Liputan6.com, Jambi - "Terminum air Batanghari, maka tak akan bisa balik lagi", kata-kata itu sangat familiar di kalangan masyarakat Jambi. Ungkapan tersebut bisa diartikan, siapapun yang datang ke Jambi dan meminum air Sungai Batanghari, dipastikan akan betah dan tidak balik lagi ke kampung asalnya.
"Makanya, agar air Batanghari tetap nikmat dan segar kita harus menjaganya," ujar Gubernur Jambi Zumi Zola saat memperingati Hari Air Dunia di Jambi, Rabu, 22 Maret 2017.
Perkembangan Jambi secara wilayah, budaya dan masyarakatnya tidak lepas
dari keberadaan Sungai Batanghari yang merupakan sungai terpanjang di
Pulau Sumatra. Sungai itu mengular dari bagian barat Jambi
sepanjang 800 kilometer dan memuntahkan airnya yang bermuara di ujung
timur Sumatra, tepatnya di Selat Malaka.
Advertisement
Mata air atau hulu Sungai Batanghari berada di Gunung Rasan, Provinsi
Sumatra Barat (Sumbar). Dari sini, sejuknya air Batanghari mengalir ke
selatan di daerah Sungai Pagu, sebelum berbelok ke arah timur.
Sebelum masuk ke Jambi, air Batanghari terlebih dahulu mengaliri Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasrasya di Provinsi Sumbar. Lantas memasuki daerah Jambi mulai dari Kabupaten Bungo, Tebo, Batanghari, Kota Jambi,
Muarojambi hingga di perairan timur Sumatra yakni di Muarasabak, ibu
kota Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim), Jambi.
Salah satu budayawan Jambi, Junaidi T Noor pada 2014 lalu mengatakan, Batanghari sejatinya sudah terkenal sejak abad ke-7 Masehi. Dari sinilah awal mula nama Swarnadwipa dilekatkan untuk menyebut Pulau Sumatera.
Swarnadwipa dalam bahasa Sansekerta artinya adalah Pulau Emas. Maka tak heran, sampai saat ini penambangan emas tersebar di sejumlah titik daerah aliran sungai (DAS) Batanghari.
"Batanghari pernah menjadi titik penting perdagangan di Sumatra," ujar Junaidi.
Di sungai ini pula, pernah tumbuh peradaban Kerajaan Melayu hingga Kerajaan Sriwijaya. Jejak-jejak Kerajaan Melayu dan Sriwijaya itu kini bisa disaksikan di kompleks Candi Muarojambi, yang lokasinya sejalur dengan aliran sungai Batanghari di Kabupaten Muarojambi.
Kompleks candi ini membentang seluas 260 hektare dan merupakan yang terluas di Indonesia, bahkan di Asia Tenggara. Dengan tingginya nilai sejarah dan nilai ekonomi, Zola bertekad menjaga air sungai Batanghari demi generasi masa depan.
Salah satunya adalah menghilangkan aktivitas penambangan emas liar yang diduga kuat memicu banyak kerusakan ekosistem di Batanghari.
Lumbung Peninggalan Sejarah
Pada awal 2014 lalu, Gubernur Jambi saat itu, Hasan Basri Agus sempat berencana menggandeng swasta untuk mengeruk sedimentasi atau pendangkalan Sungai Batanghari. Batanghari dinilai sudah mengalami pendangkalan sehingga luapannya kerap menimbulkan banjir saat musim hujan tiba.
Namun, rencana itu batal karena banyak kalangan yang menilai rencana tersebut justru bisa berbuah fatal. Sungai Batanghari diyakini memiliki banyak harta karun yang belum terungkap. Selama ini, hanya masyarakat tradisional saja yang kerap menyelam mencari kayu log yang tertinggal di bangkai kapal maupun yang jatuh saat kapal pengangkut melintas.
"Jika tidak diawasi pihak swasta melakukan pengerukan, bisa-bisa harta karun Batanghari bisa raib," ujar Asvan, salah seorang tokoh pemuda Jambi.
Banyaknya harta peninggalan sejarah yang terpendam di dasar Batanghari dibenarkan pihak Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jambi. Pada 2014 lalu, BP3 mencatat sedikitnya ada 100 titik harta karun tersebar di dasar Batanghari. Harta tersebut meliputi peninggalan Melayu Jambi, budaya China, hingga peninggalan masa perang dunia.
"Aset-aset peninggalan sejarah ini masih banyak belum terungkap. Termasuk peninggalan kerajaan Melayu terbesar," ujar Kepala BP3 Jambi Toni Mambo pada 2014 lalu.
Tak hanya di dasar sungai, beberapa benda sejarah juga kerap ditemukan oleh warga yang bermukim di sepanjang DAS Batanghari. Salah satunya adalah situs Sematang Pundung yang merupakan candi Melayu kuno di daerah Suak Kandis dan penemuan pecahan keramik Dinasti Sung serta Dinasti Ming dari China.
Tak hanya kaya akan peninggalan sejarah, ekosistem sungai Batanghari juga dikenal banyak memiliki satwa langka. Salah satunya adalah ikan botia yang kini terancam punah.
Rusak karena Merkuri
Pada 31 Oktober 2014, Kepala Pusat Pengelolaan Ekoregion Sumatra (PPES) Kementrian Lingkungan Hidup Amral Fery mengungkap fakta yang mengkhawatirkan. Ia memastikan Sungai Batanghari sudah tercemar merkuri. Padahal, selain penuh nilai sejarah, sungai itu adalah denyut nadi kehidupan warga Jambi.
Menurut dia, air Sungai Batanghari bukan lagi terjadi keasaman (pH), tapi memang banyak mengandung merkuri. Toleransi Merkuri itu, kata Amral, hanya 0,000.
"Sangat berbahaya, bukan pH lagi ini sudah banyak mengandung air raksa, merkuri itu toleransinya kecil, jika lewat toleransi itu tentu berbahaya," kata Amral.
Amral menyebutkan, salah satu dampak berbahaya dari merkuri yakni seseorang yang terkena racun merkuri ini akan berangsur kehilangan anggota tubuhnya.
"Anda ingat kota Minamata di Jepang, itu banyak sekali korban gara-gara keracunan merkuri, bahkan ada yang kepalanya hilang, merkuri ini logam berat yang sangat berbahaya," kata Amral.
Untuk menanggulangi dan mencegah dampak bahaya merkuri itu, Amral menyarankan agar ke depan pemerintah provinsi dan kabupaten dapat saling bekerja sama, begitu juga dengan masyarakatnya. Jika kerja sama pencegahan terjalin selama tiga tahun, hasilnya akan tampak.
Sementara itu, Kepala Badan Lingkungan Hidup (BLH) Provinsi Jambi Rosmeli mengatakan, setiap tiga bulan pihaknya rutin mengecek kualitas air Batanghari. Namun, kondisi yang diambang batas wajar itu adalah bakteri E. coli.
"Setahun empat kali kita memeriksa kualitas air batanghari, mulai dari BOD, COD, pH dan segala macam. Kondisi air itu mengandung E. coli yang sumbernya dari limbah domestik," sebut Rosmeli.
Munculnya merkuri diduga kuat akibat maraknya aktivitas penambangan emas liar di beberapa lokasi di DAS Batanghari.
Rosmeli menyebutkan, di Sungai Manau yang merupakan anak sungai Batanghari di Kabupaten Merangin menjadi lokasi favorit penambangan emas liar. Di sungai ini terdapat tak kurang dari 200 alat berat tambang emas liar.
Kondisi itu juga menyulitkan petugas pemerintah saat turun meneliti kondisi air Batanghari. Tak jarang, kehadiran petugas pemerintah memicu emosi penambang.