Liputan6.com, Brebes - Kampung adat di pedukuhan Jawalastu, Desa Ciseureuh, Ketanggungan, Brebes masih memegang teguh tradisi dan budaya leluhur hingga kini. Warga kampung Jawalastu pun disebut-sebut sebagai suku Baduy-nya Jawa Tengah.
Selain memiliki tradisi dan budaya leluluhur yang masih mengakar, mereka juga menganut kepercayaan Sunda Wiwitan. Pemangku adat Kampung Jalawastu, Dastam (54), mengakui ada beberapa persamaan antara Jalawastu dan Baduy. Kesamaan utama menganut kepercayaan atau keyakinan Sunda Wiwitan.
"Jadi begini ceritanya di Jalawastu dulunya sebelum Islam masuk, ada satu keyakinan yang merupakan ajaran Sunda Wiwitan, jadi Hindu bukan, Buddha juga bukan," ucap Dastam.
Advertisement
Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan pemujaan terhadap kekuatan alam dan arwah leluhur (animisme dan dinamisme) yang dianut oleh masyarakat tradisional Sunda.
Baca Juga
Ada juga pihak yang berpendapat bahwa Sunda Wiwitan juga memiliki unsurmonoteisme purba, yaitu di atas para dewata dan hyang dalam panteonnya terdapat dewa tunggal tertinggi maha kuasa yang tak berwujud yang disebut Sang Hyang Kersa yang disamakan dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Penganut ajaran ini dapat ditemukan di beberapa desa di Provinsi Banten dan Jawa Barat. Seperti di Kanekes, Lebak, Banten; Ciptagelar, Kasepuhan Banten Kidul, Cisolok, Sukabumi; Kampung Naga; Cirebon; Cigugur, Kuningan.
Menurut penganutnya, Sunda Wiwitan merupakan kepercayaan yang dianut sejak lama oleh orang Sunda sebelum datangnya ajaran Hindu dan Islam.
Ajaran Sunda Wiwitan terkandung dalam Kitab Sanghyang Siksakandang Karesian. Sebuah kitab yang berasal dari zaman Kerajaan Sunda yang berisi ajaran keagamaan dan tuntunan moral, aturan, dan pelajaran budi pekerti.
Kitab ini disebut Kropak 630 oleh Perpustakaan Nasional Indonesia. Berdasarkan keterangan kokolot (tetua) kampung Cikeusik, orang Kanekes bukanlah penganut Hindu atau Buddha, melainkan penganut animisme, yaitu kepercayaan yang memuja arwah nenek moyang.
Hanya saja di dalam perkembangannya kepercayaan orang Kanekes ini telah dimasuki oleh unsur-unsur ajaran Hindu, dan hingga batas tertentu, ajaran Islam. Dalam Carita Parahyangan kepercayaan ini disebut sebagai ajaran "Jatisunda".
Meskipun terletak di Kabupaten Brebes, mayoritas warga Jalawastu berkomunikasi menggunakan Bahasa Sunda. Hanya sebagian kecil saja masyarakat di sana yang mengerti dan dapat berbicara menggunakan Bahasa Indonesia.
Secara geografis, kampung Jalawastu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat. Untuk menuju ke dusun ini, harus menempuh jarak ke selatan sekitar tiga jam dari pusat pemerintahan Kabupaten Brebes.
Kampung Jalawastu merupakan daerah terpencil dan terletak di kaki Gunung Kumbang. "Di gunung tersebutlah asal muasal angin kumbang yang disebut sangat membantu para petani bawang merah di Brebes," ia menjelaskan.
Naskah Kuno Gunung Kumbang di Belanda?
Gunung Kumbang merupakan sebuah gunung yang menjadi satu titik tertinggi di jajaran Pegunungan Pojoktiga-Lio dengan ketinggian 1.211 meter di atas permukaan laut (mdpl).
Rencananya, Gunung Kumbang akan dikembangkan sebagai wisata spiritual seperti halnya Gunung Kemukus atau Gunung Muria.
Berdasarkan cerita sejarah leluhur setempat, di Gunung Kumbang pernah ada seorang wanita bertapa di pertapaan Ni Teja Puru Bancana di Gunung Kumbang.
"Di manakah letak pertapaan dan gunung tempat pertapaan ini, para sejarawan belum memastikan tempatnya. Mungkin gunung ini adalah Gunung Kumbang di Brebes (Jawa Tengah) yang sejak dulu sampai sekarang dianggap mempunyai nilai spiritual tertentu bagi masyarakatnya.
"Penduduk di sekitarnya sampai saat ini merupakan masyarakat Sunda, dan dalam beberapa aspek kehidupannya masih cukup memegang teguh tradisi leluhurnya," ucap sejarawan dan budayawan pantura Wijanarto.
Selain itu, juga, beberapa naskah kuno dari tempat bernama Gunung Sagara (800 mdpl) yang letaknya di lereng selatan Gunung Kumbang) diambil oleh Raden Aria Tjandranegara, Bupati Brebes (1880—1885) pada 14 November 1882, kemudian diserahkan ke KF Holle untuk diteliti. Selanjutnya disimpan di Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (Belanda).
Meskipun penduduk kampungnya telah tidak ada setelah peristiwa pengambilan naskah oleh bupati tersebut, tempat Gunung Sagara sampai saat ini masih ada dan dikeramatkan.
Kuta Wawatan, menurut para sejarawan terletak di Priangan sebelah timur. Naskah Sewaka Darma menyebutkan nama Kendan, Medang, dan Menir yang masing-masing merupakan tempat kediaman Resi Guru Manikmaya, Kandiawan, dan Wretikandayun di daerah Priangan timur.
"Isi naskah Sewaka Darma secara umum berbicara mengenai ajaran yang menguraikan cara persiapan jiwa untuk menghadapi maut sebagai gerbang peralihan ke dunia gaib," dia menambahkan.
Ia menjelaskan naskah ini merupakan salah satu bukti tentang berkembangnya aliran Tantrayana di kawasan Jawa Barat pada masa silam. Ajarannya menampilkan campuran aliran Siwa Sidanta yang menganggap semua dewa sebagai penjelmaan Siwa dengan agama Buddha Mahayana.
Advertisement
Naskah Kuno Pra-Islam
Berdasarkan isinya, usia naskah jauh lebih tua dari tipe hurufnya yang berasal dari abad ke-18 Masehi. Karena ajaran yang tersurat di dalamnya mengenai kelepasan jiwa (moksa) dengan gaya penuh kesungguhan. Sulitlah diterima bila hal itu dikerjakan dalam suasana abad ke-18, bahkan abad ke-17 sekalipun.
"Pekerjaan itu hanya mungkin dilakukan pada saat agama Islam belum merupakan anutan umum di kawasan Jawa Barat. Sehingga Istilah “kawih” sampai sekarang masih digunakan oleh masyarakat Sunda dalam pengertian lagu atau nyanyian vokal," jelas dia.
Sedangkan istilah "Panyaraman” masih mempunyai kesamaan dengan Bahasa Sunda sekarang, berasal dari kata "caram" (di Priangan barat umumnya menggunakan kata "carek" yang searti dengan kata ini), artinya "larang" atau "peringatan".
"Kalau kawih panyaraman berarti nyanyian tentang larangan atau nyanyian peringatan, yang bisa juga berarti nyanyian suatu nasihat," ia mengungkapkan.
Berdasarkan teks tersebut naskah ini ternyata bernama Kawih Panyaraman, dan merupakan teks yang cukup panjang, yaitu 37 lembar dengan tulisan sebanyak 67 halaman.
"Apakah teks Kawih Panyaraman ini bisa dan biasa dinyanyikan (dikawihkeun), hal ini tidak dapat dipastikan. Akan tetapi bila dipegang asumsi bahwa istilah "kawih" dalam naskah ini masih searti dengan istilah "kawih" zaman sekarang, maka ada kemungkinan bahwa teks ini bisa dan biasa dinyanyikan pada zamannya," kata dia.
Sampai abad ke-19, bahkan pertengahan abad ke-20, untuk membaca suatu teks yang panjang, orang Sunda biasanya akan membacanya sambil dinyanyikan.
Bagi orang Sunda, mendaraskan dangding (ditembangkeun) adalah hiburan sekaligus pendidikan. Bisa dibandingkan pula dengan artefak hidup seni pertunjukan buhun yang masih hidup sekarang dan menonjolkan sisi isi teks lagu, yaitu pantun.