Liputan6.com, Sabang - Warna hijau dan biru mendominasi suasana pagi hari di objek wisata Danau Aneuk Laot di tengah Kota Sabang, Pulau Weh, Provinsi Aceh. Perbukitan hijau yang mengelilingi danau berair jernih kebiruan memang memanjakan mata para pelancong yang berkunjung ke sana. Belum lagi sergapan udara segar nan sejuk, seakan alam bersenandung indah.
Danau Aneuk Laot atau disebut pula Danau Air Tawar ini berlokasi di Kelurahan Aneuk Laot. Danau yang mencapai luas sekitar 30 hektare ini dapat dicapai dengan kendaraan sekitar 10 menit dari pusat Kota Sabang.
Buat mencapai lokasi, seperti Liputan6.com kutip dari Antara, Sabtu (18/3/2017), pelancong dapat menyewa sepeda motor dari warga setempat seharga Rp 80 ribu-Rp 100 ribu per hari.
Baca Juga
Untuk mencapai tepi Danau Aneuk Laot itu, wisatawan dapat memacu sepeda motornya ke arah tugu "I love Sabang". Dari sana, ada persimpangan dengan papan penunjuk arah ke destinasi danau.
Dari papan penunjuk arah tersebut, medan jalan menuju tepi Danau Aneuk Laot tersebut berkelok dan naik-turun. Di sisi kanan bahu jalan tampak mulut bunker pertahanan Jepang yang menyatu dengan bukit. Sedangkan di sisi kirinya tampak jurang dengan latar belakang rumah-rumah penduduk dan biru air danau dari kejauhan.
Setibanya di sebuah persimpangan, lurus saja mengikuti jalan yang di sisi kirinya terdapat sebuah sekolah berhalaman luas. Beberapa ratus meter dari sekolah tersebut, tampak pelang nama bertuliskan "Poetra Hijoe" di sisi kanan bahu jalan.
Papan nama tersebut merupakan penanda akses jalan tanah yang mengarah ke tepian Danau Aneuk Laot, Kota Sabang. Di dekatnya ada sebuah restoran dan kolam pemancingan ikan serta rumah kayu beratap seng yang dilengkapi dermaga darurat tempat mereka menambat perahu.
Advertisement
Jejak Cheng Ho
Tak hanya keindahan semata. Di Danau Aneuk Laot, pengunjung dapat menapak tilas jejak Laksamana Cheng Ho. Menurut catatan Museum Sabang, Cheng Ho pernah berlabuh di Pulau Weh pada Abad XV.
Menurut Kurator Museum Sabang T Mahliyuni, persinggahan Cheng Ho dan armadanya di Teluk Sabang itu konon dimaksudkan untuk mendapatkan persediaan air dalam pelayaran mereka menuju Afrika.
"Persediaan air tersebut diambil dari Danau Aneuk Laot, danau yang hingga kini merupakan sumber air minum utama masyarakat Sabang," kata dia kepada Antara.
Menurut buku bertajuk Profil Museum Sabang (2017), penjelajah China yang mengarungi perairan Kepulauan Indonesia selama tujuh kali dengan armada kapal terbanyak sepanjang sejarah itu menyinggahi Pulau Weh pada 1413-1415.
Mengutip catatan Ma Huan, salah seorang penerjemah sang laksamana, Cheng Ho menyebut Pulau Weh sebagai "daratan dengan gunung menjulang" atau "Gunung Mao".
Berdasarkan cerita yang dikisahkan dari generasi ke generasi, parit yang hingga kini dapat ditemui di daerah Lueng Cina itu digali untuk menyalurkan air danau yang tawar itu ke kapal-kapal armada Cheng Ho.
Hanya saja, proses penggalian parit untuk memenuhi stok air armada Cheng Ho tersebut terhenti akibat salah seorang pekerja saat itu secara tak sengaja menebas seekor ular besar hingga putus.
"Kecelakaan tersebut berujung pada penghentian penggalian parit karena dalam tradisi dan budaya masyarakat China pada masa itu, ular dianggap sebagai makhluk yang dihormati," tutur Mahliyuni.
Kendati sudah berusia ratusan tahun, bukti keberadaan parit tersebut masih ada sekali pun tidak sedikit warga Sabang. Terutama kalangan muda, yang tidak lagi mengetahui sejarah kunjungan Laksamana Cheng Ho yang legendaris itu.
Mahliyuni menambahkan, kisah berlabuhnya kapal-kapal armada Cheng Ho di Teluk Sabang itu tidak melulu dikaitkan dengan kebutuhan mereka akan air tawar Danau Aneuk Laot dan pelayarannya untuk membangun persahabatan dengan raja Aceh saat itu.
"Laksamana yang hidup pada masa Dinasti Ming itu juga mengembangkan dakwah Islam, serta dikabarkan sempat belajar strategi perang, merakit senjata, dan belajar mengaji dari tokoh Islam di Sabang pada masa itu," ujar dia.
Makam Pengikut Cheng Ho
Jejak Cheng Ho tidak hanya dapat ditelusuri dari keberadaan parit di Lueng Cina. Namun juga dari apa yang disebut Makam Dai 12 di Pantai Pasir Putih, Gampong (Desa) Paya Kenekai.
Menurut Mahliyuni, makam tersebut merupakan tempat peristirahatan terakhir 12 pengikut Laksamana Cheng Ho yang wafat semasa mereka berada di Sabang karena sakit.
Adapun bagi wisatawan yang tertarik pada keterkaitan Kota Sabang dengan keberadaan Laksamana Cheng Ho, mereka dapat menggali informasi awal dari beberapa koleksi potret lukisan Laksamana Cheng Ho yang dimiliki Museum Sabang.
Dari situ, informasi tentang kunjungan armada terbesar dalam sejarah dunia yang dipimpin laksamana China beragama Islam di Kerajaan Samudera Pasai dan Pulau Weh tersebut dapat dilengkapi dari keterangan pegawai museum seperti T Mahliyuni.
Di Pulau Weh, jejak pertalian sejarah panjang hubungan persahabatan kerajaan yang pernah ada di Tanah Rencong dengan Kekaisaran China terpatri di Danau Aneuk Laot. Termasuk keberadaan parit di Lueng Cina berkat persinggahan armada maritim Laksamana Cheng Ho di Teluk Sabang lebih dari 600 tahun lampau.
Advertisement