Liputan6.com, Jayapura - Seratusan gabungan masyarakat dan mahasiswa di Kota Jayapura yang tergabung dalam Forum Persatuan Mahasiswa Papua, minta kepada pemerintah untuk menutup tambang PT Freeport Indonesia.
Aksi menutup Freeport terjadi di Kota Jayapura dan Kabupaten Mimika. Di Kota Jayapura, massa sempat mengadukan aspirasinya ke DPR Papua.
"Pemerintah dan Freeport akan menghancurkan rakyat Papua. Biarkan kami menentukan nasib sendiri, untuk solusi demokratis di tanah Papua," kata Pilipus Rubaha, Senin, 20 Maret 2017.
Massa juga meminta Freeport untuk menghentikan proses penggalian tambang dan merehabilitasi alam yang sudah dirusak oleh perusahaan tersebut.
Massa menilai, selama Freeport beroperasi di Papua, tak memberikan kesejahteraan rakyat, justru membuat kesengsaraan, kemiskinan dan terjadi pelanggaran HAM.
"Freeport itu ada pemiliknya, yakni masyarakat adat, sehingga kami minta pemerintah dan perusahaan tak meributkan masalah ini dan kembalikan Freeport kepada pemiliknya," ujar Pilipus.
Tak hanya itu saja, massa juga menuding DPR Papua tak memiliki kepekaan dan keberpihakan terhadap masyarakat asli Papua, soal kisruh Freeport hingga kasus pelanggaran HAM di Papua.
Advertisement
Baca Juga
"DPR Papua dan pemimpin kita saat ini telah buta terhadap melihat persoalan yang terjadi di tengah masyarakat," kata dia.
Aksi penutupan Freeport di Kota Timika, Kabupaten Mimika dilakukan oleh Masyarakat adat Independen (MAI). Massa menilai sejak Freeport mendapatkan legalitas dari Undang-Undang Penanaman Modal Asing di Indonesia pada 1967, Freeport tidak pernah melibatkan dan menghargai hak masyarakat adat pemilik ulayat Freeport, yakni Suku Kamoro dan Amungme.
Untuk itu, MAI meminta pemerintah tutup Freeport. Massa juga meminta agar hasil kekayaan Freeport diaudit serta membayar upah dan pesangon pekerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Minta Tarik Aparat Keamanan di Papua
Aksi penutupan Freeport di Kota Jayapura juga mendesak kepada pemerintah agar TNI/Polri ditarik dari tanah Papua. Menanggapi hal ini, Kapolda Papua Irjen Paulus Waterpauw menyebutkan tuntutan yang dimintakan massa terlalu membias.
Sampai saat ini, areal tambang Freeport memang dijaga oleh lebih dari 1000 polisi dari Brimob Polda Papua. Namun, kata Kapolda, penutupan PT Freeport Indonesia tak semudah itu untuk dikaitkan dengan penarikan TNI/Polri di Papua.
"Keberadaan kami di Papua untuk menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, tak lebih dari itu. Tugas kami malahan untuk tak terjadi penjarahan, perampokan di areal tambang dan hal yang merugikan keamanan di Papua," ucap dia.
Waterpauw mengklaim dampak sosial dari 3000-an karyawan Freeport dirumahkan sudah terasa di Kota Timika, Kabupaten Mimika. Salah satunya adalah perekonomian di kota itu tak berjalan dengan baik. Banyak kebutuhan pokok di pasar yang dijual oleh mama pedagang di pasar tradisional tak lagi laku dibeli.
"Sebagian besar penduduk di Timika adalah karyawan Freeport bersama dengan keluarganya. Ini realistis dan seharusnya yang melakukan aksi unjuk rasa juga melakukan kajian keseimbangan terhadap dampak sosial yang terjadi," kata Kapolda.
Sementara itu, Panglima Kodam XVII/Cenderawasih Mayjen TNI Hinsa Siburian mempersilakan warga menuntut penarikan TNI/Polri di Papua, sebab tuntutan tersebut adalah sebuah aspirasi. Namun, pihaknya meyakini masyarakat di Papua makin cerdas untuk menilai mana aksi unjuk rasa yang berkualitas dan yang tidak.
"Soal benar atau tidaknya permasalahan penarikan aparat ini, biarkan warga yang menilainya. Sebab tugas kami telah tercantum dalam amanat konstitusi," kata Pangdam.