Sukses

Kecanggihan Teknologi Air Masa Kuno di Petirtaan Jolotundo

Air di jolotundo bersumber dari Gunung Penanggungan dialirkan dengan sistem jaringan bawah tanah, teknologi tinggi masa kerajaan kuno.

Liputan6.com, Mojokerto - Sejumlah pria hilir mudik mengisi jeriken dengan air yang memancur dari Petirtaan Jolotundo. Air jernih keluar dari belasan lubang di batu andesit di salah satu tingkat petirtaan itu. Air seolah tak ada habisnya dari kolam air kuno yang berusia seribu tahun lebih ini.

"Air untuk kebutuhan sehari – hari. Sudah sejak dulu kami mengambil air dari petirtaan ini," kata Sukirman, salah seorang pengambil air, Minggu, 19 Maret 2017.

Air mengalir seolah tak ada habisnya. Warga setempat mengambil air berpuluh-puluh jeriken tiap harinya. Tak sedikit pengunjung juga mengambil air untuk dibawa pulang. Kolam suci ini juga sering dijadikan tempat ritual bagi pengunjung dengan berbagai keinginan.

Petirtaan Jolotundo terletak di lereng barat Gunung Penanggungan di Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto, Jawa Timur. Situs kuno ini memiliki dasar bangunan persegi berukuran sekitar 16,7 meter x 12 meter. Bangunan berbahan bebatuan andesit dengan pahatan relief dibangun pada abad 10 oleh Wangsa Isyana.

Arkeolog Universitas Negeri Malang, M. Dwi Cahyono menyebut nama Jalatunda atau Jolotundo berasal dari istilah kuno. Jala berarti air, tunda berarti bertingkat sebab Jolotundo adalah kolam dengan air keluar dari pancuran yang dibuat bertingkat.

"Situs Jolotundo menjadi bukti kecanggihan teknologi tata kelola air yang sangat maju pada jamannya," kata Dwi di sela Jelajah Petirthan untuk Refleksi Hari Air yang jatuh pada 22 Maret ini.

Air di petirtaan ini berasal dari Gunung Pawitra atau dikenal sebagai Gunung Penanggungan, sebuah gunung suci bagi umat hindu aliran syiwa. Dari gunung, air dialirkan melalui jaringan bawah tanah menuju Candi Jolotundo. Air menjadi salah satu bagian penting dalam ritual masyarakat saat itu, apalagi bersumber dari gunung yang dianggap suci.

Selain mengisi kolam pada petirtaan, air juga terus mengalir melalui jaringan bawah tanah ke sawah penduduk. Terus menuju ke pemukiman penduduk untuk kebutuhan penduduk. Karenanya, situs kuno ini memiliki fungsi ganda.

"Situs ini tak hanya bermakna religis untuk ritual, tapi juga sosial. Sebab, air dari kolam ini juga menghidupi warga," tegas Dwi.

2 dari 2 halaman

Jolotundo, Antara Bali dan Jawa Timur

Diperkirakan Situs Jolotundo dibangun pada tahun 899 saka atau tahun 977 masehi, merujuk angka tahun yang terpahat di sisi petirtaan. Situs dibangun oleh salah seorang raja Kerajaan Medang periode Mataram Kuno dari Wangsa Isyana di Jawa Timur, jauh sebelum kelahiran Raja Airlangga.

Pada masa lampau struktur bangunan petirtaan ada empat tingkatan. Tapi sekarang ini hanya tersisa dua tingkatan. Pada bagian kaki petirtaan terdapat kolam yang luas. Pada bagian paling atas, dulu ada bebatuan berbentuk silinder dengan sembilan lubang yang memancurkan air.

Dahulu, di relung tengah terdapat arca Raja Airlangga berwujud Wisnu mengendarai garuda. Arca kini disimpan di Museum Trowulan, Mojokerto. Di kedua sisinya terdapat bilik. Pada bilik sisi kiri air memancur dari mulut arca naga diperuntukkan bagi perempuan. Sedangkan di sisi kanan berupa arca garuda untuk kaum lelaki.

"Secara morfologis, kedua makhluk itu menggambarkan dua sisi dunia. Garuda mewakili dunia atas simbol maskulin. Sedangkan naga mewakili feminim untuk perempuan," ucap Dwi.

Petirtaan Jolotundo merupakan salah satu situs penting. Melalui situs ini bisa diketahui ada pertautan antara Raja Udayana dari Bali dengan Jawa Timur. Itu tergambar pada relief di salah satu tingkat di situs ini. Relief mengisahkan tentang Udayana yang tengah bimbang usai didongkel dari kekuasannya di Bali.

Udayana lari ke tanah Jawa dan ditampung Sri Makutawangsawardhana, Raja Medang atau Mataram perioede Jawa Timur dari Wangsa Isyana. Tidak diselamatkan, Udayana juga dinikahkan dengan putrinya yakni Mahendradatta atau Gunapriya Dharmapatni. Dari garis keturunan ini melahirkan Airlangga sang Raja Kahuripan di Jawa.

"Ini sebuah situs penting. Sayangnya, kondisinya sekarang sudah banyak mengalami kerusakan," tutur Dwi.