 01 dan duduk di kelas 4A. Namanya Daffa Farros Oktoviarto (9). Ia bocah aktif yang sangat kritis. Sehari-hari ia tinggal di Gisikdrono, tepatnya di belokan Kalibanteng menuju Jalan Pamularsih dari Jalan Jenderal Sudirman.
Sehari-hari Daffa bermain-main di sekitar rumahnya. Anaknya terbuka dan dengan bangga ia menunjukkan sehelai kaus bermotif garis seperti pada foto yang tersebar.
"Saya pakai ini waktu itu," kata Daffa sambil menunjukkan kausnya.
Aksi heroik Daffa yang menghebohkan media sosial dan mendapat respons serta dukungan Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi ini ternyata bukan pertama kali. Ia mengaku sudah beberapa kali menghentikan para pelanggar jalur pejalan kaki. Hal itu dilakukan sejak awal tahun 2016 ini.
"Sudah beberapa kali (menghadang motor di trotoar). Mungkin sudah 40-an motor, lebih," kata Daffa.
Apa yang memantik Daffa berani menghentikan sepeda motor yang menginvasi ruang pejalan kaki?
Ada beberapa sebab. Salah satunya, ia pernah tertabrak motor yang ada melaju di trotoar sehingga muncul perasaan jengkel.
"Kan, memang motor lewat trotoar enggak boleh. Saya lihat (larangannya) di TV sama spanduk di jalan," kata Daffa.
Daffa memang hobi menonton televisi, termasuk tayangan berita, sehingga ia sangat kritis. Dengan pengertiannya itu, maka ia seorang diri nekat menegakkan hak pejalan kaki di trotoar. Biasanya Daffa beraksi pada jam sibuk, sekitar jam 15.00 ketika jalan di dekat rumahnya mulai ramai.
"Ya sekitar jam 15.00, kadang sampai sore sekali. Saya sendirian, kadang dibantu kakak, namanya Enrico," kata bocah kelahiran 24 Oktober 2007 itu.
Daffa mengaku tak pernah takut dengan orang dewasa yang melanggar aturan.
"Ya, kan bener, kan? Motor enggak boleh lewat trotoar, jadi enggak takut," kata Daffa.
Secara khusus Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi memberi tanggapan di akun Instagramnya.
"Joss" tulis Hendi.
Perang Mulut di Medsos Picu Tawuran 4 Desa
Jajaran Satuan Reskrim Polres Indramayu terus melakukan penyelidikan terkait pecahnya bentrokan antarwarga yang melibatkan empat desa di Indramayu, Jawa Barat, Selasa sore 10 Januari 2017. Polisi juga memburu para provokator 'perang' antarwarga yang diduga gara-gara 'perang mulut' di sosial media.
Kapolres Indramayu AKBP Eko Sulistyo Basuki menyebutkan, situasi saat ini sudah berangsur normal dan mulai kondusif. "Di lokasi juga telah ditempatkan sebanyak 700 personel gabungam dari Kodim Indramayu, Arhanud Kroya, serta Brimob Polda Jabar," ujar Eko, Rabu, 11 Januari 2017.
Selain melakukan penyelidikan di lokasi, Polres Indramayu juga akan mengidentifikasi pelaku pengerusakan rumah. Dari data yang dihimpun, akibat provokasi di sosial media berbuntut penyerangan ini, sedikitnya 120 rumah warga Blok Bojong, Desa Curug, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu rusak parah karena diamuk ribuan massa. Kerugian akibat kerusakan itu ditaksir mencapai miliaran rupiah.
Diduga, aksi pengerusakan itu dilakukan warga desa tetangganya di jalur utama Pantura yang merupakan gabungan Desa Bulak, Desa Parean Girang, dan Desa Peran Ilir Kecamatan Kandanghaur Kabupaten Indramayu. Insiden penyerbuan terjadi pada Selasa sore kemarin.
Ribuan warga dari tiga desa menyerang ratusan rumah warga Desa Curug dengan membawa berbagai macam senjata, dari barang tumpul sampai senjata tajam seperti golok, celurit, dan pisau.
Eko mengatakan, seluruh tokoh masyarakat desa yang berseteru sudah dipanggil ke kantor balai desa. Mereka diminta untuk menahan warganya untuk tidak lagi melakukan penyerbuan.
Eko menjelaskan, pihaknya masih terus melakukan penjagaan ketat, Polres Indramayu menyatakan akan bertindak tegas bila terjadi aksi serangan susulan oleh warga. Hingga saat ini, polisi masih berjaga-jaga di sepanjang perbatasan.
"Jika masih ada warga yang menyerang, kami akan bertindak tegas," tutur dia.
Dari hasil penyelidikan, insiden penyerangan ribuan warga itu dipicu percekcokan antarwarga di media sosial menyusul adanya kecelakaan tunggal di Bojong yang menewaskan seorang warga Parean. Entah siapa yang memulai, tiba-tiba beredar informasi yang keliru hingga terjadi debat dan cekcok antarwarga di media sosial.
"Dari provokasi itu, lalu muncul ketegangan hingga berujung penyerangan," tutur Eko.
Kepolisian kini tengah menelusuri penyebab pasti percekcokan antarwarga. Termasuk menelusuri siapa provokator di medsos yang memanaskan situasi hingga memicu tawuran antarwarga ini.
"Kami minta warga harus berhati-hati dengan medsos. Dampaknya bisa sangat serius. Kami akan telusuri siapa-siapa yang memprovokasi lewat sosmed dalam insiden penyerangan itu," ucap Eko.
Kendati situasi sudah terkendali, namun ratusan warga Bojong belum berani pulang ke rumahnya. Aparat gabungan polisi, TNI, dan Satpol PP berjaga-jaga sepanjang malam di hunian padat penduduk yang sudah ditinggal penghuninya tersebut.
"Kita akan kumpulkan lagi tokoh warga yang terlibat termasuk kuwu dan aparat desa. Kita ingin minta pertanggungjawaban yang sudah memprovokasi penyerangan ini lewat sosmed," kata Eko.
Advertisement
Hoax di Medsos Ancam Nyawa Para Orang Gila
Gara-gara berita bohong atau hoax yang beredar di media sosial (medsos) nasib para orang gila di jalan-jalan yang berada di wilayah Pantai Utara (Pantura) terancam keselamatannya. Terutama mereka yang berada di sepanjang Pantura Barat mulai dari Cirebon (Jawa Barat), Brebes, Tegal, Slawi hingga Pemalang (Jawa Tengah).
hal itu menyusul informasi hoax dan meresahkan yang heboh di medsos seperti Facebook dan Twitter menuduh mereka melakukan penculikan anak dengan modus berpura-pura gila.
Kabar itu menyebar liar dan semakin tak terbendung. Padahal, pihak kepolisan hingga kini belum menerima laporan resmi adanya kasus penculikan anak oleh orang atau gelandangan yang berpura-pura gila dimaksud.
Hingga Sabtu, 4 Maret 2017 ini sedikitnya 10 orang gelandangan gila ataupun pengemis di jalan-jalan di Pantura Barat yang didominasi wanita paruh baya menjadi tertuduh karena jadi korban hoax. Kini nyawa mereka terancam karena buntut aksi anarkis atau main hakim sendiri.
Meskipun keberadaanya tak diharapkan, seyogianya masyarakat menyikapi informasi melalui medsos lebih arif dan bijak. Tidak langsung menuduh ataupun menghakimi sesama warga negara, apalagi kalau belum memiliki bukti kuat melakukan suatu tindak pidana.
Tak dipungkiri jika keberadaan orang gelandangan orang gila dan pengemis selalu ada dan sulit untuk dihilangkan. Selain masalah ekonomi, juga terkait kesadaran pemerintah menangani mereka yang sebenarnya membutuhkan uluran tangan dan bantuan.
"Penampilan gelandangan dan orang gila sungguh sangat mengenaskan karena mereka benar-benar orang-orang terbuang dan tak terurus. Jadi kalau informasi hoax di medsos yang merebak seperti sekarang ini harus segera dihentikan. Kasihan mereka sudah terbuang jangan sampai disakiti karena mereka juga manusia," ucap Pemerhati Masalah Sosial Brebes, Otong Susilo, Sabtu, 4 Maret 2017.
Pada kenyataanya, di lingkungan masing-masing memang mudah ditemukan keberadaan orang gila di jalan-jalan. Bahkan seringkali terlihat para gelandangan dan orang gila sedang mengais-ngais makanan di tempat sampah.
Di sisi lain, perlakuan masyarakat kepada orang gila ini harus berkeadilan dan tak menambah beban mereka yang hidupnya miskin, susah, dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain.
Selama ini, kata dia, dirinya sering kali mendapat informasi dari media cetak maupun elektronik berita tentang pembuangan orang gila dari suatu daerah ke daerah lain. Mereka diangkut oleh sebuah mobil atau truk dan pada malam harinya dibuang begitu saja.
Mereka dibuang di daerah lain karena cara ini dianggap sebagai cara yang mudah dan praktis dalam menangani permasalahan penanganan atau pengurangan orang gila di suatu daerah melalui cara yang tidak manusiawi.
"Sungguh sangat miris mendengar berita itu, padahal orang gila juga manusia yang mempunyai hak-hak dasar yang harus dilindungi dan merupakan kewajiban negara sebagaimana diamanatkan dalam konstitusi sebagai hukum tertinggi yang harus dipatuhi," ucap Otong menambahkan.
Ia menyebut, perlakuan masyarakat Pantura yang belakangan main hakim sendiri kepada orang gila karena kabar mereka jadi pelaku penculikan anak harus dihentikan. Sebab sekali lagi kabar itu belum tervalidasi keberannya dan mereka yang ditangkap serta dihakimi juga belum terbukti menjadi pelaku penculikan anak.
"Jujur saja dalam hatiku menangis melihat kondisi mereka karena hampir tidak ada yang menangani mereka secara serius. Apalagi sampai menuduh tanpa dasar mereka melakukan penculikan anak. Dan pihak kepolisian juga belum menerima ada laporan kasus itu. Ini namanya tidak adil," kata Otong.