Liputan6.com, Grobokan - Matahari belum tinggi, Sudarji bersama Sunarti, istrinya serta anak dan menantunya, Sulasih dan Warti, berjalan menuju ke petak sawah di dekat Desa Jono, Kecamatan Tawangharjo, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah. Mereka akan mengais garam daratan.
Keempatnya berhenti di lahan yang cukup luas. Siap beraksi dengan 'senjata' bambu belah yang disusun seperti rak bersusun, biasa disebut klakah. Semua mengambil peran masing-masing.
Setelah mengenakan caping gunung atau topi terbuat dari anyaman bambu, Sunarti dan Sulasih dengan cekatan mengambil gelas plastik dan ember untuk mengerik kristal pink yang ada di lubang bambu untuk dimasukkan ke dalam ember.
Advertisement
Sedang, Warti dan Sudarji dengan cekatan mengumpulkan klakah yang sudah kosong untuk ditumpuk di pondok kecil yang lantainya dilubangi untuk tandon air garam.
Beberapa kali Warti juga mengambil ember plastik yang sudah berisi 2/3 nya dengan kristal bercampur air kecoklatan dan menggantikan dengan ember kosong. Ember yang berisi garam dan air garam yang diberi nama bleng atau borak alami bahan pembuat kerupuk untuk dipisahkan antara bleng dengan kristal garam.
Baca Juga
"Klakah yang kosong diisi air garam lagi. Setelah diendapkan sekitar dua hari, air garam di dalam klakah dijemur agar air bisa berubah menjadi kristal garam," jelas Sunarti, ibu yang sudah puluhan tahun kerja sebagai petani garam daratan.
"Ketika musim sering turun hujan seperti sekarang. Air baru bisa jadi garam sekitar 10 hingga 15 hari. Tapi, jika kemarau seminggu air sudah jadi garam," kata Sulasih.
"Tidak hanya lebih lama panen, tapi jumlah panenan garam juga turun. Jika hujan panenan kemungkinan dua jam kerja dapai 30 kilogram. Sedang jika kemarau bisa dapat sampai 70 kilogram. Jika dihitung paling banyak dapat uang sampai Rp 700 ribu," tambah ibu satu anak ini.
Klakah yang kosong kemudian oleh sang ayah diisi kembali dengan air garam. Pengisian dilakukan dengan cara tradisional. Di mana bilah bambu yang ujungnya diberi belahan bola plastik dilubangi sedikit untuk mengalirkan air.
"Ini sedang ngisi air garam. Tapi, jika ambil air dari parit itu hanya buat nyiram rak bambu agar bambu licin saat mindahkan klakah," tambah Sudarji sembari mengisi air pada klakah.
Kegiatan bertani garam daratan di pagi hari sudah dilakukan secara turun temurun. Di kelompoknya, terdapat 30 orang petani garam daratan. Secara total di Desa Jono masih ada sekitar 500 petani garam daratan.
Kasrul, tetangga Sudarji, mengaku sudah bertani garam sejak kelas 5 sekolah rakyat (SR). Awal bertani garam dilakukan dengan membantu orang tuanya menyusun dan memindahkan klakah.
"Membuat garam dimulai kapan saya tidak tahu dengan jelas. Sumur ini saja peninggalan nenek mmoyang saya," katanya.
"Dulu, di Desa Jono ada sekitar 2.000 petani garam. Sekarang paling yang aktif tinggal 500 orang."
Legenda Ular Joko Linglung
Dari mana asal muasal garam daratan ini? berdasar cerita rakyat yang beredar, garam itu peninggalan sosok ular Joko Linglung. Joko Linglung berwujud ular raksasa namun bisa bicara layaknya manusia.
Syahdan Joko Linglung berusaha mencari orang tuanya yakni Ajisaka, raja Medhangkamulan yang mengalahkan Dewatacengkar si raja pemakan manusia.
Saat bertemu ayahnya, Joko Linglung diminta membuktikan diri dengan memotong kepala Dewatacengkar yang berubah jadi buaya putih di laut selatan. Ajisaka juga mewajibkan sang ular saat kembali harus keluar dari dalam tanah.
Setelah mengalahkan musuh orangtuanya, ular Joko Linglung kemudian pulang melalui dalam tanah. Namun karena tidak tahu arah, ular Joko Linglung malah keluar di desa Jono, Kecamatan Tawangharjo.
Karena Desa Jono, tepatnya dusun Jono Krajan, bukan kerajaan yang dituju, sang ular raksasa kembali masuk ke dalam untuk meneruskan perjalanan mencari orangtuanya. Saat kelelahan harus membuka bumi, maka ular Joko Linglung kemudian keluar lagi ke atas bumi.
Tempat keluar kedua belum terlalu jauh, hanya berjarak sekitar 50 kilometer dari Desa Jono. Tepatnya di desa Crewek, Kecamatan Kradenan. Di Desa Crewek tempat Joko Linglung keluar dari tanah juga ada sumur air asin yang juga dibuat garam.
Dari bekas keluarnya Joko Linglung itu, kemudian muncul sumur berair asin. Di Desa Jono, sumur semakin dalam airnya semakin asin.
"Warga mandi dan minum pakai air sungai," kata Sri, warga Desa Jono Krajan, pensiunan guru sekolah dasar (SD).
"Di Dukuh Plumpungan yang hanya berseberangan sungai airnya tidak asin. Dulu, ribuan orang bertani garam. Jadi kedalaman sumur mencapai 35 meter. Tapi sekarang petani garam berkurang banyak jadi yang ambil air sedikit sehingga air sampai di permukaan sumur," tambahnya.
Sri dan sejumlah warga hingga saat ini menyakini jika keajaiban adanya sumur air asin dan hangat yang juga dipercaya bisa sembuhkan penyakit gatal-gatal itu karena sosok Joko Linglung.
Advertisement